x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Isu Ketimpangan: Teguhkan Kembali Kemandirian Jurnalis

Jurnalis dan aktivis masyarakat sipil dihadapkan tantangan untuk mandiri terhadap godaan kekuasaan dan kecondongan politik.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Dalam rubrik Opini Koran Tempo hari ini (Senin, 20 Maret 2017), Wijayanto—kandidat doktor media dan politik Universitas Leiden—mendiskusikan menurunnya peran media dalam memberitakan ketimpangan ekonomi di Indonesia. Dengan lebih dulu mengutip kajian Oxfam bahwa 1 (satu) persen warga terkaya di Indonesia menguasai hampir separuh (49%) kekayaan nasional, Wijayanto lalu menyitir hasil studi  Janet Steel (2011) bahwa pada era reformasi amat sedikit pemberitaan yang memotret kemiskinan sebagai korban ketidakadilan struktural. Ini berbeda dengan masa Orde Baru, di mana media banyak memberitakan kaum miskin sebagai korban pembangunan. Padahal, jika melihat data Oxfam, ketimpangan struktural justru meningkat di era reformasi.

Wijayanto lalu berharap kepada media agar berperan dan mengambil inisiatif dalam upaya memerangi ketimpangan ekonomi sebagai masalah yang mendesak dan menjadikannya wacana dominan di tengah publik. Ketimbang terus-menerus menyesaki ruang publik dengan isu diskriminasi bernuansa sektarian yang menjadi ujian bagi toleransi, perhatian perlu kita arahkan pada isu lain yang tak kalah penting: diskriminasi ekonomi. Ia mengusulkan aliansi strategis antara media dan unsur masyarakat sipil untuk mengarahkan energi publik dalam proses diskusi yang berkeadaban mengenai isu ini.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Aliansi antara media dan unsur masyarakat sipil memang kerap diusulkan sebagai pihak yang dapat mengimbangi dominasi kekuasaan oleh elite politik dan ekonomi, juga melakukan kritik terhadap kebijakan pemerintah yang kurang mendukung pemerataan. Aliansi semacam ini berpotensi mengubah arah perdebatan kepada isu-isu yang lebih fundamental, seperti ketimpangan sosial-ekonomi. Dalam konteks ini, kemandirian media dan unsur masyarakat sipil menjadi prasyarat yang tidak boleh diabaikan.

Di masa sekarang, terdapat tantangan yang tidak kecil, yang merintangi media massa maupun unsur masyarakat sipil untuk mampu mengimbangi dominasi kekuasaan oleh elite politik dan ekonomi. Kita tidak dapat menutup mata terhadap kenyataan bahwa beberapa jaringan media yang relatif besar (surat kabar, majalah, media online, maupun televisi, serta radio) dimiliki oleh elite ekonomi.

Sebagian dari pebisnis yang sekaligus pemilik media ini dekat dengan elite politik, bahkan menjadi bagian dari elite politik dan kekuasaan. Mereka bukan hanya pelaku ekonomi, pemilik media, tapi juga politikus yang bermain kekuasaan—bayangkan, alangkah besar kekuasaan ini tatkala ketiga entitas tersebut berada di satu tangan. Dapatkah kita membayangkan bahwa elite ekonomi-media-politik ini akan menyuarakan ketimpangan sosial-ekonomi secara kritis melalui media yang mereka punya?

Bila bersikap berpengharapan, kita mungkin memberi jawaban: dapat, tapi dengan syarat. Syarat terpenting ialah kemandirian para jurnalisnya. Kepemilikan media adalah satu hal, dan keredaksian merupakan hal lain. Idealnya memang demikian. Dalam kondisi seperti sekarang, ketika para pemilik media terlibat aktif dalam kegiatan politik, tantangan untuk mewujudkan ruang redaksi (newsroom) yang mandiri dari bias kepentingan ekonomi-politik pemiliknya menjadi semakin besar. Sanggupkah para jurnalis berpikir dan bertindak mandiri dari pemilik media tempat ia bekerja? Meneguhkan kembali kemandirian jurnalis agar mengabdikan sepenuhnya pikiran, waktu, dan tenaganya untuk kemaslahatan masyarakat luas memerlukan upaya terus-menerus.

Bagaimana dengan unsur masyarakat sipil? Sejak tumbangnya rezim Orde Baru, semakin tampak bahwa para aktivis masyarakat sipil tergoda untuk terlibat dalam kegiatan politik praktis dan masuk dalam lingkaran dekat kekuasaan. Terjun dalam politik dan masuk dalam lingkaran kekuasaan sesungguhnya bukan tabu yang harus dihindari oleh para aktivis masyarakat sipil (maupun para cendekiawan). Sepanjang, ya sepanjang, mereka mampu berpegang kepada ideal yang sebelumnya mereka perjuangkan melalui aktivitas masyarakat sipil.

Sayangnya, tantangan untuk tidak larut dalam kekuasaan tidak mudah diatasi. Sebagian dari mereka tidak lagi kritis terhadap ketimpangan sosial-ekonomi yang sebelumnya selalu menjadi bagian kritik mereka. Mereka tampak kesulitan untuk menjalankan peran kritik yang mendukung kepentingan masyarakat luas karena sedang berada dalam lingkaran kekuasaan. Sebagian lainnya memanfaatkan kecerdasannya untuk memberi pembenaran terhadap pilihan-pilihan politik tertentu yang diambil elite politik ekonomi karena mereka sedang berada dalam lingkaran dekat elite partai maupun pemerintahan.

Tentu saja, masih ada harapan bahwa isu-isu ketimpangan sosial-ekonomi akan mendapat prioritas dalam pemberitaan media dan menjadi agenda masyarakat sipil. Saya yakin, masih banyak jurnalis dan unsur masyarakat sipil yang tetap berpegang teguh kepada nilai-nilai kebeperihakan kepada kemaslahatan rakyat banyak ketimbang mendukung kekuasaan dan kepentingan elite politik-ekonomi yang tidak langgeng. Para jurnalis dan unsur masyarakat sipil ini memang harus bekerja lebih cerdas dan didukung dalam menghadapi perubahan tantangan di era sekarang ke depan. **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler