x

Iklan

Syarifuddin Abdullah

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Pelajaran Penting dari Teror London: Sangat Sulit Dicegah

Teknologi paling canggih sekalipun tidak mungkin menggantikan human intelligence.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pada Selasa, 21 Maret 2017, Khaled Masood tercatat check-in di sebuah hotel murah di Brighton, lalu menyewa sebuah mobil.

Besok siangnya, Rabu, 22 Maret 2017, pukul 14.40 GMT, di jam-jam menjelang pulang kantor, Khaled Masood menyetir mobil sewaannya menuju jembatan Westminster London, yang mengarah ke gedung parlemen Inggirs. Di atas jembatan, pada jarak sekitar 300 meter dari Big Bang, dia mulai memacu kendaraannya dengan kecepatan tinggi. Mobilnya sempat naik ke trotoar jembatan dan mulai menabrak atau menggilas para pejalan kaki.

Setelah melewati jembatan, entah sengaja atau tidak, mobilnya menabrak pagar luar parlemen, lalu keluar dan turun dari mobil, sambil membawa pisau, kemudian berlari sekitar 130 meter menuju salah satu gerbang parlemen dan tak seorang pun yang menghentikannya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dia melewati salah satu gerbang utama yang menuju Gedung Parlemen Inggris, yang ketika itu sedang terbuka karena ada sebuah mobil yang mau keluar.

Di dalam halaman Gedung Parlemen Inggris, Khaled Masood bertemu dan menikam berkali-kali seorang polisi yang tidak bersenjata, yang akhirnya tewas. Tapi seorang polisi lainnya di lokasi berhasil melumpuhkannya. Kejadian ini menunjukkan betapa lemahnya pengamanan di lingkungan parlemen Inggris.

Modus aksi Khalid Masood tampak sangat sederhana. Hanya diperlukan nekat yang kuat, dan mungkin tidak perlu melakukan pelatihan yang rumit, kecuali pengintaian sekilas sebelum melakukan aksinya.

Akibat aksinya itu, empat orang tewas, dan sekitar 40 cedera, tujuh di antaranya dalam kondisi kritis, salah satunya seorang wanita yang jatuh atau meloncat ke Sungai Thames. Mungkin karena ketakutan.

Aksi teror di jembatan Westminster London dan di halaman Gedung Parlemen Inggris membuktikan bahwa semakin sederhana modus sebuah aksi teror, makin sulit dideteksi dan nyaris mustahil dicegah. Sebaliknya, semakin besar suatu rencana aksi dan makin kompleks bahan/alat yang digunakan, tampaknya lebih mudah untuk dicegah.

Aparat keamanan negara manapun dan seprofesional bagaimanapun, nyaris mustahil mencegah aksi teror yang hanya menggunakan dua instrumen: mobil dan pisau dapur. “It was also the kind that is most difficult to prevent”, tulis The Economist (edisi cetak, 25 Maret 2017).

Berdasarkan pengalaman, rencana aksi teror berskala besar akan melibatkan banyak jaringan pelaku. Dan setiap jaringannya terbuka kemungkinan melakukan kesalahan. Dan begitu salah satu anggota jaringannya terdeteksi, akan memudahkan mendeteksi jaringan lainnya, dan selanjutnya menggagalkan rencana teror tersebut.

Sementara sebuah aksi teror yang dilakukan oleh seorang pelaku tunggal (lonely wolf), yang sudah siap mental untuk mati di tempat kejadian perkara (TKP), merencanakan sendiri aksi terornya, dan menggunakan hanya sebuah mobil dan pisau dapur, tentu akan sangat sulit mendeteksinya, apalagi mencegahnya.

Pada hari berikutnya, Kamis, 24 Maret 2017, PM Inggris Theresa May mengecam serangan mobil tersebut dan menyebutnya sebagai serangan teror yang sakit dan bejat (sick and depraved terrorist attack). Pada yang hari yang sama, kantor berita online Amaq News Agency, yang diyakini berafiliasi ke IS, mengklaim bahwa Khalid Masood adalah salah satu prajuritnya.

Selanjutnya, juga pada 24 Maret 2017, polisi anti teror Inggris pertama kali mempublikasikan foto pelaku serangan London, dan media mulai menurunkan berbagai informasi tentang pelaku teror London.

Bernama Khalid Masood, berusia 52 tahun, kelahiran Kent, dengan nama lahir Adrian Russell Ajao, dan terakhir berdomisili di West Midlands. Beristri dan punya seorang anak. Beberapa kali terlibat dalam berbagai kasus kriminal. Ketika berusia 18 tahun, misalnya pernah dihukum karena tindakan kriminal pada Nopember 1983.

Yang mungkin menarik - menurut The Sun yang mengaku memiliki fotokopi riwayat hidup Khalid Masood – diketahui bahwa pada 2005, Khalid Masood pernah bekerja di Yanbu, Saudi Arabia, dan selanjutnya sebagai guru untuk para pekerja di General Authority of Civil Aviation (GACA) di Jeddah. Pada 2009, Khalid Masood kembali ke London dari Saudi Arabia, dan kemudian bekerja di TEEL College sebagai “guru senior bahasa Inggris”.

Tercatat Khalid Masood beberapa kali berpindah-pindah domisili: Pernah berdomisili di Luton, lalu ke Forest Gate, lalu Olympic Village. Tahun 2016, Khalid Masood pindak ke Quayside di Winson Green Birmingham.

Serangan di jembatan Westminster London itu menunjukkan efektivitas seruan yang pernah disampaikan oleh Abu Bakar Al-Baghdadi kepada seluruh pendukungnya di seluruh dunia: “lakukanlah teror dengan senjata apa saja, sebarkanlah kepanikan di tengah komunitas yang memusuhi Islamic State”.

Pelajaran penting: teknologi paling canggih sekalipun tidak mungkin menggantikan human intelligence. Artinya, tidak ada satupun teknologi yang bisa mencegah aksi teror – yang sangat sederhana – seperti yang dilakukan orang seperti Khalid Masood.

Syarifuddin Abdullah | Sabtu, 25 Maret 2017 /27 Jumadil-akhir 1438H.

Sumber tulisan: cnn.com; www.economist.com; www.telegraph.co.uk; www.theguardian.com.

Sumber foto: http://edition.cnn.com.

Ikuti tulisan menarik Syarifuddin Abdullah lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler