x

Raja Salman bin Abdulaziz, tiba di Masjidil Haram untuk meninjau kecelakaan crane jatuh, di Mekah, Arab Saudi, 12 September 2015. REUTERS/Bandar al-Jaloud/Saudi Royal Court

Iklan

ARFANDA SIREGAR SIREGAR

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Asketisme yang Hilang

Mereka kaya raya, tetapi membuat standart hidupnya seperti rakyat kebanyakan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kedatangan Raja Arab Saudi Salman Al Aziz membukakan mata umat Islam bahwa kesederhanaan atau asketisme yang pernah menjadi ciri khas ajaran Islam yang kerap dipraktikkan oleh Nabi Muhammad SAW serta sahabat seperti kisah dongeng.

Betapa tidak, penjaga dua kota suci tersebut sama sekali tak menampilkan kesederhaan dan kebersahajaan. Beliau tampil mewah, glamor, dan boros, seolah-olah mendakwahkan kepada rakyat Indonesia bahwa asketisme bukan ajaran Islam.

Pada masa Nabi Muhammad, tokoh-tokoh sekaliber Abu Bakar as-Shidiq, Ab Dzarr al-Ghiffar,Umar bin Khatab, Ali bin Abi Tholib, Bahll Ibn Zuayb, Abdullh Ibn ‘Umar, dan Ab al-Dard’ dikenal karena kesederhanaannya. Fase setelah Nabi wafat, bermunculan sederet tokoh terkenal, seperti Umar bin Abdul Aziz, Salahudin Al Ayubi, dan Muhammad Al Fatih yang popular karena kehidupannya yang zuhud. Di Indonesia, ada Muhammad Natsir, Muhammad Hatta, Haji Agus Salim, dan Hamka sebagai pewaris kesederhanaan Nabi.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Barisan tokoh di atas bukan tergolong fakir miskin. Mereka kaya raya, tetapi membuat standart hidupnya seperti rakyat kebanyakan. Mereka tak peduli cela dari lawan politik dan malah bangga dengan sikap asketisme yang dianut. Kahlifah Umar Bin Khatab pernah diremehkan Kaisar Romawi. Suatu ketika, Kaisar Romawi mengirim utusan kepada beliau. Kaisar ingin tahu, seperti apa kehidupan seorang pemimpin Islam yang sangat ditakuti musuh-musuhnya. Setibanya di Madinah, utusan kaisar ini bertanya tentang Umar bin Khattab kepada penduduk Madinah. “Di mana pemimpin kalian?” Penduduk Madinah menjawab, “Dia sedang pergi keluar Madinah.”

Utusan Kaisar tersebut lalu mencari Umar di luar Madinah. Di tengah perjalanan, ia melihat seorang laki-laki berpakaian sederhana yang sedang tidur nyenyak di bawah pohon. Betapa terkejutnya ia, setelah diberi tahu bahwa orang itu adalah Umar bin Khattab, sang Amirul Mukminin. Utusan ini sangat kagum dan takjub melihat Umar yang tidur nyenyak, tanpa dikawal oleh prajurit bersenjata. Dia pun bergumam, “Beginilah keadaan orang yang ditakuti semua raja. Hai Umar, engkau berbuat adil, dan engkau pun bisa tidur dengan nyenyak. Sedangkan Raja kami dzalim, pantas saja mereka tidak bisa tidur nyenyak dan selalu ketakutan.”

Umar bin Khattab sangat paham bahwa zuhud berarti hidup sederhana, bersahaja, tidak berlebihan, dan jauh dari sikap hidup berfoya-foya. Meskipun mampu untuk hidup mewah, glamor, dan berfoya-foya, tetapi tidak dilakukan karena hadirnya kesadaran melaksanakan ajaran Islam. Apalagi, sebagai pejabat negara memang harus hidup sederhana dan prihatin di tengah mayoritas umat yang mayoritas dhuafa. Tidak sebaliknya, ketika belum mendapat tahta bersahaja, setelah menjadi pejabat berfoya-foya. Persis pepatah, "lupa kacang dengan kulitnya".

Memang mengharapkan Raja Salman seperti Umar bagai si punguk merindukan bulan. Bukan saja karena beliau pemegang tahta Kerajaan Arab Saudi yang superkaya, terlebih standart pengamanan beliau memang dibuat berlapis-lapis agar ada batas yang jelas antara dia dengan rakyat biasa.

Selama di Indonesia pun Raja Salman tak bebas bertemu dengan rakyat Indonesia yang mayoritas muslim. Beliau dikawal oleh seratus orang pengawal yang dibawa dari negaranya. Pengamanannya berlapis, dilengkapi alat pengaman berteknologi tinggi. Dia ke Indonesia menggunakan pesawat pribadi yang sangat mewah disertai dengan enam pesawat pengiring yang tak kalah mewah. Dalam video yang diunggah akun Youtube Arabian Horses, menunjukkan interior pesawat mewah lengkap dengan kamar tidur dengan kamar mandi dalam layaknya hotel berbintang.

Selama di Jakarta, beliau berserta rombongan menginap di Hotel Raffles yang mematok Rp. 133 juta per malam. Untuk transportasi selama di Jakarta, Pemerintah Arab Saudi sengaja mendatangkan dua unit Mercedes-Maybach S600, yang menjadi angukutanya selama di Indonesia. Selama kunjungan 9 hari di Indonesia, beliau menghabiskan dana hingga 400 milyar.

Padahal, saat ini keadaan keuangan Arab Saudi mengalami defisit total. Sejak harga minyak bumi dunia merosot empat tahun lalu, pendapatan negara tersebut otomatis anjlok. Kondisi itu membuat anggaran negara tersebut mengalami defisit sebesar 367 miliar riyal atau sekitar Rp 1.372 triliun pada 2015 lalu. Jumlah itu setara 15 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) Arab Saudi. Untuk mengantisipasi defisit sepanjang tahun lalu lalu, Saudi terpaksa meminjam dana US$ 4 miliar dari bank lokal pada Juli lalu. Dana Moneter Internasional, IMF memerkirakan defisit anggaran akan terjadi sampai 2020.

Namun, bukan Raja Salman saja yang tak meneladani asketisme Nabi dan sahabatnya. Penguasa Islam di negara lain pun setali tiga uang. Mereka bergelimang kekayaan dan kemewahan, sementara rakyatnya berada dalam kemelaratan. Sering kali, kemewahan yang dipertontonkan penguasa di depan rakyat menimbulkan konflik dengan rakyatnya dan berujung perang saudara. Konflik yang terjadi di Timur Tengah sekarang tak lepas dari nafsu serakah penguasa Islam dalam menguasai kekayaan negara yang seharusnya di kembalikan secara adil untuk kemakmuran rakyatnya. Mereka berkuasa, tapi jauh dari sanubari rakyatnya.

Di Indonesia pun setali tiga uang. Fakta mengatakan bahwa hasil kontestasi politik Indonesia, partai Islam selalu kalah dari partai nasionalis. Bahkan, sepanjang pemilu dan pilpres digelar, belum pernah satu pun politikus partai Islam mampu menyaingi tokoh nasionalis. Politikus Islam selalu kalah pamor dibanding politikus nasionalis.

Mengapa hal itu terjadi? Karena politikus Islam tak mau mengamalkan hidup sederhana, asketisme atau zuhud. Nabi Muhammad pernah berpesan, "Zuhudlah terhadap dunia, maka kamu dicintai Allah. Zuhudlah terhadap apa yang dimiliki manusia, mereka akan mencintaimu." Ternyata wejangan tersebut tak pernah diamalkan oleh penguasa Islam sehingga jauh dari hati rakyatnya yang mayoritas muslim.

Oleh Arfanda Siregar

Dosen Politeknik Negeri Medan/ Direktut Lembaga Penelitian Agama dan Sosial (LEPAS)

 

Ikuti tulisan menarik ARFANDA SIREGAR SIREGAR lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler