x

Iklan

Syarifuddin Abdullah

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Mbah Hasyim Muzadi, In Memoriam

ada dua fokus agenda keagamaan yang relatif konsisten disuarakan oleh Mbah Hasyim: memerangi radikalisme dan menjinakkan Islam Liberal.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Keabadian hanya milik Allah semata. Semua akan fana, kembali ke pangkuan-Nya. Dan kita berduka atas wafatnya Mbah Hasyim di Malang pada Kamis pagi, 16 Maret 2017, sekitar pukul 06.00 WIB di usia 72 tahun. Inna lillahi wa inna illahi raji’un.

Sekitar seminggu lalu, tepatnya Sabtu, 11 Maret 2017, saya sempat menerima kabar via pesan pendek bahwa KH Hasyim Muzadi – Mbah Hasyim dan/atau Abah Hasyim – telah wafat. Saya mencoba mengkonfirmasi melalu seorang sahabat di Semarang, yang dekat dan biasanya aktif di komunitas NU, dan dipastikan bahwa hari itu Mbah Hasyim belum wafat, meski telah diminta oleh dokter agar istirahat total.

Secara pribadi, saya tidak pernah bersentuhan langsung dengan Mbah Hasyim, namun relatif aktif mencermati setiap pernyataan publiknya, terutama yang berkaitan dengan fenomena keagamaan, sosial dan politik nasional. Dan saya memiliki beberapa catatan tentangnya:

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pertama, Mbah Hasyim adalah ulama NU yang bisa bermain dan relatif konsisten di dua lini sekaligus (politik dan keagamaan), dengan nyaris tanpa konflik. Mbah Hasyim tetap dihormati sebagai ulama yang pandangannya tetap ditunggu oleh komunitas NU, meski biasanya seorang ulama terjun ke dunia politik akan mengalami semacam redup kredibilitas. Ini menunjukkan bahwa Mbah Hasyim memiliki “talenta tersendiri” untuk menghindari konflik dalam dirinya ketika aktif di dua kutub yang sering tidak sejalan itu: ulama dan politisi.

Kedua, setelah almarhum Gus Dur, almarhum Mbah Hasyim Muzadi adalah orang kedua dari kalangan ulama NU, yang pernah dan masih bermain di jantung kekuasaan nasional. Bahkan pernah maju sebagai Cawapres ketika mendampingi Megawati Soekarnoputri pada Pilpres 2004, meski gagal melawan pasangan SBY-JK. Dan sampai wafat masih menjabat sebagai anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres).

Ketiga, beberapa kali saya mengikuti gaya penampilannya di forum ilmiah berkelas internasional, misalnya lewat forum ICIS (International Conference of Islamic Scholars), yang diprakarsai oleh Mbah Hasyim, yang setiap tahun menggelar konferensi tahunan. Dan saya menilainya sebagai penampilan biasa saja. Saya bahkan menilai, kemampuan tutur Bahasa Arab Mbah Hasyim Muzadi belum mencapai level seminar. Beliau masih terkesan sulit mengartikulasikan pemikiran dan gagasan secara utuh dalam Bahasa Arab. Meski saya tahu, Mbah Hasyim adalah alumni Gontor dan IAIN Malang. Dengan kata lain, tingkat kemahiran Bahasa Arabnya masih “kelas pondok banget”. Kemahiran bahasa Inggrisnya juga relatif sama.

Tujuan awal Mbah Hasyim membentuk ICIS adalah menfasilitasi para ulama dan cendekiawan Indonesia ke forum-forum internasional, dan gagasan besar relatif belum maksimal. Dalam kaitan ini, saya tidak bisa memahami dan juga belum menemukan alasannya, kenapa Hasyim Muzadi yang membentuk ICIS ketika menjabat Ketum PBNU, lalu memboyong organisasi ICIS itu keluar dari PBNU, ketika beliau lengser sebagai Ketum PBNU.

Keempat, berdasarkan pengamatan saya, ada dua fokus agenda keagamaan yang relatif konsisten disuarakan oleh Mbah Hasyim di hampir setiap momen dan forum, sejak beliau masih menjabat Ketua Umum PBNU sampai wafatnya, yakni memerangi radikalisme yang biasanya dikonotasikan dengan Wahhabisme dan pada saat yang sama mencoba “menjinakkan” pengaruh paham Islam liberal.

Terkait dua tema itu, Mbah Hasyim sering membahasakannya dengan ungakapan bahwa komunitas NU atau moderasi NU di Indonesia terjepit oleh dua kutub, yang kira-kira sama gendheng-nya, atau komunitas NU berada di antara palu dan tatakannya, yaitu: (1) paham radikalisme-terorisme yang biasanya dikonotasikan dengan paham Wahhabi, yang diposisikan sebagai antitesis terhadap paham dan tradisi NU dan komunitasnya; (2) pengaruh paham-paham liberal, yang notabene banyak diwakili oleh tokoh muda NU juga.

Kelima, dalam soal keilmuan Islam, saya menilai Mbah Hasyim sebagai ulama konservatif, dengan karakter yang NU banget, tidak terlalu tertarik melibatkan diri dalam konfrontasi perdebatan fikhi. Dan sejauh pengamatan saya, Mbah Hasyim tidak pernah menghasilkan gagasan-gagasan genuine yang memiliki sentuhan pembaruan pemikiran dan pergerakan Islam.

Keenam, seperti umumnya kiai-kiai NU, Mbah Hasyim adalah ulama penutur, bukan ulama penulis. Tiga buku yang ditulis atas nama KH. Hasyim Muzadi tidak satupun yang berkaitan dengan pemikiran keagamaan, tapi lebih ke soal kiprah NU dalam percaturan politik nasional.

Ketujuh, Mbah Hasyim Muzadi adalah figur dan tokoh NU yang memenuhi semua syarat untuk disebut sebagai kiai benaran: latar belakang pendidikan keagamaan; kerangka pemikiran keagamaan dalam membaca setiap kasus; memimpin dan mengelola Pondok Al-Hikam di Malang dan Depok, pernah menduduki jabatan eksekutif tertinggi di PBNU, memiliki pengajian rutin di berbagai titik, dan saya yakin menjadi salah satu rujukan oleh komunitas NU secara luas; penampilannya selalu santun, tidak meledak-ledak, dan semua itu membuktikan kearifannya sebagai seorang alim.

Saya selalu memposisikan diri sebagai murid tidak langsung dari KH Hasyim Muzadi, doa tulus semoga Allah melimpahkan Rahmat-Nya untuk beliau.

Syarifuddin Abdullah | Kamis, 16 Maret 2017 /18 Jumadil-akhir 1438H.

Sumber foto: http://icisjakarta.blogspot.co.id

Ikuti tulisan menarik Syarifuddin Abdullah lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler