x

Iklan

Ranang Aji SP

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Wimba Indonesia, Kebudayaan Sebagai Panglima

Seni rupa Indonesia tak memiliki identitas. Wimba Indonesia berjuang mencapainya dan menjadikan kebudayaan sebagai panglima.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Malam , di sebuah empang milik sastrawan senior Ayip Rosidi. Cahaya purnama membias pucat-perak diantara pohon-pohon dan permukaan air kolam. Sebuah huma berlantai dua berdiri sebagai siluet dikelilingi kolam-kolam berisi ikan dan udang.

Di samping huma, tampak empat orang berkumpul di bawah atap dapur yang tak berdinding. Tiga pria dan satu perempuan muda. Duduk diagonal menghadap api dalam tungku yang menyala dan menari-nari dalam irama yang dinamis. Di depannya sebuah kolam induk meringkuk dingin. Salah satu diantara mereka berdiri dan menyambutku dengan tawa yang lebar.

Pria ini Acil Aliancah. Tubuhnya kecil proposional. Rambutnya ikal sebahu dengan jambang yang lebat di wajahnya. Ia bernama asli Nurul Hayat biasa dipanggil Acil. Pelukis asal Tasikmalaya dan berdomisili di Yogyakarta. Ia mengantarku pada tiga sahabat lainnya. Diantara mereka adalah Nundang Rundagi. Anak pemilik empang seluas delapan hektar ini. Selesai berbasa-basi ringan, kopi baru diseduhkan untukku.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Menamakan kelompoknya Wimba Indonesia, mereka selalu rutin berkumpul di empang ini. . Wimba Indonesia mencirikan karya rupa mereka dengan bahasa rupa Ruang-Waktu-Datar (RWD). Istilah ini berasal dari Profesor Primadi Tabrani, Guru Besar Seni Rupa ITB.

Di empang ini, mereka berbincang tentang seni rupa,kebudayaan dan omong kosong yang lain. Tetapi malam ini, ada tema yang sangat menarik tengah diperbincangkan. Seni rupa Indonesia. Sebuah kredo yang berangkat dari kesadaran membangun identitas kebudayaan bangsa.

“Apa maksudnya? Kredo ini seolah mencemaskan sebuah kondisi yang memprihatinkan.”

Acil tertawa lepas. Ia memandang pada Nundang Rundagi sekejap dan balik bertanya kepadaku, memang apa yang kamu pikir tentang seni rupa Indonesia? Seni rupa Indonesia membosankan, jawabku asal.

Seni sebagi identitas

Seni rupa Indonesia, sebagaimana adanya dan seperti halnya seni modern lainnya selalu menggagas hal-hal yang tidak selalu utuh. Seperti kepingan-kepingan yang berserakan dalam jiwa yang rapuh dan sendiri. Berteriak tanpa henti dan selalu mencari jalan keluar diantara pintu-pintu yang terbuka di depan mata.

Itu kegelisahan yang diwariskan modernisme sejak zaman Renainsans pada abad 15-16 Masehi di eropa pada masyarakat timur. Masyarakat yang galau terhadap eksistensi kemanusiaannya. Dogma gereja dan pertarungan antara kebenaran yang dijejalkan gereja dengan realitas hidup yang terkadang pahit. Maka, manusia harus dibebaskan dari belenggu-belenggu gereja.

Setidaknya pemikiran filsuf John Locke (1632-1704) merupakan stimulus yang kuat di abad pertengahan itu. Hadir filsuf lain di Perancis dengan pemikiran yang senada seperti J.J. Rousseau, Voltaire, serta Montesquieu. Jauh sebelumnya, tentu Aristoteles, Plato juga sudah menggagasnya. Substansi pemikiran itu terwujud dalam bentuk yang berciri Natural-Perspective-Momenopame (NPM). Dunia ditampakkan dalam dunia yang mengerucut, mengecil di sudut-sudut yang sunyi. Semua terangkum dalam satu dunia dan satu waktu yang melebur.

Angin semilir, permukaan air bergoyang. Acil semakin bersemangat menjelaskan dasar kredo seni rupanya. Teman-teman lain mendengarkan bersama angin yang digin dan asap rokok yang mengepul.

Kenapa seni rupa kita, ada yang salah?

Tidak ada yang salah, tuturnya, seni rupa kita biasa saja. Kita menerima semua konsep dari Barat. Seni rupa Barat begitu kokoh, rasional dan punya kemegahannya semdiri. Lihat karya-karya rupa mereka seperti arsitekturnya, patung-patung dan lainnya.

Tetapi Timur adalah dunia yang eksotis. Pusat dari awal segala peradaban dunia. Mesir, Cina, Persia adalah bukti konkret. Islam pun bila bisa mewakili Timur adalah bentuk bukti yang lain. Lihat, bagaimana mereka menguasai dunia di masa lalu menggantikan dominasi kekasiran Romawi. Tidak saja secara politik tetapi juga peradaban dan seni rupanya.

Ada garis pemisah dalam seni rupa Timur dan Barat. Garis pemisah yang menunjukkan karakter budaya. Bukan sebagai makna politis, namun hanya penanda kebudayaan.

Semacam identitas kebudayaan. Seni rupa Timur berkebalikan dengan Barat yang NPM. Egosentris. Timur memiliki ciri Ruang-Waktu-Datar (RWD). Konsep Timur ini memiliki refleksi karakter masyarakat Timur yang lebih bersifat komunal, solider dan melihat dunia dalam perspektif makro kosmos. Bentuk dunia seperti ini sama halnya dengan gambaran tokoh Albert Einstein dalam teori realitivitas bahwa waktu tidaklah mutlak tetapi menjadi relatif.

Ciri-ciri inilah yang menunjukkan identitas kebudayaan bangsa-bangsa. Setiap bangsa memiliki akar kebudayaannya. Bangsa Indonesia nyaris kehilangan ciri tersebut akibat penjajahan ratusan tahun. Seni rupa kita lantas menjadi pengekor kebudayaan Barat semata. Sebagian besar menganggap Barat lebih baik dan pantas menjadi kiblat. Kita hanya membutuhkan ciri yang tegas dalam bentuk bangunan. Seperti kita mudah mengerti itu lukisan gaya Jepang atau Cina. S Sudjojono juga sempat menggugat perkara ini di masa Persagi di tahun 1940-an.

Seni rupa kita tak memiliki ciri dan identitas yang unik. Simpang siur dalam wujud dan mengikuti apa saja yang menjadi pasar. Akibatnya, tak ada kejujuran dalam berkarya.

Kenapa bisa terjadi?

Kelas akademi kita menjejalkan itu. Kita alpa menyadari bahwa kebudayaan merupakan bagian terpenting dalam kontestasi politik internasional. Acil menjelaskan, kredonya merupakan bagian dari perlawanan terhadap dominasi kebudayaan Barat. Seniman harus punya sikap. Independen tetapi bertanggung jawab terhadap eksistensi bangsa. Bukan saya menolak Barat. Tetapi esensinya adalah saya berkarya untuk identitas kebudayaan bangsa. Dan identitas selalu berakar dari lingkungan masa lalu kita yang sebenarnya.

Ruang Waktu Datar adalah pilihan bentuk berkarya saya. Saya banyak terinspirasi dari pelukis Heri Dono dan Nasirun ketimbang pelukis barat. Meskipun banyak hal yang bisa kita ambil dari Barat secara obyektif.

Tetapi bukankah ciri seperti itu sudah masuk di dalam kontemporer yang posmodernisme? tanyaku.

Acil merenung sejenak. Iya, jawabnya, kemudian. Kita mungkin agak terlambat bertindak dan menyadari. Posmodernisme menjadi pemikiran yang global dan menempatkan pemikiran kontekstual dan cenderung retro yang menghadirkan masa lalu dan masa kini. Tetapi kita masi punya kesempatan untuk membangun klaim kebudayaan. Kita hanya butuh kesepakatan dan patron seperti Abstrak-ekspresionisme Jackson Pollock menjadi trend dengan ikut sertanya peran negara (CIA).

Pemerintah kita hanya berpikir politik dan ekonomi yang selalu jalan di tempat dan berkutat pada mereka sendiri. Mereka abai dengan seni sebagai unsur politik dimana hampir semua bangsa-bangsa lain menempatkan seni dan kebudayaan sebagai panglima. Lihat, bagaimana India mampu membuat film-film yang mempesona masayarakat Indonesia dan diikuti.

Lihat, bagiamana Korea Selatan mampu membuat remaja kita gandrung dengan K-Pop. Jepang, China dan lain-lain. Kita? Hanya mengekor. Tetapi di sisi lain kita senantiasa merasa sudah berbudaya. Mereka bicara ketika ada tendensi untuk menyerang musuh kepentingan politiknya. Tengok tuh, mereka berteriak, kan lebih cantik pakai kebaya ketimbang pakai kerudung onta.Tetapi, sehari-hari mereka tak pernah menggunakannya. Itu hipokrit, namanya.

Film-film kita juga lebih cenderung bergaya Hollywood ketimbang Indonesia. Ceritanya, dialognya sama sekali tak Indonesia. Tak ada kesadaran menggunakan film untuk sebuah ekspansi budaya atau perlawanan. Film itu menciptakan primming yang bisa membangun opini dan ditiru. Coba, kita tengok film-film China,unsur nasionalismenya bisa tinggi dan mengandung perlawanan terhadap dominasi Barat.

Dalam dialog film Kung fu Man, di sana kita akan mendapati kalimat, Superman? No, I am Kungfu Man! Dalam film Jet li yang berlatar di Perancis Kiss of the Dragon, juga ada dialog yang melawan klaim Barat terhadap sejarah. Sementara kita hanya puas menjadi kelas subordinasi dari Barat. Mereka sadar, kebudayaan adalah panglima dalam politik dunia.

Wah, berat ya PR-nya..

Betul, memang berat. Kita punya PR besar, memperjuangkan seni rupa kita memiliki identitas untuk bangsa. Semoga saja kita semua bisa sepakat dan berkomitmen.

Malam itu Acil tidak saja menjelaskan tentang kredo seni rupa Wimba Indonesia. Ia juga menyanyi lagu-lagu balada yang ia ciptakan. Mungkin ia tengah bersemangat bersama teman-teman. Dan mungkin, juga ada pengaruh arak. Tetapi, memang semua terlihat bersemangat. []

(Ilustarsi: Karya Acil (G_11 The Cours, 100x80cm)

Ikuti tulisan menarik Ranang Aji SP lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu