x

Iklan

Putu Suasta

Politisi Demokrat
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Papua dan Politik Kesejahteraan Jokowi: Catatan Kritis

Opini

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Jokowi tampaknya berkeinginan kuat menjadikan Papua sebagai milestone kisah sukses pembangunan di era pemerintahannya. Dialah Presiden Indonesia yang paling rajin berkunjung ke Papua. Dalam kurung waktu sekitar 2 tahun, Jokowi sudah 6 kali (mungkin lebih) menyambangi Papua. Menariknya, Jokowi tampak kurang berminat membahas isu-isu HAM, kondisi politik dan keamanan yang menjadi permasalahan laten di Papua hingga hari ini.

Setelah membebaskan beberapa tahanan politik di awal pemerintahaannya, Jokowi praktis berfokus pada pembangunan infrastruktur dan pemerataan kesejahteraan di Papua. Bahkan dia tidak menanggapi penembakan yang terjadi beberapa hari sebelum kunjungannya yang terakhir. Pembangunan jalan-jalan yang akan menghubungkan kota-kota termasuk pembangunan rel kreta api mendominasi seluruh agenda dan topik pembahasan dalam kunjungan tersebut. Pada kesempatan lain dia berbicara tentang penurunan harga sembako, menyamakan harga minyak di Papua dan Jawa, pembangunan pabrik sagu dan berbagai usaha mensejahterakan masyarakat Papua.

 The Survival of The Fittest           

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pendekatan kesejahteraan yang digunakan Jokowi sejalan dengan rekomendasi para ahli bahwa permasalahan Papua hanya bisa dituntaskan dengan menyelesaikan secara langsung akar dari semua masalah, yakni persoalan kesejahteraan dan pemerataan pembangunan. Namun, perlu  dicatat bahwa pembangunan infrastruktur secara besar-besaran di Papua dapat menggeser peta konflik dari vertikal (rakyat vs negara) menjadi horizontal (penduduk asli vs pendatang).

Papua termasuk daerah dengan laju pertumbuhan terbesar di Indonesia, 3 % per tahun. Bukan karena angka kelahiran cukup tinggi, tapi karna arus migrasi. Dalam beberapa dekade terakhir, Papua menjadi salah satu tujuan favorit para perantau dari berbagai pelosok Indonesia. Mereka tidak datang sendiri-sendiri, tapi bersama keluarga dan kerabat satu kampung. Maka jangan heran menemukan nama-nama Batak, Jawa, Bugis, Minang dan suku lain, mendominasi kuota penerimaan PNS, TNI, POLRI dari Papua. Demikian juga dengan nama-nama pengusaha sukses di Papua.

Perbaikan infrastruktur tentu akan memperbesar arus migrasi ke Papua. Maka sangat besar kemungkinan terjadinya apa yang disebut Darwin sebagai proses the survival of the fittest. Tentu dalam bentuk dan alur yang berbeda dengan teori evolusi. Persaingan memamfaatkan hasil pembangunan akan meningkat antara pribumi dan pendatang.

Berkaca pada statistik pembangunan SDM penduduk asli Papua, kita dapat mengatakan bahwa pendatang memiliki peluang menang lebih besar. Rata-rata pendatang memiliki modal, SDM, kesiapan mental dan etos kerja lebih baik.  Maka jika pembangunan infrastruktur tidak disertai dengan pembangunan SDM penduduk asli secara signifikan, maka peluang dan akses penduduk asli papua terhadap sumber-sumber kesejahteraan justru akan makin sulit. Mereka terancam menjadi penonton di tanahnya sendiri. Dalam keadaan seperti itu the survival of the fittest  akan berubah menjadi the survival of the stronggest. Sudah menjadi rumus umum di mana-mana, jika penduduk asli kalah dalam merespon perubahan, dia akan membekali diri dengan pertahanan lain termasuk opsi kekerasan. Maka dalam narasi besar pembangunan Papua, pemerintah mesti memastikan bahwa penduduk asli adalah penerima dan pewaris sah atas hasil-hasil pembangunan tersebut.

Bias Skema Penyelamatan Freeport

Persoalan Freeport yang sekarang menjadi pembahasan hangat di seluruh negeri ini dapat kita jadikan sebagai sebuah studi kasus betapa kita sering salah memahami hak-hak penduduk Papua atas kekayaan dan pembangunan di tanahnya sendiri. Wacana tentang pengambilalihan Freeport yang dibungkus dalam semangat nasionalis dan demi NKRI, terdengar indah. Semua berlomba-lomba menjadi seorang nasionalis tulen dan tak menginginkan perusahaan asing berkuasa di negerinya. Jika semua skema penyelesaian Freeport yang sekarang sedang diperjuangkan pemerintah seperti divestasi, penambahan setoran ke kas negara, pembangunan smelter dan lain-lain berjalan dengan baik dan berhasil, apakah persoalan Freeport dalam kaitan dengan persoalan keadilan di Papua telah selesai?

Kita harus berhenti berpretensi bahwa semua persoalan Papua dapat diselesaikan di Jakarta dan tanpa melibatkan secara langsung penduduk Papua. Tambang emas yang sekarang dikelola Freeport adalah milik penduduk asli Papua. Maka suara merekalah yang paling penting didengarkan dalam persoalan ini. Divestasi dan berbagai wacana lain tentang Freeport tidak akan bisa memenuhi rasa keadilan penduduk Papua yang diabaikan selama puluhan tahun, selama mereka tidak ditempatkan sebagai subjek utama yang akan menerima dan menikmati hasil dari Freeport. Tanpa melibatkan penduduk Papua, segala kebijakan pemerintah tentang Freeport akan menjadi bias jika ditempatkan dalam skema penyelesaian persoalan keadilan di Papua.

Ikuti tulisan menarik Putu Suasta lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler