x

Izin Ekspor Freeport Diperpanjang hingga 2017

Iklan

Rikson Tampubolon

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Polemik Freeport dan Nasionalisme Kita

Polemik PT. Freeport Indonesia (PTFI) dengan pemerintah belakangan ini, tidak bisa disangkal mengusik rasa nasionalisme kita

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Polemik PT. Freeport Indonesia (PTFI) dengan pemerintah belakangan ini, tidak bisa disangkal mengusik rasa nasionalisme kita. Eksistensi negara di uji ketika berhadapan dengan simbol kekuatan asing di negeri ini. Apalagi itu adalah negara adidaya yang kerap dituding sebagai negara yang terus melakukan hegemoni mereka di seluruh dunia, tak terkecuali di Indonesia.

Dari sisi ekonomisnya, singkatnya Freeport dianggap terlalu kecil memberikan keuntungan kepada pemerintah Indonesia, khususnya masyarakat Papua dari keuntungan yang mereka peroleh dari perut bumi pertiwi. Hal ini tentunya mencerminkan kelemahan posisi negara ini, ketika berhadapan dengan kepentingan asing.

Polemik Freeport dengan pemerintah sebenarnya bukanlah hal yang baru. Yang terakhir kita tentunya masih segar diingatan mengenai kasus “papa minta saham” yang menyeret nama ketua DPR RI. Kegaduhan di tubuh PTFI, terkadang ada juga yang memanfaatkannya untuk dijadikan lahan bancakan untuk mengambil keuntungan oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bertaruh

Freeport kabarnya menolak syarat-syarat yang diajukan pemerintah Indonesia terkait dengan perubahan status izin usahanya, dari Kontrak Karya menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Perubahan mendasar dalam status kontrak tersebut dapat dilihat dari, bagaimana posisi negara dalam bisnis di PT FI.

Ancaman mengadukan pemerintah dan membawa ke mahkamah arbitrase internasional merupakan langkah yang harus ditempuh oleh Freeport, apalagi tidak ada kesepakatan dalam negosiasi kontrak tersebut. Untungnya pemerintah tidak bergeming sedikitpun. Bukannya mundur, pemerintah malah menantang agar permasalahan mengenai kelangsungan bisnis Freeport dibawa ke forum arbitrase dan mengancam apabila PTFI kalah,--tak tanggung-tanggung--Freeport dipersilahkan angkat kaki dari Indonesia.

Ancaman Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) juga dilancarkan Freeport (senjata klasik) untuk menekan dan melemahkan posisi pemerintah. PTFI lagi-lagi bertaruh dengan mengorbankan kinerja korporasi tersebut.

Kondisi ini tentunya jelas sangat merugikan PTFI. Terbukti, saham Freeport McMoran di bursa saham New York turun drastis. Mengacu data Bloomberg, harga emiten berkode FCX ini terjun bebas sebesar 19,3 persen dari US$ 17,02 pada 24 Januari 2017 lalu menjadi US$ 13,73 per saham (22/2). Kebangkrutan didepan mata, bila situasi yang penuh ketidakpastian disertai sentimen negatif ini terus berlanjut.

Sebagai perusahaan afiliasi dari Freeport McMoran sebagai perusahaan tambang internasional utama yang berpusat di Arizona (USA). Freeport McMoran merupakan perusahaan publik di bidang tembaga yang terbesar didunia. Namun, di Indonesia melalui PTFI menambang dan melakukan eksplorasi terhadap bijih yang mengandung tembaga, emas dan perak yang diekspor keseluruh penjuru dunia. Beroperasi di daerah dataran tinggi di Kabupaten Mimika, Provinsi Papua.

Kontrak Kedaulatan

Dalam rejim kontrak karya sebelumnya, PT FI diberlakukan setara dengan negara. Sedangkan, dalam aturan yang baru (IUPK)--yang ditetapkan pemerintah pada tanggal 10  Februari 2017 ini—pemerintah menjelaskan posisi negara dalam bisnis PTFI yaitu negara lebih tinggi kedudukannya dibandingkan dengan korporasi tersebut. Sebab, negara merupakan pemberi izin bagi usaha PTFI.

Perubahan status ini juga merupakan salah satu syarat bagi Freeport, agar tetap bisa melakukan kegiatan utama bisnisnya yaitu ekspor mineral mentah. Disamping kewajibannya membangun inndustri pengolahan mineral mentah menjadi barang yang bernilai tambah (smelter).

Dalam aturan yang disodorkan oleh pemerintah dalam IUPK, Freeport harus melakukan divestasi sebesar 51 persen sahamnya ke Pemerintah Indonesia, maupun ke entitas lokal. Kewajiban ini sebenarnya bukanlah hal yang baru disodorkan kepada Freeport. Dalam Kontrak Karya yang dipakai sebelumnya, sebenarnya Freeport diamanatkan melakukan kewajiban divestasi 51 persen sahamnya kepada pemerintah Indonesia, setelah 10 tahun masa operasi.

Hanya saja, Freeport yang sudah beroperasi hampir setengah abad ini, selalu mangkir dari kewajiban tersebut dengan sejumlah dalilnya. Misalnya, pada masa pemerintahan Presiden SBY, kewajiban tersebut dilonggarkan. Dalam produk hukum pemerintah saat ini yaitu Peraturan Pemerintah (PP) No. 23/2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Dalam peraturan disebutkan salah satunya memberi kelonggaran dalam hal kewajiban divestasi sahamnya menjadi 20 persen bagi perusahaan asing, termasuk didalamnya Freeport.

Namun rejim sekarang sepertinnya ingin mengembalikan kontrak kedaulatan--kesepakatan yang tertunda--tersebut. Pemerintah menerbitkan PP No. 1/2007 tentang revisi pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara. Mau tidak mau, semua usaha pertambangan mineral dan batubara yang ada di bumi pertiwi ini tanpa terkecuali, seperti Freeport wajib mendivestasikan sahamnya minimal 51 persen ke pemerintah Indonesia.

Berdikari

Seringnya polemik kasus Freeport ini timbul dan tenggelam kepermukaan, tanpa jelas penyelesaiannya, terkadang membuat pesimisme dalam melihat kasus ini. Namun, hari ini masyarakat ingin melihat negara ini benar-benar berdaulat dan tidak tunduk terhadap kepentingan asing.

Sudah lama anak-anak negeri ini merindukan konsep berdikari (berdiri di kaki sendiri)—yang sering didengung-dengungkan Presiden Jokowi, yang termanisfestasi dalam ajaran Trisakti Bung Karno--dibumikan di negeri yang berdaulat ini. Ada kegairahan baru saat pemimpin kita mampu menunjukkan taring kepemimpinan yang tidak bisa di dikte oleh kepentingan asing. Semua keputusan dan kebijaksanaan yang ada, semata-mata untuk mensejahterakan rakyat Indonesia dan mencerminkan kedaulatan bangsa.

Konstitusi kita, jelas telah mengamanatkan bahwa "Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat." (UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 33 ayat 3). Negara tidak boleh mundur sejengkal pun mengenai hal prinsip kedaulatan bangsa ini.

Apa yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia terhadap korporasi asing dinegeri ini masih dalam tataran normatif. Kita tentunya pernah belajar dan tahu, banyak cara-cara yang radikal dan revolusioner yang pernah dipertontonkan negara lain dalam menasionalisasikan aset-aset asing. Namun, pemerintah sekarang lebih memilih cara-cara yang moderat dan tidak terlalu mengambil resiko demi stabilitas bangsa dan negara ini.

Lagipula, sekian lama kita belajar dan bekerja dalam mengisi pembangunan. Sumber Daya Manusia kita pasti mampu mengelola Freeport, apabila kemungkinan terburuk Freeport harus angkat kaki dari republik ini. Kompromi atau negosiasi yang ada, hanya semata-mata ditujukan untuk kemakmuran rakyat. Dan bukan untuk kepentingan asing semata, yang berat sebelah.

Sudah saatnya kita memberikan dukungan moril kepada pemerintah untuk menegakkan kedaulatan negeri ini. Mengawal perkembangan kasus ini dan mendukung upaya yang dilakukan pemerintah dalam membina PTFI, agar memenuhi segala kewajibannya sesuai dengan peraturan yang berlaku di negeri yang berdaulat ini.

Ikuti tulisan menarik Rikson Tampubolon lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler