x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Klub Presiden dan Para Mantan

Jika Presiden Jokowi dan tiga pendahulunya sering bertemu, negeri ini akan lebih damai, tapi dengan syarat Megawati dan SBY meninggalkan partainya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Dalam acara pelantikan Dwight Eisenhower sebagai Presiden AS pada 20 Januari 1953, dua orang lain yang pernah menjabat posisi presiden, Harry Truman dan Herbert Hoover, bertemu. Dua mantan orang nomor satu itu ngobrol. “Menurutku, kita sebaiknya membentuk klub Presiden,” usul Hoover. “Bagus,” sahut Truman. “Anda jadi presiden klub, dan saya jadi sekretarisnya.” Kebetulan, Hoover lebih dahulu jadi presiden AS dan lebih tua ketimbang Truman. 

Momen itu dikisahkan kembali oleh Nancy Gibbs dan Michael Duffy dalam buku mereka, The Presidents Club: Inside the World’s Most Exclusive Fraternity. Dibandingkan Indonesia, saat ini AS punya mantan presiden yang masih hidup dalam jumlah lebih banyak. Ada Jimmy Carter, George H.W. Bush, Bill Clinton, George W. Bush, dan Barack Obama. Barack Obama kerap bertukar pikiran dengan pendahulunya meskipun ia dari Demokrat dan Bush ayah-dan-anak dulu presiden dari Republik. Entah dengan Donald Trump.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bagi Indonesia, gagasan untuk membuat semacam ‘klub presiden’ punya nilai positif. Ini klub super-elite, sebab dari sekitar 250 juta penduduk Indonesia, hanya sedikit sekali orang yang dapat bergabung di dalamnya: Presiden Joko Widodo dan tiga pendahulunya, yakni B.J. Habibie, Megawati Soekarnoputri, dan Susilo Bambang Yudhoyono.

Di antara tiga mantan presiden, B.J. Habibie merupakan Presiden Indonesia dengan masa jabatan terpendek dibandingkan dengan Megawati Soekarnoputri, apa lagi dibandingkan Susilo Bambang Yudhoyono yang menjabat dua periode. Tapi, Habibie punya banyak pengalaman dalam kapasitasnya sebagai wakil presiden dan menteri maupun memimpin BUMN strategis di masa lalu.

Ketiga pendahulu itu juga punya pengalaman menarik dan penting dalam memimpin bangsa dan mengelola negara ini. Masing-masing menghadapi tantangan yang berbeda-beda. Habibie memimpin negeri ini dalam keadaan genting menyusul mundurnya Soeharto pada 21 Mei 1998 dan keluarnya Timor Timur dari Republik Indonesia melalui referendum.

Mereka dapat bertemu secara teratur dan bertukar pikiran mengenai beragam persoalan bangsa ini. Mereka dapat berbagi pengalaman kepada Presiden Joko Widodo, juga memberi masukan. Bagi presiden yang sedang menjabat, masukan seperti ini tak perlu diartikan sebagai tindak menggurui, melainkan menampung masukan itu sebagai manifestasi kepedulian para presiden terdahulu. Terdengar bagus, bukan?

Sayangnya, memang masih ada persoalan yang berpotensi mengganjal, yakni afiliasi politik dalam bentuknya yang konkret berupa keterlibatan dalam partai secara aktif. Habibie tidak punya kepentingan politik semacam itu. Ia merdeka, sebab itu banyak orang mendatanginya untuk berdiskusi dan meminta masukan.

Ganjalan potensial bagi terwujudnya klub para presiden ini ada pada figur Megawati Soekarnoputri dan Susilo Bambang Yudhoyono. Megawati dan SBY masih punya kepentingan politik, sebab Megawati Ketua Umum PDI-P dan SBY Ketua Umum Partai Demokrat. Posisi kedua partai yang mereka pimpin dalam kaitan dengan pemerintahan Joko Widodo juga berbeda, yang satu mendukung penuh sedang yang satu lagi berada di tengah. Mereka pun punya generasi berikut yang mungkin akan berkompetisi secara langsung di arena politik di masa mendatang: ada Puan Maharani, Agus Harimurti, dan Edhie Baskoro. Kedua figur itu mungkin berpikir bahwa penerusnya masih perlu bimbingan dan perlindungan dengan cara tetap berada di dalam partai.

Hubungan Megawati dan Yudhoyono juga belum mulus karena pengalaman relasional di antara mereka. Sudah bertahun-tahun berlalu, namun hubungan ini terlihat oleh umum masih belum normal. Seiring berjalannya waktu, rakyat sebenarnya ingin melihat persoalan di antara mereka sudah luntur. Keduanya sudah semakin sepuh, masihkah persoalan lama menjadi ganjalan untuk menjalin hubungan baik?

Di usia yang kian sepuh, keduanya masih bisa berperan dalam masyarakat dan berkontribusi kepada negara dan bangsa, tapi bukan dengan terlibat aktif dalam partai politik, apa lagi sebagai ketua umum. Klub Presiden itulah tempat yang lebih cocok bagi mereka berdua. Mereka sudah seharusnya beranjak meninggalkan partai, melampaui kepentingan partai, dan berpikir dalam tataran negara dan bangsa—menjadi negarawan sepenuhnya.

Di Klub Presiden itu, pak Habibie, bu Mega, dan pak Yudhoyono dapat bertukar pikiran dengan gayeng, tanpa memikirkan kepentingan politik masing-masing, dan memberi masukan kepada presiden yang sedang menabat, Presiden Jokowi. Agar lebih luas perspektif diskusinya, boleh juga Wapres Jusuf Kalla dan para wapres terdahulu dilibatkan. Setiap bulan, mereka makan bersama dengan santapan sayur lodeh dan ikan masa goreng, membicarakan persoalan bangsa dengan rileks karena tidak terlampau terbebani oleh kalkulasi politik partisan. Masyarakat kita niscaya akan lebih damai karena para presiden dan wapres terdahulu telah mencapai tataran negarawan. ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler