x

Iklan

Yugha Erlangga

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Super-Semar dan Kerinduan ‘daripada’ Tirani

Semar itu sudah hebat. Lalu, jika dalam jagat politik dan kekuasaan diembeli kata 'Super' jadi apakah sosok ini kelak?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Membicarakan Suharto sama rumitnya dengan menguliti Sukarno, juga penguasa-penguasa lain sesudahnya di bumi pertiwi. Lalu, mengapa Suharto begitu “berkesan” dalam memori banyak orang? Usia kekuasannya saja sama tuanya dengan umur saya hari ini: 32 tahun. Lalu, selama itu pula kita dibuat percaya mitos kepemimpinan ini, “Jika Pak Harto meninggal, siapa yang pantas menggantikannya?” Kosakata “pantas” sama dengan “setara”. Suharto adalah sosok yang berada dalam puncak piramida politik Indonesia ketika itu. Silakan Anda berebut kekuasaan lain, asal jangan bermimpi menjadi presiden di era itu.

Bagi sebagian orang, Suharto yang menua di pengujung milenium ketika itu adalah begawan. Beliau mungkin saja bercita-cita mulia jika tak jatuh terlebih dahulu. Cita-cita itu adalah menjadi Semar yang duduk di singgasana kebajikan. Mengapa Semar? Jangan lupa, Pak Harto adalah seorang penghayat Jawa. Ia dikenal tekun menjalani lelaku kebatinan Jawa. Ia berguru pada guru-guru spiritual seperti Romo Budi dan Romo Marto. Konon, Pak Harto “diangkat” oleh gurunya tersebut menjadi Rama, tokoh utama Ramayana, sedangkan Bu Tien sebagai Shinta. Adalah Soedjono Humardhani, dikenal sebagai Asisten Pribadi Pak Harto saat mengawali kekuasaannya, yang konon menjadi mitra kebatinannya.  

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sebagai seorang pria Jawa, Pak Harto tentu tidak hanya menikmati indahnya alunan klenengan, pentas wayang kulit, atau masakan Jawa. Pak Harto khatam nilai-nilai filosofis Jawa.  Berkali-kali filosofi Jawa hadir dalam pidatonya yang membosankan itu. Kalimat ‘Mikul Duwur Mendhem Jero’ atau ‘Lengser Keprabon’ adalah konsep-konsep kejawaan yang hadir di ruang publik saat Pak Harto masih berkuasa.

Menarik untuk mencermati sebuah “surat sakti” mengantarnya menuju puncak kekuasaan. Surat Perintah Sebelas Maret, namanya. Dokumen yang kemudian disingkat menjadi ‘Supersemar’. Sebuah kebetulan yang menarik. Kita boleh sinis dengan menyebutnya otak-atik gathuk atau cocok-mencocokkan dalam semiotika Jawa. Mengapa Semar? Bagi Suharto, peristiwa bulan Maret 1966 itu adalah pengulangan heroik kariernya setelah Serangan Umum Satu Maret 1948, yang bisa juga disingkat ‘Semar’.

Tokoh Semar adalah manifestasi kebijaksanaan dalam pewayangan Jawa dan Sunda. Kyai Lurah Semar Badranaya, nama lengkapnya, adalah nama tokoh punakawan utama dalam pewayangan Jawa dan Sunda. Tokoh ini dikisahkan sebagai pengasuh sekaligus penasihat para kesatria dalam pementasan kisah-kisah Mahabharata dan Ramayana. Tentu saja nama Semar tidak ditemukan dalam naskah asli kedua kisah tersebut yang berbahasa Sanskerta, karena tokoh ini merupakan asli ciptaan pujangga Jawa.

Semar dikisahkan sebagai abdi atau hamba yaitu Sahadewa dari keluarga Pandawa. Tentu saja peran Semar tidak hanya sebagai pengikut saja, melainkan juga sebagai pelontar humor untuk mencairkan suasana yang tegang. Semar pandai menempatkan diri sebagai penasihat yang bijak atau pemecah suasana dengan humornya. Sebagai abdi, Semar adalah simbol ketulusan. Lawan Semar adalah Togog, pengasuh kaum raksasa.

Dalam kisah pewayangan, anak asuh Semar selalu dapat mengalahkan anak asuh Togog. Kisah ini sarat simbol yaitu Semar sebagai gambaran perpaduan rakyat kecil sekaligus dewa kahyangan. Jadi, apabila para pemerintah, yang disimbolkan sebagai kaum ksatria asuhan Semar, mendengarkan suara rakyat kecil yang bagaikan suara Tuhan, maka negara yang dipimpinnya pasti menjadi nagara yang unggul dan sentosa.

Sepertinya, menjadi Semar tak cukup bagi Pak Harto. Perlu kata ‘super’ untuk mempertegas jatidiri Semar. Sosok Semar yang sudah adi-manusia, ditambahi embel-embel ‘super’. Lalu, apa yang bisa kita lihat dari Semar yang super tadi? Pak Harto yang mengemban Supersemar dari Bung Karno mulai menjalankan strategi “kudeta merangkak”. Alih-alih ‘menasihati’ dan ‘melindungi’ Paduka yang Mulia Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno, Suharto pun mempreteli kewenangan Bung Karno satu per satu.

Super-Semar menghantam lawan politik terutama Partai Komunis Indonesia dengan membubarkannya. Mereka yang dituduh terlibat Gerakan 30 September ditangkap, dipenjara, atau dibunuh. Super-Semar pun membuat Sang Tuan murka. “Dikiranya SP Sebelas Maret adalah surat penyerahan pemerintahan. Dikiranya SP Sebelas Maret itu, suatu transfer of sovereignty. Transfer of authority. Padahal TIDAK! SP Sebelas Maret adalah suatu perintah. SP Sebelas Maret adalah suatu perintah pengamanan. Perintah pengamanan jalannya pemerintahan. Pengamanan jalannya ini pemerintahan. Seperti kukatakan dalam pelantikan kabinet. Kecuali itu juga perintah pengamanan keselamatan pribadi Presiden. Perintah pengamanan wibawa Presiden. Perintah pengamanan ajaran Presiden,” ujar Sukarno dalam sebuah pidato. Hingga, Sang Tuan jatuh dan digantikan oleh abdinya, Sang Semar yang Super.

 Kebatinan Jawa tak selamanya buruk bagi Pak Harto. Sebuah wangsit dari Sang Guru Kebatinannya sempat memperingatkannya untuk turun tahta lebih cepat. Tapi, beliau menolak dan meminta perpanjangan waktu dari Sang Guru. Alhasil, beliau pun jatuh setelah 32 tahun berkuasa. Dan kini, atas nama doa, zikir, dan salawat, kita mendoakan dan merindukan Super-semar, ikon parpurna sinkretisme Islam dan Jawa. ***

 Sumber gambar: Suharto by monsteroftheid

Ikuti tulisan menarik Yugha Erlangga lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler