x

Umat Islam membawa Bale Suji atau hiasan telur dalam Pawai Bale Suji saat memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW di Kampung Islam Kepaon, Denpasar, Bali, 12 Desember 2016. TEMPO/Johannes P. Christo

Iklan

Cak Mun

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Mengembalikan Identitas Islam

Salah satu poin klasik di sini adalah permasalah yang disebut-sebut sebagai bid’ah.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Bayangkan jika bukan Benedict Cumberbatch yang memainkan peran Sherlock Holmes dalam serial film Sherlock produksi Sue Vortue yang selalu hampir meraih penghargaan best crime film di setiap episodenya. Arogansi, kesombongan dan watak emosional dramatis Sherlock sudah menyatu dan mengalir di dalam darahnya. Tidak lagi bisa terbayangkan saat ini jika ternyata pria jangkung bermata lebar itu pernah memainkan peran romantis Romeo di dalam salah satu dama teatrikal yang pernah dia mainkan.

Karena itu adalah sebuah identitas. Ia tumbuh beriringan bersama tenggat waktu dan kesan yang timbul dari dalam sebuh karakter. Jika identitas arogansi seorang Sherlock terlanjur kita temukan di dalam diri Benedict, maka identitas Islam sebagai agama kasih-sayang, damai dengan ragam kebaikan lainnya juga seharusnya sudah kita temukan sedari dulu.

Apa yang baru saja terjadi, pembubaran kajian keagamaan bersama seorang ustad kontroversial oleh sebuah ormas yang mengatasnamakan keutuhan NKRI dan mencegah tersebarnya virus kebencian di dalam masyarakat, menambah panjang daftar rentetan hilangnya identitas kasih-sayang internal sesama penganut agama Islam. Memang, sudah menjadi rahasia umum bahwa kedua kubu sesama penganut ajaran agama Islam yang terlibat ini hampir terlihat tidak pernah akur di tanah air.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tidak hendak membela satu kelompok saja, mereka yang menjadi korban hari ini bisa jadi merupakan pelaku pada kelompok lain di tempat yang lain pula. Padahal, Intervensi terhadap orang lain dengan jalan kekerasan bagaimanapun merupakan sebuah tindakan yang tidak dapat dibenarkan adanya. Apapun pandangannya dan oleh siapapun. Terlebih lagi, negara telah menjamin kebebasan untuk beragama dan menjalankan ajarannya selama berada dalam koridor yang ditetapkan bersama berdasarkan dewan perwakilan resmi seperti MUI.

Sedikit menelisik, ragam argumentasi dibangun di kedua kubu. Satu kubu menjadikan sebuah kaidah “Mencegah sebuah kerusakan lebih dikedepankan daripada mencari kebaikan”sebagai bagian dari kalimat sakti untuk membenarkan tindakan radikal mereka. Sementara itu, kubu lain tak kalah teguh erat memegang kalimat ampuh “Katakan kebaikan walaupun itu pahit rasanya.”

Di titik inilah, sebuah kebenaran argumentasi lumpuh dan tidak bisa menjadi sebuah harga mutlak atas langkah yang coba mereka tapaki. Bagaimana tidak, sesungguhnya apa yang dipermasalahkan oleh kedua belah pihak adalah sesuatu yang klasik dan bahkan hampir terjadi di belahan dunia manapun.

Salah satu poin klasik di sini adalah permasalah yang disebut-sebut sebagai bid’ah. Berangkat dari interpretasi hadits Nabi Muhammad bahwa setiap bid’ah merupakan sebuah kesesatan, dan setiap yang sesat akan berakhir di Neraka, mereka yang menamakan diri sebagai golongan Salafiyah menghukumi bid’ahnya amalan tahlil dan sejenisnya yang sebenarnya telah menjadi kultur masyarakat Indonesia.

Sementara itu, bid’ah yang didefinisikan sebagai suatu ajaran yang tidak ada di zaman Rasulallah oleh golongan yang menyebut dirinya salafiyah ini, diberikan batasan definisi oleh golongan lain berupa sesuatu yang menyelisi aturan baku dalam agama Islam. Tahlilan, dalam konteks mereka bukanlah sebuah amalan baru yang tidak berdasar sebagaimana yang diklaimkan lawan. Akan tetapi ia adalah sebuah ajaran yangsecara rapi, sistematis dan struktural dibungkus dalam sebuah koridor acara yang pada tahap berikutnya menjadi sebuah adat-istiadat dan budaya positif masyarakat Indonesia. Sesungguhnya, ini tidaklah menyelesihi sama sekali esensi ajaran kebaikan dalam agama Islam.

Ironis memang. Saat nama Islam merupakan adopsi dari akar kata salam yang bermakna kedamaian, sesama para pengikutnya saat ini justru tengah kurang harmonis dalam merealisasikan cita-cita sebuah nama lantaran perbedaan pandangan semacam itu.Memang, tidak ada yang salah dengan trueth claim dan fanatisme, namun ia haruslah seimbang dengan toleransi dan kesadaran akan mungkinnya kebenaran ada di pihak lain. Imam Syafii, salah seorang guru besar aliiran Fikih dalam Islam memiliki pandangan bahwa Pendapatnya benar, tapi mengandung kemungkinan salahdan pendapat orang lain salah, namun ada kemungkinan bahwa ia benar.

Pun kalau kita hendak merujuk sejenak pada sejarah, kita akan menemukan fakta bahwa hampir semua perpecahan yang terjadi di dalam tubuh umat Islam tidaklah berasal dari wilayah perbedaan pandangan agama. Namun, ia lebih menjurus ke arah rakus kekuasaan. Tengok bagaimana Baghdad tempo dulu merupakan sebuah kota damai dengan golongan Syiah, Sunni dan Mu’tazilah hidup berdampingan. Padahal, perbedaan pandangan agama yang terjadi lebih dari sekedar permasalahan sederhana seperti yang ada di Indonesia, tapi perbedaan tersebut sudah mencapai tahapan sesuatu yang mendasardi dalam agama.

Budaya dialog dan diskusi jelas diperlukan sebagai usaha mendewasakan. Namun jikalau itu tidak berhasil, tidak seyogyanya ada pemaksaan kehendak secara radikal untuk memaksa bubar sebuah perkumpulan yang beresensi kebaikan.

Karena jikalau toh kita benar-benar terlanjur berang,sesungguhnya ada sebuah regulasi standar yang harusnyamenjadi tolak ukur bagaimana kita bertindak Dalam apa yang disebut sebagai Fikih prioriatas. Salah satu regulasi tersebut adalah perlunya untuk menyadari bahwa suatu kerusakan tidak dapat dihilangkan dengan sesuatu yang akan menimbulkan kerusakan yang lain. Sebuah kajian yang sekiranya hanya memantik amarah misalkan, tidaklah berhak dihilangkan dengan pembubaran yang juga akan menghilangkan harmonisasi masyarakat dan identitas agama Islam itu sendiri. Karena itu sama saja dengan memadamkan api kebakaran dengan air selautan.

Terlepas dari pro dan kontra, apresisasi yang besar kita berikan kepada beliau, almarhum Ali Mustafa Ya’qub yang telah mencoba menetralisir kedua kutub yang kurang akur ini melalui salah satu bukunya. Karena bagaimanapun, kita harus ingat bahwa kita berada di dalam sebuah ikatan persaudaraan iman yang dikonsepkan sebagai sebuah bangunan oleh nabi Muhammad. Dan sekarang, sudah seharusnyaa kita menjadi duta kasih-sayang baik sesama muslim maupun bukan demi mengembalikan identitas agama Islam sebagai agama kedamaian.

*penulis merupakan mahasiswa fakultas syariah dan undang-undang Universitas Al-ahqaff Yaman. Dengan nama : Munandar Harits Wicaksono. No rek : 138-00-12-12815-8

Ikuti tulisan menarik Cak Mun lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu