Januari lalu, saat dirawat di rumah sakit, Kiai Haji Hasyim Muzadi—sesepuh Nahdlatul Ulama—menyampaikan pesan. Seperti dikutip tempo.co, Kiai Hasyim berpesan: “Indonesia membutuhkan orang tua. Bukan usianya yang tua, tetapi mengerti dan memahami kondisi bangsa.” Mantan Ketua Umum PBNU itu melanjutkan: “Orang tua yang mengerti dan membela kepentingan masyarakat serta tidak berpihak kepada kelompok tertentu.”
Kebutuhan kita akan orang tua seperti yang digambarkan Kiai Hasyim itu memang sangat terasa, khususnya ketika terjadi perbedaan pendapat di antara unsur-unsur masyarakat yang masing-masing merasa lebih benar dibandingkan yang lain. Tiap-tiap pihak mengajukan argumen dan, repotnya, masing-masing merasa argumennya paling benar. Ada keengganan untuk membuka diri terhadap pendapat yang berbeda dan ada keengganan untuk mengakui bahwa kebenaran mungkin ada di tempat lain, bahkan di tempat yang tidak kita sukai.
Masing-masing mengerahkan kecerdasannya untuk membangun argumen dan membungkusnya dengan kemasan agar menarik perhatian, simpati, dan keberpihakan masyarakat. Masing-masing pihak mengerahkan pendukung dan memanfaatkan kecanggihan teknologi untuk memengaruhi dan membentuk persepsi masyarakat. Dihadapkan pada situasi yang membingungkan, masyarakat kerap kesulitan menentukan pendapat mana yang sebaiknya diikuti.
Masyarakat memerlukan figur yang mampu bertindak layaknya orang tua seperti digambarkan oleh Kiai Hasyim, yang tidak berpihak kepada kelompok tertentu secara partisan. Figur ini mestinya mampu berdiri di atas semua lapisan masyarakat. Di tengah konflik yang mungkin terjadi, figur ini mampu bersikap adil, mendengarkan keinginan, harapan, maupun argumen masing-masing dan berusaha menemukan jalan keluar yang dapat menyelesaikan perselisihan.
Bersikap adil, itulah yang sukar. Figur orang tua ini hendaknya bukanlah sosok yang terbiasa mencari-cari kesalahan orang lain atau menimpakan kesalahan kepada orang lain. Terlebih ketika situasi yang dihadapi cenderung menyudutkan dirinya. Mengakui kesalahan bukanlah tindakan yang akan merendahkan martabat seorang pemimpin. Justru kebiasaan menimpakan kesalahan kepada orang lain malah menunjukkan karakter pemimpin itu.
Figur orang tua semestinya mampu memahami apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh unsur-unsur masyarakat atau kelompok. Memahami, dalam konteks ini, bukanlah membenarkan tindakan kelompok tertentu yang keliru, melainkan berusaha berempati dan berusaha memahami mengapa unsur masyarakat tertentu bersikap dan bertindak demikian. Pemimpin yang mampu berempati yang kita perlukan, yang mencarikan solusi bagi kepentingan bersama, bukan pemimpin yang hanya berpihak kepada kelompok ini atau kelompok itu.
Figur-figur seperti mantan presiden dan wakil presiden, walaupun tidak terbatas pada mereka, sesungguhnya dapat berperan sebagai orang tua seperti yang dibayangkan Kiai Hasyim. Setidaknya, mereka pernah terpilih untuk menempati posisi yang menentukan arah bangsa dan negeri ini. Sosok seperti B.J. Habibie, Megawati, maupun SBY berpotensi memainkan peran semacam itu. Sayangnya, mungkin hanya Habibie yang tidak lagi punya kepentingan politik praktis, sedangkan dua figur lainnya masih senang dan betah menjabat ketua umum partai politik masing-masing.
Meskipun pernah ada di Golkar, Habibie sesungguhnya bukanlah politikus tulen yang senang bersiasat, oleh sebab itu untuk sementara barangkali Habibie yang berpotensi berperan sebagai ‘orang tua’ yang tidak akan bersikap partisan dalam menghadapi konflik, yang akan bersikap empatetik dalam memahami pikiran dan perasaan orang atau kelompok tertentu, yang tidak akan serta merta menghakimi sikap dan perbuatan orang lain tanpa menyelami latar belakangnya.
Bangsa ini memerlukan sosok negarawan yang sepenuhnya berpikir dari sudut pandang bangsa, bukan kelompok maupun partai. Di luar mantan presiden dan wakilnya, mungkin saja ada figur-figur lain yang dapat berperan sebagai ‘orang tua’ seperti dibayangkan Kiai Hasyim. Salah satunya, barangkali Kiai Hasyim sendiri. Tapi, hari ini, Kiai Hasyim sudah berpulang, walau gagasannya masih tertinggal. Mudah-mudahan, Kiai Hasyim khusnul khatimah. ***
Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.