x

Ilustrasi dokter/kesehatan. Pixabay.com

Iklan

gusti adintya

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Menguatkan Layanan Kesehatan Primer

Menguatkan layanan kesehatan primer merupakan arahan organisasi kesehatan dunia. Pembentukan dokter layanan primer adalah salah satu langkah mewujudkannya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Nyonya Sri (bukan nama sebenarnya) adalah seorang pasien poliklinik di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Sumedang. Beliau adalah seorang penderita kencing manis yang membutuhkan pengobatan insulin. Setiap bulannya Ny. Sri harus dirujuk ke poliklinik diabetes RS karena dokter umum di puskesmas tidak memiliki wewenang untuk meresepkan insulin. Padahal, rumah sakit rujukan tersebut berjarak cukup jauh dari rumah Ny. Sri. 

Ilustrasi di atas saya temui saat koasisten pada pertengahan tahun 2016 lalu. Kondisi tersebut menggambarkan kebutuhan masyarakat yang seringkali berbenturan dengan kemampuan dan wewenang yang dimiliki dokter umum di layanan kesehatan primer. Kondisi ini akan lebih efisien jika kemampuan dan wewenang dialihkan pada dokter di puskesmas, agar penderita tidak perlu bolak-balik ke rumah sakit.

Untuk meningkatkan pengetahuan dan wewenang dokter, diperlukan pendidikan lanjutan. Namun memperpanjang masa studi dokter umum bukanlah pilihan bijak, karena Indonesia juga masih membutuhkan dokter spesialis. Pemerintah membentuk dokter layanan primer (DLP) untuk mengatasi permasalahan tersebut. DLP merupakan dokter spesialis yang nantinya akan ditugaskan di puskesmas dan klinik pratama dan memiliki pengetahuan dan wewenang lebih dari dokter umum.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pembentukan DLP merupakan amanat dari Undang-Undang No. 20 tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran. Kebijakan ini juga akan mengalihkan orientasi pelayanan kesehatan pada pengguna, bukan lagi penyakit. 

Dengan adanya DLP di puskesmas terdekat, Ny. Sri tidak lagi perlu ke rumah sakit untuk mendapatkan insulin. Dokter pun lebih mudah mengawasi pola makan, olahraga, serta manajemen stres Ny. Sri untuk mencegah penyakitnya bertambah parah.

Pada tahun 2015 lalu, Indonesia telah gagal menurunkan angka kematian ibu dan anak sesuai target Millenium Development Goals (MDGs). Dua indikator ini merupakan cerminan dasar pelayanan kesehatan suatu negara dan berujung tombak di fasilitas kesehatan primer. Indonesia merupakan negara yang sangat luas, dimana masih ada daerah pelosok yang kesulitan akses ke rumah sakit rujukan. Pada kondisi seperti ini, puskesmas dan klinik pratama harus mampu menyelesaikan kasus-kasus kegawatdaruratan.

Ada banyak kasus kegawatdaruratan yang sebenarnya dapat dicegah. Contohnya pada penyakit diare yang paling sering menyebabkan kematian pada anak. Jika saja orang tua anak memahami mengenai tanda bahaya diare dan pertolongan pertama dehidrasi, maka kematian dapat dihindari. Namun kenyataan yang terjadi di lapangan seringnya dokter tidak memiliki waktu untuk memberikan edukasi penyakit, karena membludaknya jumlah pasien. Perubahan paradigma dari kuratif menjadi prevensi ini merupakan salah satu prinsip yang diusung oleh DLP. Perubahan ini sekaligus sejalan dengan arahan organisasi kesehatan dunia (WHO) yang menekankan prinsip holistik.

Besarnya penolakan kebijakan DLP dari kalangan profesi dokter merupakan suatu fenomena tersendiri. Ikatan Dokter Indonesia (IDI) telah mengajukan judicial review terhadap Undang-Undang No. 20 tahun 2013 dan ditolak oleh Mahkamah Konstitusi. Resistensi ini tidaklah diperlukan, karena pendidikan spesialis untuk tingkat primer tidak hanya diberlakukan di Indonesia. Inggris dan Belanda, negara yang menerapkan jaminan kesehatan nasional beberapa dekade lebih awal, juga memberlakukan DLP dengan nama dokter keluarga. Hal ini memperkaya argumen bahwa kebijakan sejenis memang dibutuhkan.

Sebagaimana telah dilafalkan pada naskah sumpah profesinya, seorang dokter akan membaktikan hidupnya guna kepentingan kemanusiaan. Termasuk di dalamnya seorang dokter telah siap menjadi pembelajar seumur hidup (life-long learner). Maka, pembentukan DLP seharusnya tidak mempengaruhi semangat dokter untuk terus belajar. Apalagi pendidikan ini bukanlah suatu kewajiban bagi dokter yang ingin mengambil spesialisasi lain, atau menjadi pendidik dan peneliti.

Pembentukan DLP merupakan langkah kecil dari perjalanan panjang penguatan sistem kesehatan. Transisi kebijakan ini pun diestimasi memerlukan 20 tahun sebelum dapat sepenuhnya diberlakukan. Dalam jangka waktu tersebut, tantangan kesehatan tentunya akan lebih besar dari hari ini dan pelayanan kesehatan di Indonesia harus sudah siap menghadapinya.

 

Ikuti tulisan menarik gusti adintya lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu