x

Ilustrasi mata. Shutterstock

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Mestikah Bunuh Diri Dipertontonkan di Media Sosial?

Seseorang mengambil nyawanya sendiri dan menyiarkannya melalui Facebook. Trauma orang dekat dan potensi penularan penting dicegah.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

"Suicide is not an answer, it's destruction."

--Al Green (Musisi)

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sisi gelap media sosial kembali menampakkan diri. Ketika ujaran kebencian diekspresikan—makian, hujatan, dan fitnah, sisi gelap itu muncul. Kini, muncul sisi gelap yang tidak kalah mengerikan: seseorang di Jakarta telah mempertunjukkan tindakan bunuh diri (selanjutnya, saya memakai kata ‘bede’) secara live di laman Facebook. Sejak adegan mengerikan berjurasi lebih dari 1 jam itu tayang (termasuk penjelasan yang disampaikan menjelang tindakan), diperlukan waktu sekitar 10 jam bagi rekaman itu untuk hilang dari Facebook. Peristiwa tragis yang terjadi kemarin siang (Jumat, 17 Maret 2017) itu telanjur viral.

Mungkin, di Indonesia, tayangan langsung tindakan seperti ini baru kali ini terjadi. Di Florida, AS, Januari 2017, seorang gadis remaja 14 tahun melakukan tindakan serupa. Ia sengaja menayangkannya secara live di media sosial.

Efek yang ditimbulkan oleh aksi ini dapat menjalar ke berbagai arah dan cenderung sukar dikendalikan. Pertama, orang-orang terdekat akan mengalami gelombang tekanan sangat keras. Dalam kasus di AS, ibu gadis remaja Florida itu menghadapi tudingan dari masyarakat yang menganggap ia tidak merawat anaknya dengan baik. Rasa bersalah dan penyesalan akan menghantui orang-orang terdekat, mungkin sepanjang sisa hidup mereka.

Kedua, sebagian orang yang sempat menonton tindakan ‘bede’—secara live maupun rekamannya—berpotensi terpengaruh atau tersugesti untuk melakukan tindakan serupa. Sejumlah penelitian memperkuat dugaan bahwa tindakan ini cenderung ‘menular’ (contagious). Mereka yang dalam keadaan sedang tertekan dan kesepian mungkin tergoda untuk melakukan tindakan yang sesungguhnya memerlukan keberanian untuk sanggup melakukannya.

Meski sebagian ahli menolak pandangan bahwa ‘bede’ bersifat ‘menular’ (menular dalam pengertian menginspirasi, memantik, mensugesti, bukan menular seperti virus flu), namun Madelyn Gould, guru besar Epidemiologi dalam Psikiatri di Columbia University, yakin bahwa penularan ‘bede’ itu nyata. “Itulah sebabnya saya menaruh perhatian terhadap soal ini,” ujar Gould, yang mengkaji penularan bunuh diri secara ekstensif.

Kasus ‘bede’ berbeda dari penyebab kematian lainnya, kata Christines Moutier, Chief Medical Officer di American Foundation for Suicide Prevention, “Ketika mendengar kabar kematian seseorang karena kanker atau sakit jantung, peristiwa ini tidak akan mengirim pesan yang salah (kepada orang lain).” Lain hal dengan kabar tentang ‘bede’. Mereka yang sedang tertekan harus berjuang keras melawan perintah otak yang mendorong mereka untuk juga melakukan tindakan ‘bede’.

Ketiga, penyebarluasan tindakan ‘bede’ melalui media sosial berpotensi pula menumpulkan kepekaan kita, sebagai individu maupun masyarakat, terhadap tindakan ini. Sebagaimana ujaran kebencian bila dibiarkan lama-lama dianggap lumrah, begitu pula tindakan ‘bede’. Masyarakat berpeluang semakin tidak peka terhadap tindakan ‘bede’—andaikan kita tahu, menurut WHO (data tahun 2012 yang dimuat dalam statistik Kesehatan Dunia 2016, WHO), angka kasus ‘bede’ di seluruh dunia mencapai 800 ribu per tahun, angka yang sangat besar dan melampaui kematian akibat pembunuhan, perang, maupun bencana alam. Artinya, setiap 40 detik terjadi satu kasus ‘bede’.

Secara statistik, Indonesia menempati peringkat 114 di dunia dan di urutan ke-8 di ASEAN, dengan kasus 'bede' mencapai 3,7 per 100 ribu penduduk. Mengingat jumlah penduduk 258 juta orang, berarti ada 10.000 kasus 'bede' di Indonesia setiap tahun atau satu orang per jam. Mencengangkan!

Menghentikan penyebaran rekaman ‘bede’ merupakan ikhtiar yang mesti dilakukan segera dan bersama-sama, pertama dan terutama atas pertimbangan kemanusiaan dan untuk memperkecil kemungkinan ‘penularan’. Peristiwa ini maupun rekaman yang sudah telanjur viral akan sangat memukul anak dan keluarganya. Tidak kalah mencemaskan ialah bila tindakan ‘bede’ yang disiarkan langsung (livestreamed) melalui media sosial akan menjadi norma baru karena kepekaan nurani kita semakin tumpul terhadap penderitaan orang lain. (Di beberapa situs media online yang memuat peristiwa 'bede' di Jakarta ini muncul berbagai komentar yang pada umumnya mencemooh, menertawakan, dan menjadikannya sendau gurau--respons yang sukar dipercaya, tapi nyata).

Apapun alasan pelakunya, ini adalah tragedi yang patut disesali, bukan dicemooh, ditertawakan, dan dijadikan sendau gurau. Saya percaya, setiap yang berjiwa berhak atas kematian yang layak. **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler