x

Sejumlah awak media saat mengikuti hasil survei Lingkaran Survei Indonesia, di Jakarta, 20 Desember 2016. Hasil survei LSI memprediksi, Pilkada DKI Jakarta akan berlangsung dua putaran karena belum ada calon gubernur dan calon wakil gubernur DKI Jaka

Iklan

RELLY JEHATO

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Horor Pilkada DKI

Slogan "politik menghalalkan segala cara", hanya berlaku dan digunakan oleh calon/pasangan calon, tim sukses, dan pendukung yang bermental kalah. Pasangan

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Tahun 2017 layak disebut tahun panen pilkada. Sebanyak 101 daerah yang mengadakan pilkada. Ada 7 provinsi, 18 kota, dan 76 kabupaten yang menggelar pesta demokrasi ini. Berdasarkan data KPU, sebanyak 337 pasangan calon mendaftar dan ikut bertarung di pilkada serentak ini. Ada 81 calon perseorangan dan 256 pasangan calon yang diusung oleh partai politik atau gabungan partai politik.

Yang menarik, pilkada yang paling banyak diwartakan media nasional, paling menyedot perhatian publik, dan yang paling sering dibicarakan di media sosial adalah Pilkada DKI. Perang opini, wacana, dan program dari para calon, tim sukses dan pendukung masing-masing pasangan calon, mengalir begitu deras dalam intensitas tinggi.

Dalam dinamika demokrasi, kondisi seperti itu tentu dianggap wajar. Namun, ada sejumlah fakta kasat mata geliat "politik pilkada", yang menurut saya, sudah melampaui batas kewajaran sehingga layak disebut sebagai "politik horor" Pilkada DKI.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pertama, politisasi agama. Penggunaan sentimen agama atau keyakinan agama mungkin sudah seumur praktek demokrasi. Tapi, apa yang terjadi di DKI sudah keterlaluan. Larangan mendoakan atau mensalatkan orang yang sudah meninggal dunia hanya karena mendukung pasangan calon tertentu, menurut saya, adalah bentuk dan contoh yang paling jorok dari bentuk politisasi agama. Bentuk pengotoran agama yang lain adalah dengan sengaja memanipulasi pemahaman atau ajaran agama hanya karena membenci atau tidak suka calon tertentu, demi kemenangan calon lain yang didukung atau calon yang seagama.

Agama pada dirinya sendiri adalah baik. Agama juga sudah pasti mengusung dan mengajarkan nilai-nilai moral yang baik. Agama niscaya menghargai kemanusiaan. Menghormati dan menjunjung tinggi nilai-nilai manusiawi. Ketika agama dimanfaatkan atau digunakan untuk membenarkan tindakan yang tidak manusiawi, yang salah pasti bukan agamanya, tapi oknum penganutnya yang dengan sengaja memanipulasi nilai, ajaran, dan pesan keagamaan.

Kedua, menghina martabat manusiawi calon. Lumrah kita temukan kampanye yang menyerang dan menghina aspek "pribadi" pasangan calon. Bentuknya macam-macam. Bisa dalam bentuk narasi visual atau verbal, meme, bahasa tulis di beragam media sosial dan aplikasi obrolan. Yang sangat memprihatinkan, serangan yang menohok "pribadi" para calon ini juga justru hadir dan bahkan disokong oleh media arus utama tertentu yang seharusnya dan diwajibkan menjunjung tinggi etika jurnalisme. Inilah bentuk ekstrim dari "jurnamisme jorok" yang diabsahkan oknum pelaku media oportunis yang mengangkangi begitu saja nilai-nilai jurnalisme yang beradab.

Ketiga, memproduksi data bohong. Demi memenangkan pasangan calon tertentu, sejumlah oknum secara sengaja memproduksi isu manipulatif tertentu untuk mendiskreditkan pasangan calon yang lain. Isu buatan ini diciptakan seolah-olah hadir sebagai fakta, lalu disebarkan secara masif dan berantai melalui banyak saluran media (entah media resmi atau bodong) dan beragam aplikasi digital lainnya. Parahnya, massa penerima atau pembaca, tanpa verifikasi, justru menganggap benar data menipulatif ini, dan juga ikut menyebarkannya.

Keempat, menyebarkan informasi tanpa verifikasi. Saat ini, dengan sekali klik, kita bisa dengan mudah membagikan dan menyebarluaskan informasi ke seluruh jagat, melalui jaringan aplikasi digital yang kita miliki. Sayangnya, akses mudah dan cepat, yang disediakan dan difasilitasi oleh jaringan digital ini, justru dimanfaatkan untuk menyebarkan informasi dan berita tanpa diperiksa silang terlebih dahulu. Hanya karena mendukung pasangan calon tertentu, kita dengan mudah dan dengan penuh "nafsu" menyebarkan informasi yang merugikan pasangan calon lain. Tidak masalah kalau informasi yang disebarkan itu memang benar. Tapi, kalau ternyata keliru? Patut diingat, mengurai rekam jejak pasangan calon lawan harus tetap berdasarkan fakta sebagai tanda cara berpolitik yang beradab, bukan barbar.

Daftar kejorokan dinamika politik Pilkada DKI bisa diperpanjang. Silakan pembaca menambahnya dikolom komentar, kalau berkenan. Kalau ada orang yang menganggap sejumlah catatan di atas sebagai hal yang lumrah dalam demokrasi, saya pastikan, konstruksi berpikir orang tersebut "bermasalah" dan mungkin termasuk golongan orang yang menganut politik "pandir". Slogan "politik menghalalkan segala cara", hanya berlaku dan digunakan oleh calon/pasangan calon, tim sukses, dan pendukung yang bermental kalah. Pasangan calon yang memiliki rekam jejak yang buruk juga cenderung melakukan hal yang sama.

Kritik ini diutarakan tanpa mengabaikan rasa hormat kepada siapa pun yang merasa tersentil. Sebab yang dikecam adalah "tindakan politik," bukan pribadi.

Ikuti tulisan menarik RELLY JEHATO lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Sengketa?

Oleh: sucahyo adi swasono

32 menit lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB