x

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Menantang Phoenix

Novelisasi kisah perempuan Tionghoa yang terjebak dalam tiga tradisi budaya

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Only a Girl (Menantang Phoenix)

Penulis: Lian Gouw

Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tahun terbit : 2010

Tebal: viii + 385 halaman

IBN: 978-979-22-5659-8

 

Bagi perempuan, hidup dalam tradisi yang berubah dari yang sudah dijalankan sehari-hari sungguh sulit. Apalagi jika perubahan tradisi tersebut penuh ketidakpastian karena situasi politik yang bergolak. Sebagai etnik yang dianggap liyan, orang China mengalami apa yang disebut pergumulan antara identitas dan menyesuaikan dengan kondisi dimana mereka tinggal. Bagi para lelaki, selama mereka dan keluarganya bisa bertahan dan bahkan menangguk keuntungan, penyesuaian tradisi bisa dilakukan lebih mudah. Tidak demikian dengan para perempuan.

Kisah ini diawali dengan sebuah keluarga China yang suaminya terbunuh karena membantu Belanda menggerebek gudang opium. Sebagai balas jasa dari Belanda, keluarga yang ditinggalkan mendapatkan perlindungan dan pendidikan Belanda. Mereka tinggal di kawasan elite. Anak-anak tumbuh dalam budaya Beland. Hanya sang ibu ‘Nanna’ yang tetap memegang teguh tradisi China. Bahkan anak perempuan paling kecil lebih memilih tradisi Belanda yang dianggapnya lebih modern. Nama anak perempuan terkecil ini adalah Ong Kway Lien. Namun sehari-hari dia menggunakan nama Caroline, nama Belandanya.

Berbeda dengan tradisi China, dimana perempuan dan keluarganya menikah atau mencarikan jodoh dengan pertimbangan utama rasa aman, Caroline memilih menikah dengan Po Han - seorang sales mesin ketik, karena alasan cinta. Meski pernikahannya tidak direstui keluarga, Caroline tetap saja nekat. Pasangan ini dikaruniai seorang putri yang oleh neneknya diberi nama Lee Siu Yin. Nama Siu Yin didapat oleh Nanna dari seorang suhu yang didatanginya. Sementara Caroline dan Po Han lebih suka memanggil putri kecilnya dengan nama Jenny.

Pernihakan Caroline tidak mudah. Sebab dia dianggap tidak bisa menjadi istri yang baik oleh mertuanya. Tabrakan gagasan tentang istri yang baik antara Caroline dengan tradisi Belanda dan Ocho, mertuanya yang memegang teguh tradisi China mewarnai hubungan anak mertua ini. Tantangan lain yang dihadapi oleh Caroline adalah sikap Po Han yang lebih mengejar kariernya sebagai fotografer daripada mencari pekerjaan yang mapan untuk membiayai keluarga mereka dan menyiapkan Jenny ke sekolah Belanda yang mahal. Akhirnya rumahtangga ini kandas. Caroline mendidik Jenny dengan disiplin ala Belanda. Didikan ini menyebabkan hubungan mereka tidak hangat.

Jenny tumbuh menjadi gadis yang ceria dan berhasil di sekolah. Namun, perubahan situasi politik, Jenny mengalami kesulitan dalam pelajarannya. Kemerdekaan Indonesia menyebabkan dia harus belajar dengan bahasa pengantar Bahasa Indonesia, yang selama ini tidak pernah dipelajarinya. Padahal selama ini Jenny dan Caroline menganggap Bahasa Melayu adalah bahasa kelas rendah yang hanya layak dipakai untuk berkomunikasi dengan pembantunya.

Perubahan situasi politik juga mengakibatkan tertangkapnya Chip, si sulung oleh Jepang dan akhirnya dibunuh karena tidak mau berkolaborasi. Siksaan kepada Nanna semakin menjadi ketika Els dan Eddy kedua cucunya memilih menikah dengan orang Belanda. Kepedihan Nanna terungkap dengan kalimatnya: Apa saja yang Belanda memberikan, mereka mengambil kembali dua kali lipat (hal 275). Nanna kehilangan suaminya, anaknya lelaki, anak perempuannya yang tidak menurut dan kedua cucunya yang memilih untuk meninggalkannya karena memilih untuk menikah dan pindah ke negeri Belanda.

Jika dalam tradisi China, rumah adalah tempat para anggota keluarga kembali ketika mereka mendapatkan ketidak-beruntungan, tradisi Belanda justru menawarkan hal yang sebaliknya. Sue, anak sulung Nanna yang ditinggal mati suaminya karena tifus, bisa kembali ke rumah Nanna. Dan Emma, cucunya yang berbadan gemuk dan berwajah kurang elok tetap mendapat perlindungan di rumah.Sebaliknya, setelah lulus dari SMA, Jenny justru memilih untuk sekolah ke Amerika dengan meninggalkan ibunya dan kekasihnya Lam, seorang anak tunggal keluarga China yang mapan. Jenny memilih untuk keluar dari rumahnya karena ketidak cocokannya dengan tradisi baru (Republik Indonesia) yang menyulitkannya. Jenny tidak kembali ke rumah untuk mencari perlindungan.

Novel yang ditulis oleh Lian Gouw ini aslinya ditulis dalam Bahasa Inggris dengan judul: Only a Girl. Novel ini terbit di Amerika. Novel ini kemudian dialihbahasakan dalam Bahasa Indonesia dengan judul: Menantang Phoenix. Lian Gouw lahir di Jakarta dan besar di Bandung, kemudian bermigrasi ke Amerika. Itulah sebabnya, meski aslinya novel ini ditulis dalam Bahasa Inggris, tetapi latar belakang pelaku dan tempatnya adalah keluarga China di Bandung pada tahun 1930-1950-an.

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu