x

Iklan

firdaus cahyadi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Krisis Pengetahuan di Partai Politik Kita

Sudah waktunya politisi seperti Megawati Soekarno Putri, Prabowo Subianto dan SBY menyadari bahwa parpolnya sedang mengalami krisis pengetahuan

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Partai Politik (parpol) adalah salah satu pilar demokrasi di negeri ini. Bagaimana, seandainya parpol itu kemudian mengalami krisis dalam pengelolaan pengetahuan (knowledge management)? Marilah kita teropong sambil minum kopi.

Nama kecilnya adalah Kusno. Namun kemudian ia lebih dikenal dengan nama Soekarno. Tokoh gerakan perlawanan terhadap penjajahan kolonial Balanda di Indonesia. Tak perlu diragukan bagaimana kegigihannya dalam melawan penjajah Belanda.

Soekarno adalah seorang orator ulung. Suaranya mengelegar  ketika berpidato. Ia adalah tokoh karismatik. Bahkan karismanya masih terasa hingga kini. Pada hampir setiap pemilu gambar dan namanya diperebutkan oleh parpol untuk mendulang suara.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kegigihannya mengorganisir rakyat dalam melawan penjajahan menyebabkan ia dijebloskan ke penjara. Beberapa kali Bung Karno, begitu ia kerap dipanggil, keluar masuk penjara. Dipenjaranya Bung Karno, begitu ia akrab dipanggil, membuat parpol yang didirikan dan dipimpinnya, PNI (Partai Nasional Indonesia), kemudian goyah. Hingga akhirnya, dibubarkan oleh pengurus besarnya.

”Kupandang pembubaran PNI memalukan dan perbuatan itu melemahkan pergerakan rakyat,” ungkap Bung Hatta dalam otobiografinya. Bung Hatta inilah yang kemudian terkenal menjadi tokoh PNI baru (Pendidikan Nasional Indonesia). Nama pendidikan, seperti ditulis dalam otobiografinya bukanlah sebuah kebetulan. Visi dari PNI baru itu adalah melakukan transfer nilai-nilai perjuangan sebagai landasan menuju kemerdekaan. Dengan itulah, maka perjuangan pergerakan perlawanan tidak tergantung pada satu atau segelintir pimpinan.

Sekelumit paparan di atas menggambarkan bahwa krisis knowledge management pernah menghinggapi parpol di era pra-kemerdekaan. Sehingga ketika sang pembawa pengetahuan dipenjara, organisasi perlawanan menjadi goyah. Namun, kesadaran akan pentingnya mengelola pengetahuan juga sudah muncul dalam gerakan perlawanan pra-kemerdekaan. Upaya yang dilakukan Bung Hatta adalah salah satu contohnya. Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana kondisi parpol dan gerakan sosial sekarang? Apakah masih dihinggapi krisis pengelolaan pengetahuan?

Atiklimaks. Itu mungkin satu kata yang tepat untuk menggambarkan peristiwa politik yang terjadi  parpol Indonesia akhir-akhir ini. Bagaimana tidak, setelah berhasil menjadi pemenang pemilu legislatif dan menghantarkan Joko Widodo (Jokowi) sebagai presiden terpilih, PDIP (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan), dalam rapat kerja nasional (rakernas) justru merekomendasikan Megawati Soekarno Putri kembali menjadi Ketua Umum partai berlambang banteng moncong putih itu.

Di waktu yang hampir bersamaan Partai Gerindra, rival PDIP dalam pemilihan presiden (pilpres) juga menobatkan Prabowo Subianto sebagai Ketua Umumnya. Di dalam parpol itu praktis seluruh kekuasaan partai politik ada di tangan Prabowo Subianto.

Sebelumnya, Partai Demokrat juga melakukan hal yang sama. Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjadi pusat dari seluruh kekuasaan partai berlambang mercy tersebut. Partai Demokrat pun tidak bisa dipisahkan dengan sosok SBY.

Baik Megawati, Prabowo Subianto dan SBY adalah tokoh-tokoh politik yang harus diakui berjasa dalam partai politik (parpol) mereka masing-masing. Mereka juga telah memiliki jasa bagi perkembangan demokrasi di negeri ini. Dominasi mereka di parpol masing-masing dinilai sebagai bagian dari memperkuat parpol dengan menjadi figur pemersatu antar faksi parpol. Benarkah dominasi mereka memperkuat parpol?

Dominasi Megawati Soekarno Putri di PDIP, Prabowo Subianto di Partai Gerindra dan SBY di Partai Demokrat sebenarnya menunjukan adanya krisis knowledge management (menejemen pengetahuan) di parpol tersebut. Pengetahuan dan skill dalam mempersatukan faksi di internal dan memperkuat parpol masih ada di benak para tokoh itu, belum menjadi pengetahuan organisasi.

Krisis knowledge management dalam parpol semakin nyata ketika dalam ajang pilkada, Parpol-parpol itu mencalonkan orang yang bukan kadernya untuk maju dalam pilkada. Kenapa demikian? Ya, karena memang tidak ada kader yang bisa diandalkan untuk dipilih dalam pilkada.

Resiko dari krisis menejemen pengetahuan di parpol ini sangat besar. Jika suatu saat tokoh-tokoh seperti Megawati Soekarno Putri, Prabowo Subianto dan SBY meninggal dunia, dapat dibayangkan betapa kacau balaunya kondisi internal parpol mereka. Perjuangan parpol akan terhenti seiring hilangnya tokoh sentralnya.

Bagaimana parpol-parpol tersebut bisa mengalami krisis menejemen pengetahuan? Ada beberapa sebab. Pertama, tidak adanya sistem dan mekanisme transfer pengetahuan dari benak (tacit) para aktivis parpol menjadi sebuah pengetahuan implisit (terdokumentasi) yang mudah diakses oleh semua kader parpol. Akibatnya, pengetahuan akan terus menumpuk dan terpusat hanya di beberapa aktivis parpol.

Kedua, tidak ada sistem dan mekanisme dalam transfer pengetahuan tacit ke tacit antar aktivis parpolnya. Tidak semua pengetahuan tacit bisa menjadi pengetahuan eksplisit. Ada beberapa pengetahuan yang memang tidak bisa dieksplistkan. Namun, meskipun demikian pengetahuan itu harus tetap dibagi agar menjadi pengetahuan organisasi bukan pengetahuan individual. Transfer pengetahuan dari tacit ke tacit bisa dilakukan dengan kegiatan magang, rotasi jabatan dan sebagainya.

Ketiga, tidak adanya budaya organisasi yang kondusif bagi tumbuh dan berkembangnya pengetahuan organisasi. Sebuah organisasi yang feodalistik dan otoritarian misalnya, dengan sendirinya tidak akan kondusif bagi tumbuh dan berkembangnya pengetahuan organisasi.

Keempat, tidak ada komitmen dari pucuk pimpinan organisasi untuk mejelankan menejemen pengetahuan di internal organisasinya. Bisa jadi para pucuk pimpinan sudah merasa nyaman dengan ketiadaan menejemen pengetahuan di organisasi. Atau pucuk pimpinan parpol justru diuntungkan secara politik oleh tidak berjalannya menejemen pengetahuan di parpol tersebut.

Apapaun penyebabnya, yang jelas krisis menejemen pengetahuan tersebut harus diakhiri. Sudah waktunya politisi seperti Megawati Soekarno Putri, Prabowo Subianto dan SBY menyadari bahwa parpolnya sedang mengalami krisis pengetahuan. Dan jika dibiarkan, cepat atau lambat, parpol-parpol tersebut akan masuk ke jurang kehancuran.

Ikuti tulisan menarik firdaus cahyadi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terkini

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB