x

Iklan

Ahmad Supardi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Lagu Petang di Kampung Kapitan

Di Palembang ada Kampung Kapitan, perkampungan orang Tionghoa sejak tahun 1377, tempat ini tersimpan barang-barang dari Dinasti Ming.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kulit Mulyadi (Tjoa Tiong Gie) berbeda sendiri dari teman-temannya. Ia tampak lebih putih, matanya lebih sipit dan berambut lurus.

Petang itu, Mulyadi, Ahmad Karim, Lodik dan lainnya wara-wiri berlari mengejar bola yang terbuat dari bekas sepatu yang dililit dengan karet, hahaha-hihihi mereka bermain sepak bola di halaman depan Rumah Kapitan. Halaman itu banyak ditumbuhi pohon seperti jambu, kedondong, jeruk bali sampai pohon buah srikaya.

Waktu beranjak petang, “Mulyadiii…!” teriak Tjoa Hendrik, ayah Mulyadi, menyuruh pulang.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dengan patuh Ahmad Karim, Mulyadi dan rombongan itu bubar. Tak ada bantahan dari mereka untuk Tjoa Hendrik. Petang itu di tahun 1970, rombongan ini adalah bocah ingusan yang suka berkumpul dan bermain bersama-sama.

***

Di beranda rumah abu di Kampung Kapitan, Rabu, pertengahan Februari lalu, kening Ahmad Karim berkerut, lelaki kelahiran Palembang 5 April 1951, mengenang kenangan indah masa kecilnya. Matanya menatap jauh melampaui halaman depan itu yang telah berubah menjadi taman bunga, bunga-bunga ini ditanam di atas beton dan harus berjejal dengan rumput ilalang yang tumbuh subur, taman ini dilengkapi Pagoda setinggi 2,5 meter.

Rumah abu ini sudah renta, umurnya hampir 400 tahun. Disinilah, sejarah pertama warga Tionghoa berada di Kota Palembang.

Tjoa Hendrik adalah anak dari Kapiten Tjoa Ham Ling –di masyarakat dikenal sebagai Kapitan Tjoa Ham Hin-, kapitan yang terlahir sebagai generasi ketujuh –di publik tersiar sebagai generasi sepuluh- dari Tjoa, utusan Dinasti Ming di Palembang.

Tugas kapitan itu untuk mengatur perdagangan di Palembang, perpajakan, pengurusan perizinan usaha, izin tinggal, surat kelahiran dan surat kawin bagi warga keturunan Tionghoa.

Letak geografis Kampung Kapitan masih seperti berabad-abad tahun lalu, di Dermaga 7 Ulu Palembang, Seberang Ulu 1 Kota Palembang. Di utara langsung ke Sungai Musi hingga keselatan ke ketepian jalan KH. A Azhary, sebelah barat berbatasan dengan Sungai Kelenteng, namun, sungai ini sekarang  sudah mati sebagian badan sungai didirikan rumah, tempat ibadah juga ditimbun untuk jalan.

“Tahun 1980-an masih bisa dilayari perahu,” Ahmad Karim membuka kenangan lamanya. Sedangkan bagian timur dengan Sungai Kedemangan. Jadilah waktu itu, kampung ini diapit oleh tiga sungai.

Perjalanan dari Bandara Internasional Sultan Mahmud Badaruddin (SMB II) Palembang menuju Kampung Kapitan bisa ditempuh dengan Bus Transmusi, jam berangkatnya pagi sekitar pukul tujuh. Atau menggunakan mobil taksi. Jarak tempuhnya hampir 18,6 KM dengan perkiraan waktu 40 menit, bila sial, lebih lama lagi. Kota Palembang saat ini rawan macet karena jalan yang dipersempit untuk pembangunan Light Rail Transit (LRT).

 “Patokannya Jembatan Ampera, dari jembatan ini menuju Kampung Kapitan hanya memakan waktu lima menit. Nama ‘Kampung Kapitan’ ada pada plang besar yang berhadapan dengan Benteng Kuto Besak (BKB),” ujarnya.

***

Tujuh belas bingkai berupa foto dan lukisan terpajang rapi di ruang tamu rumah keturunan Kapitan Tjoa Ham Ling, sayang, tidak semuanya Mulyadi atau Ahmad Karim mengetahui cerita dibalik bingkai-bingkai yang menyimpan foto dan lukisan renta itu.

“Umur foto dan lukisan itu lebih tua dari umur saya, yang saya tahu, ada foto Tjoa Kie Tjuan, Tjoa Ham Ling dan anak beranaknya, foto Rumah Kapitan dengan nuansa senja yang diabadikan oleh salah satu pengunjung,” tangan Mulyadi menunjuk ke foto-foto dan lukisan yang ia sebutkan. Untuk foto yang bernuansa senja seperti yang ia diceritakan, tak begitu tampak senja yang terabadikan lewat gambar cahaya itu. Tampak langitnya bersisik-sisik biru dan berawan putih.

Di ruang tamu rumah itu, di bawah lukisan Tjoa Ham Ling, ada satu lukisan dalam bingkai hitam bergambar puluhan laki-laki dengan seragam putih, mereka berdiri berapitan di perahu berukuran sedang dengan ukiran khas Tionghoa di Dermaga Tangga Raja. Lukisan itu menggambarkan, ketika suatu siang di tahun 1921, saat mayat Kapitan Tjoa Ham Ling di atas perahu yang akan dibawa ke Sungai Itam Bukit Besar untuk dikebumikan di Kembang Manis, Bukit Besar Palembang.

Kapitan Tjoa Ham Ling adalah penerus keturunan asli Tjoa utusan Dinasti Ming generasi ketujuh.

“Ketika itu tahun 1377, rombongan dengan kapal besar membawa orang-orang Tionghoa untuk membentuk lembaga dagang di Palembang,” Mulyadi mengenang cerita lama.

Saat itu, Kerajaan Sriwijaya baru saja runtuh, dan Kerajaan Tionghoa (Dinasti Ming) mengepakkan kekuasaannya sampai ke Palembang.

“Dari keturunan pertama ini, masih ada peninggalan yang tersisa. Ada lemari kaca, lemari kursi, satu perangkat rumah abu dan lukisan-lukisan yang semuanya dari Dinasti Ming,” lanjut Mulyadi.

Barang-barang itu ada di rumah abu sebagai tempat altar persembahan kepada leluhur. Masa itu, rumah ini digunakan sebagai tempat berkantor bagi Tjoa dan tempat menerima tamu dari raja-raja nusantara atau tokoh-tokoh Belanda.

Diantara dua pintu lebar di ruang depan rumah abu, diatas seperangkat altar tempat persembahan, Lukisan Tjoa, pemimpin pertama robongan ini pun masih terpajang rapi. Lukisannya tak sendiri, ia didampingi wakilnya. Kedua foto ini mengapit papan yang diukir khas Tionghoa dan bertulis huruf Negeri Tirai Bambu itu.

“Saya tidak bisa membaca tulisan itu,” suara Mulyadi merendah.

“Dari generasi pertama sampai ke empat, keturunan Tjoa generasi sekarang ini tak mengetahui riwayat mereka,” tambah Mulyadi.

“Sebenarnya ada manuskrip yang berisi silsilah zaman itu sampai ke generasi kedua. Masalahnya manuskrip itu ditulis menggunakan Bahasa Tionghoa Dinasti Ming dan ditimpali Bahasa Melayu dengan Aksara Arab,” lanjutnya.

Tahun 1823, rombongan ini menetap di seberang Benteng Kuto Besak yang menjadi simbol kebesaran Kesultanan Palembang.

Perumahan Tjoa ini didirikan atas tiga bangunan utama, semuanya menghadap Sungai Musi, rumah utama terletak di tengah, sebagai Kantor Tjoa dan tempat penerimaan tamu, sebelah kirinya rumah tempat prajurit dan rumah sebelah kanan tempat keturunan Tjoa menetap. Rumah-rumah ini besar: ukuran 22x25 meter, dengan arsitek Indis: gabungan Rumah Limas sebagai Rumah Adat Palembang, dengan sentuhan gaya Tionghoa dan Belanda. Dan terbuat dari kayu onglen yang terkenal kualitas nomor satu.

Sial, sekarang ketiga rumah besar yang penuh sarat sejarah itu tinggal dua, rumah untuk prajurit sudah roboh. Sedangkan rumah abu dengan kondisi setengah baik: ruang tamunya menjadi altar tempat persembahan masih terawat, sedangkan bangunan belakangnya sudah reot: lantai bolong-bolong dengan papan yang rapuh, dinding sudah sebagian terlepas dan kayu-kayu sento tampak jelas lapuk.

“Rumah ini sudah masuk Program Konservasi oleh Balai Cagar Budaya (BPCB) Jambi untuk persiapan Asian Games 2018 di Palembang,” Ucap Mulyadi.

 “Syukur, rumah untuk keturunan Tjoa masih baik dengan papan, kayu dan riasan dinding yang masih asli, paling ada beberapa penampalan papan lantai yang rapuh,” Ahmad Karim menimpali.

Awal mula terbentuknya cikal bakal Kampung Kapitan ini ketika tragedi terjadi di Palembang pada tahun 1825, saat Kesultanan Palembang tersungkur. Dengan sigap, pemerintah Kolonial Belanda mendirikan Perkampungan Tionghoa. Tjoa Kie Tjuan ditunjuk sebagai pemimpin perkampungan ini dengan pangkat mayor. Ia menjabat dari tahun 1830 sampai 1855, setelah itu, estafet kepemimpinan dikomandoi oleh Tjoa Ham Ling, dengan jabatan Kapten (Kapitan), dari tahun 1855 sampai akhirnya ia meninggal di tahun 1921.

“Tugas selanjutnya dipegang Kapitan Oe Teng Kiang,” sambung Mulyadi.

Merujuk sebuah peta sejarah Kampung Kapitan di ruang tamu itu, ada catatan dari The Straits Times, 29 September 1924, Halaman 10, bahwa Kapitan Oe Teng Kiang mati dibunuh.

“Entah siapa yang membunuh, saya tidak tahu. Arsip catatan dari The Straits Times itupun tidak ada,” suara Mulyadi datar,kakinya langsung melangkah ke peta lain.

***

Petang ini dan empat puluh tujuh tahun lalu tetap sama bagi Ahmad Karim dan Mulyadi, kata ‘teman’ masih erat mengikat mereka, yang beda hanya tempat bermain saja, kalau dulu di lapangan bola, tapi sekarang di meja catur atau teman penerima tamu di Rumah Kapitan itu.

Mereka silih berganti bercerita ikhwal sejarah Kampung Kapitan.

“Rumah ini pernah saya tinggalkan 27 tahun, dari tahun 1977 sampai 2004,” kenang Mulyadi. Tahun-tahun itu ia habiskan merantau ke Lubuklinggau, Curup, Bengkulu sebagai salesman rokok, juga pernah tinggal di Jakarta.

“Tahun 2004 saya terpanggil merawat rumah leluhur ini, saya sedih karena keturunan Tjoa lainnya juga telah meninggalkan kampung,” ujarnya dengan tatapan lurus ke taman.

“Biarlah dihari tua saya ini, dihabiskan merawat Rumah Kapitan,” kisahnya.

Mulyadi segera menutup pintu rumah abu, langit Palembang gelap karena mendung, lampion-lampion yang tergantung di atap beranda rumah bergoyang-goyang akibat angin, petang hampir habis.

Ahmad Supardi

Ikuti tulisan menarik Ahmad Supardi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler