x

Iklan

Syarifuddin Abdullah

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Kaya dan Miskin di Indonesia

Jangan terlalu berharap akan muncul solusi dalam tempo singkat terhadap masalah ketimpangan kaya miskin itu. Sebab konsepnya saja masih meraba-raba.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kaya dan miskin – serta jurang yang semakin menganga di antara keduanya – adalah persoalan yang sangat klasik, yang selalu menjadi topik diskusi menarik sepanjang masa, di manapun dan kapanpun. Materinya tak ada abis-abisnya.

Minggu ini kita kembali diingatkan melalui ulasan yang menukik tentang gap antara kaya dan miskin dalam Laporan Khusus Majalah Tempo, edisi 26 Maret 2017, dengan judul utama “Di Bawah Bayang-bayang Ketimpangan”, dengan sub-sub judul yang semuanya menarik disimak.

Saya tidak terlalu kaget dengan berbagai data kemiskinan yang disajikan Tempo. Data utamanya tidak ada yang baru. Jika ada yang baru adalah reportasenya tentang gaya dan praktek hidup orang-orang kaya dan juga realitas kehidupan orang-orang miskin di Indonesia. Kesimpulan Tempo, jurang itu ternyata semakin menganga.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Data Credit Suisse menyebutkan satu persen dari jumlah penduduk Indonesia menguasai 49,3 persen kekayaan nasional. Jika jumlah orang kaya dinaikkan menjadi 10 persen, mereka menguasai total 75 persen kekayaan nasional. Dengan asumsi jumlah penduduk 255 juta jiwa, rinciannya sebagai berikut:

Di puncak piramida, ada 0,1 persen (255.000 jiwa), yang kekayaannya lebih 1.000.000 USD (Rp13.350.000.000).

Ada 1 persen (2.550.000 jiwa), yang kekayaannya antara 100.000 sampai 1.000.000 USD (Rp13.350.000.000).

Ada 14,7 persen (37.485.000 jiwa), yang kekayaannya antara 10.000 sampai 100.000 USD (Rp1.335.100.000).

Ada 84,3 persen (214.965.000 jiwa) yang kekayaannya dibawah 10.000 USD (Rp133.400.000).

Terkait jurang kaya-miskin yang semakin menganga itu, ada beberapa catatan menarik:

Pertama, fenomena warga penduduk yang berjumlah hanya satu persen, namun menguasai sebagian besar kekayaan nasional itu, sebenarnya bukan hanya di Indonesia. Hal serupa terjadi di banyak negara, termasuk Amerika Serikat, Inggris, Kanada, China, India bahkan Swedia.

Di Amerika misalnya, 0,01% atau sekitar 16.000 keluarga memiliki rata-rata penghasilan sebesar 24 juta USD per tahun (lihat The Economist, 13 Oktober 2012). Kesimpulan The Economist menyebutkan, realitas itu juga semakin menganga.

Kedua, jika Anda orang miskin dan punya cita-cita masuk ke dalam kategori 1 persen yang menguasai kekayaan nasional, mungkin sudah sangat telat. Saya merekomendasikan begini: forget it! Nggak bakal nyampe, soalnya.

Sebab di mana pun dan kapan pun, pertumbuhan kekayaan individu atau lembaga cenderung mengikuti pola deret ukur, bukan deret hitung. Dengan kata lain, jika baru mau mulai, Anda bisa saja kaya setelah bekerja bertahun-tahun. Tetapi yang sudah kaya duluan, pertumbuhan kekayaannya lebih cepat. Jadi, forget it! Nggak bakal nyampe, soalnya.

Ketiga, sejauh ini, tidak ada pakar ekonomi kelas dunia sekalipun yang menawarkan semacam kunci pandora, yang diasumsikan akan efektif mengurangi jurang kaya-miskin. Para pakar memang menawarkan “Teori Gini”. Tapi Teori Gini lebih mengulas realitas, bukan menawarkan solusi tentang bagaimana mempersempit jurang kaya-miskin.

Keempat, kelompok penduduk Indonesia yang boleh disebut kelas menengah Indonesia (dari segi ekonomi) adalah mereka yang masuk kategori 14,7 persen (37.485.000 jiwa), yang kekayaannya antara 10.000 sampai 100.000 USD (Rp1.335.100.000). Jumlah ini sangat signifikan, untuk menjadi pengungkit pertumbuhan ekonomi.

Kelas menengah ini juga relatif mudah mengidentifikasinya. Tengok saja laporan kekayaan para pejabat negara (mulai dari eselon 2 sampai menteri atau sederajat) atau para anggota DPR Pusat dan DPRD Provinsi dan Kabupatan/Kota. Hampir semuanya masuk dalam kategori kelas menengah ini.

Kelima, kita belum pernah mendapatkan informasi detail tentang siapa-siapa saja warga Indonesia yang 1 persen (2.550.000 jiwa) itu, yang kekayaannya antara 100.000 sampai 1.000.000 USD (Rp 13.350.000.000). Salah acuannya adalah daftar beberapa warga Indonesia yang setiap tahun masuk 100 terkaya dunia di Majalah Forbes. Sebab, boleh jadi Anda termasuk di dalamnya.

Kelima, distribusi kekayaan nasional – yang menurut Tempo – sudah mencapai level “Ketimpangan yang sempurna” itu, bukan hasil kemarin sore. Keliru juga bila tiba-tiba menyalahkan pemerintah saat ini. Sebab itu adalah hasil proses bagi-bagi national pie (kue nasional) yang sudah berlangsung sejak negeri ini merdeka.

Keenam, jangan terlalu berharap akan muncul solusi dalam tempo singkat terhadap masalah ketimpangan kaya miskin itu. Sebab konsepnya saja masih meraba-raba. Dan seandainya pun konsep solusinya sudah tersedia, masih diperlukan sebuah kebijakan radikal. Dan saya tidak/belum membayangkan ada tokoh politisi – eksekutif ataupun legislatif yang berkuasa saat ini – yang berani mengeksekusinya secara konsisten.

Syarifuddin Abdullah | Ahad, 26 Maret 2017 / 28 Jumadil-akhir 1438H.

Sumber foto: screen-shot cover Majalah Tempo, edisi 26 Maret 2017.

Ikuti tulisan menarik Syarifuddin Abdullah lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler