x

Iklan

Wawan Agus Aji Pamungkas

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Konflik Kendeng, Potret Negara Sedang Tidak Baik-baik Saja

Sudah menang di pengadilan tertinggi negara, namun tetap dikangkangi. Negara apa ini?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Senin 13 Maret 2017, secara tiba-tiba tanpa rilis terlebih dahulu dari JMPPK (Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng), sepuluh petani dari rembang dan Pati melakukan aksi cor kaki di depan Istana. Namun, dengan cara inilah aksi mereka mengundang banyak solidaritas dari berbagai daerah.

Hari-hari selanjutnya petani dari kawasan pegunungan karst Kendeng menyusul ke Jakarta. Hingga hari kedelapan, lebih dari 50 petani dan masyarakat yang tak ingin Kendeng dieksploitasi menyemen kaki sebagai simbol “Petani Dibelenggu Semen”.

Aksi ini tak hanya mengundang solidaritas dari dalam negeri, media-media internasional pun turut memberitakan penolakan warga terhadap PT. Semen Indonesia yang direncanakan Menteri BUMN beroperasi pada April 2017 yang akan datang. Padahal, gugatan warga atas pencabutan izin penambangan SI sudah dimenangkan oleh Mahkamah Agung, pengadilan tertinggi negara.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Indonesia sedang tidak baik-baik saja, praktik-praktik yang dilakukan Gubernur jawa Tengah untuk mengangkangi hukum dengan mengecilkan putusan MA tentu akan menjadi hal umum yang juga akan dilakukan di daerah lain, jika di Rembang Gubernur Jawa Tengah berhasil mengelabuhi hukum.

Ini merupakan kali kedua aksi bertagar #DipasungSemen dilakukan, April tahun lalu, 9 petani perempuan, yang selanjutnya disebut 9 Kartini Kendeng juga menyemen kaki sampai hari keempat ditemui Presiden Jokowi.

#DipasungSemen2 tentu didampingi dan terus dimonitor oleh tim dokter yang berada di kantor LBH Jakarta, tempat orang-orang dipasung beristirahat usai aksi di depan istana pada siang smapai sore hari. Puluhan relawan dari berbagai daerah turut membantu di balik layar para pejuang Kendeng hingga memastikan orang-orang yang dipasung tetap nyaman. Seperti membantu ke kamar mandi, mempersiapkan logistik dan konsumsi, serta menjaga kebersihan kantor LBH.

Para relawan juga memastikan bahwa ketika panas atau hujan, petani yang kakinya dipasung semen tidak kepanasan atau kehujanan. Jika bisa dikatakan, ini merupakan udaya gotong royong yang masih dipegang teguh oleh orang-orang di kampung. Bagi saya, mereka adalah orang-orang sederhana dengan pemikiran visioner.

Senin sore, 20 Maret 2017, perwakilan warga Kendeng oleh Kepala Kantor Staf Presiden untuk berdialog. Dalam rilis yang dikeluarkan oleh Koalisi untuk Kendeng Lestari menyebutkan, dalam dialog, perwakilan warga Kendeng menyatakan menolak skema penyelesaian konflik yang hendak digantungkan pada penerbitan laporan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) yang ternyata dilakukan tertutup tanpa melibatkan warga yang sikapnya jelas menolak pendirian Pabrik Semen di Pegunungan Kendeng.

Malam harinya, JMPPK memutuskan untuk tetap melakukan aksi cor kaki, namun oleh 9 orang saja. Kemudian, puluhan petani lain yang kakinya sudah dicor membongkar semen yang membelenggu karena sebagian warga akan pulang ke kampung halaman.

Selasa pagi, 21 Maret 2017 facebook gempar dengan adanya kabar Ibu Patmi (48th), salah seorang yang kakinya turut dicor selama beberapa hari, menghembuskan nafas terakhir dalam perjalanan ke Rumah Sakit karena dikabarkan dokter terkena serangan jantung. Ibu Patmi merupakan salah satu dari puluhan petani lainnya yang semennya telah dibongkar pada senin malam harinya.

Tumpulnya kepekaan politik aparatur negara turut mewarnai kematian Ibu Patmi. Protes yang dilakukan petani-petani ini tak didengar oleh pejabat-pejabatnya. Para petani ini, berjuang sekuat tenaga untuk mempertahankan label bahwa Indonesia adalah negara agraris.

Dalam konflik Kendeng ini, nawacita yang dicanangkan oleh pemerintahan Jokowi-JK juga nampaknya bukan untuk rakyat. Poin-poin dalam nawacita  memang nampak memikat rakyat, namun secara nyata, pemerintah melalui kebijakan dan tindakannya justru menjungkalkan nilai-nilai nawacita itu sendiri.

Kita tahu, Indonesia saat ini tidak dalam keadaan baik-baik saja. Dalam konflik Kendeng, negara yang diwakilkan oleh Ganjar Pranowo sebagai pembantu rakyat (begitu ia menyebut rakyat sebagai tuannya), justru menjadi beking dan seolah juru bicara Semen Indonesia. Ganjar yang saat ini berada di partainya wong cilik, katanya, justru memberedel wong cilik itu sendiri.

Cara apa yang belum pernah dilakukan oleh Warga Kendeng? Bertahun-tahun mereka melawan dengan segala cara, jalur hukum, mediasi, hingga melawan dengan tubuh sendiri, telah mereka lakukan demi cita-cita sederhana, Kendeng Lestari.

Dari pejuang Kendeng kita dapat belajar, bahwa pemerintah yang suka obral janji untuk berada di samping rakyat cilik itu hanya kamuflase. Jargon “Jateng Ijo Royo-royo” itu juga kamuflase. Logo Jawa Tengah yang kanan kirinya terdapat kapas dan padi sebagai tanda ketahanan sandang dan pangan itu juga mungkin sebuah kamuflase.

Indonesia adalah negara agraris, sebutan ini tidak hanya retorika belaka. Sawah-sawah menghampar, samudera dengan jutaan ekosistem juga merupakan yang paling kaya di dunia. Ekspor semen dan impor pangan adalah hal paling konyol yang dilakukan pemerintah saat ini. Kita sendiri tahu, tahun 2016 produksi semen di Indonesia surplus 30%, artinya dengan pabrik semen yang sudah ada, sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.

Para petani Kendeng telah berlogika dengan benar. Dalam obrolan-orbrolan kecil, suara mereka tak berubah. “Yang gunung biarlah menjadi gunung, yang laut biarlah menjadi laut, manusia jangan mengubah kodrat itu.” Dengan kesederhanaan itulah kita dapat mewariskan kelestarian alam untuk anak cucu dan keturunan kita.

Pikiran-pikiran sederhana yang visioner seperti yang saya sebut di atas, juga tak asal saja. Mereka sering menyebutkan bahwa setinggi apapun jabatan, atau sebanyak apapun uang yang dimiliki, tak akan mampu mengembalikan gunung yang sudah rata dengan tanah.

Bentangan pegunungan karst Kendeng merupakan kekayaan yang dimiliki oleh Indonesia. Berbahan batu kapur yang kemudian warga sekitar menyebutnya dengan gunung Watuputih. Pegunungan karst dibentuk secara alami oleh alam selama ribuan tahun, lalu, ingin dikeruk untuk memenuhi nafsu segelintir orang saja? Tentu, protes akan hal ini adalah sebuah tindakan yang benar.

Bicara kesejahteraan, mari kita sedikit melihat ke belakang, pabrik semen yang berdiri di berbagai daerah di pulau jawa, seperti Cibinong atau Gombong, apakah masyarakat sekitar sejahtera? Tidak. Kualitas air di sekitar pabrik semen di cibinong buruk. Lalu, jalanan di Gombong juga tak halus, padahal daerah tersebut memiliki pabrik semen yang tentu bisa menyumbangkan semennya untuk perbaikan infrastruktur. Tentu, itu hanya contoh kecilnya saja.

Dengan produksi semen di Indonesia yang sudah surplus, untuk apa PT. Semen Indonesia ngotot terus beroperasi di Rembang dengan target tiga juta ton per tahun? Konflik Kendeng adalah konflik global, tak hanya Indonesia.

Di Cina, pemerintah mencanangkan program Langit Biru, dimana sebagian besar PLTU berbahan batubara sudah ditutup karena polusinya, solusinya adalah masyarakat Cina menggunakan panel surya. Lalu, pabrik semen juga sebagian besar ditutup karena dampak lingkungan yang tidak baik, solusinya adalah impor semen. Vietnam, Thailand, Filipina, melindungi pegunungan Karst. Indonesia dengan pemerintahnya dengan dalih memajukan ekonomi bangsa, sengaja ingin mengeruk Karst untuk diekspor.

Maka, sekarang ini kondisinya adalah, Indonesia sedang tidak dalam keadaan yang baik-baik saja.

Ikuti tulisan menarik Wawan Agus Aji Pamungkas lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler