x

Iklan

Mohamad Cholid

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

#SeninCoaching: Managing Uncertainty for Success

How Bold Are You for Tango, to Take the Lead Para pemimpin hebat berani ber-tango dengan kerentanannya, menghadapi segala kemungkinan

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Leadership Growth: Are You Bold Enough for Tango?

Para pemimpin hebat berani ber-tango dengan kerentanannya, menghadapi segala kemungkinan

Mohamad Cholid

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Practicing Certified Business and Executive Coach

 

Sepenggal adegan Scent of a Woman di sebuah restoran elegan dengan musik dan lantai dansa yang mengkilap di New York:

Frank Slade, pensiunan Letnan Kolonel Army Ranger yang buta, sembari setengah dituntun Charlie Simms, mendekati seorang wanita yang duduk sendirian, tengah menunggu pasangannya. Wanita rupawan itu namanya Donna.

Setelah dibolehkan duduk bersama dan saling menyapa nama serta beberapa dialog, Frank mengajak Donna belajar dansa tango.

Saya rada takut,” kata Donna, yang sebenarnya ingin bisa tango, dansa berpasangan yang melahirkan pelbagai kemungkinan itu. Nuansanya memang sharing every moment dan saling percaya.

Takut apa ….” tanya Frank.

Takut membuat kesalahan,” jawab Donna.

Tidak ada kesalahan dalam tango, …. itu yang membuat tango hebat," jawab Frank. Lalu mereka ber-tango. Dengan sedikit hati-hati, tidak passionate sebagaimana tango sering digambarkan, namun sudah mengubah suasana menjadi lebih bermakna.

Dalam kisah yang lain tango juga diinterpretasikan sebagai take the lead, dinamis, dan tetap saling menjaga pasangan dalam kerentanan dan keterbatasan masing-masing.

Seorang leader selain memiliki jiwa sebagai warrior – sigap menghadapi ketidakpastian – mestinya juga tangkas ber-tango. Karena, “There is no mistake in tango. …. That makes tango so great,” kata Frank (diperankan Al Pacino) dalam Scent of a Woman.

Dalam kenyataan, sepanjang seorang pemimpin memiliki integritas kuat, cukup rendah hati mengakui kekurangannya, dan dapat menghargai para stakeholders sebagai “mitra dansanya”, umumnya mantap untuk mengambil keputusan atau menentukan langkah-langkah kepemimpinannya.

Kadang-kadang tahapan yang dilaluinya bersama stakeholders demikian rentan untuk mencapai sukses. Tapi sebagai leader ia tetap ambil keputusan.

Keberanian seorang eksekutif seperti Anda sangat ditentukan oleh sikap rendah hati dan level keterbukaan pikiran untuk menghadapi tantangan baru, ibarat berani ber-tango.

Selain diukur berdasarkan kesiapan keluar dari zona nyaman, Anda akan layak disebut pemimpin kalau juga siap menjalani kehidupan tanpa alibi apa pun.

Alibi, seperti blaming (menyalahkan pihak lain, atasan, anak buah atau mitra bisnis), excuses, dan denial (penyangkalan) yang sering dipakai untuk menghindari tanggung jawab – termasuk menunda-nunda kerjaan – sama sekali tidak bakal mengubah fakta-fakta bisnis dan kehidupan.

Trend yang terjadi di kalangan eksekutif di negara-negara maju, di lingkungan bisnis dan institusi-institusi penting negara dan di masyarakat, orang-orang yang dianggap layak memimpin adalah yang sigap menapaki vulnerability. Sebagaimana seorang petarung sejati siap memasuki unknown territory.

Bagi orang yang memiliki kemauan untuk memfungsikan daya hidupnya pasti bisa. Setiap kita memasuki tahapan baru dalam kehidupan, bukankah kita juga rentan (vulnerable) terhadap lingkungan baru dan kemungkinan salah bertindak, bahkan sampai salah arah? Itulah proses pematangan.

Demikian juga dalam proses pengembangan leadership. Kepemimpinan yang didukung sikap rendah hati untuk terbuka menerima masukan dari para stakeholders-nya sebenarnya juga memasuki wilayah rentan.

Banyak yang kemudian mengakui, sebagai pemimpin telah salah tafsir mengenai hal itu. Golongan ini sebelumnya beranggapan, kalau kita serba terbuka kepada anak buah, posisi akan terancam. Maka mereka berlindung dibalik hirarki organisasi untuk menyembunyikan ketidaksempurnaan sebagai manusia.

Mereka terjebak dalam anggapan yang mempercayai kepemimpinan itu posisi dan ego harus dikibarkan. Anda dapat mengenali ciri-cirinya: karena bos, mereka boleh sering terlambat rapat bahkan sampai satu jam, sedangkan saat anak buah telat lima menit ditegur. Atau di tengah rapat serius soal strategi, malah menyempatkan lebih dari sekali buka hand phone baca pesan.

Orang-orang semacam itu cenderung memilih menyalahkan anak buah daripada memperbaiki perilaku diri sendiri. Fakta dan pengalaman membuktikan, pola kepemimpinan seperti itu sangat tidak efektif, sering lebih banyak menimbulkan demotivasi tim dan kerugian organisasi.

Sebaliknya, golongan pemimpin yang menghayati spirit the strength of vulnerability, yang belakangan menjadi pola baru di kalangan ekekutif di perusahaan-perusahaan dan institusi hebat di negara maju, malah menikmati keterbukaan.

Mereka telah membuktikan, keterbukaan hati dan pikiran, kepada tim dan unsur stakeholders lainnya, lebih membuahkan hasil positif. Utamanya, menghasilkan budaya institusi yang lebih solid dan bottom line yang lebih baik.

Golongan ini umumnya memiliki clarity, kejernihan berpikir dan fokus pada satu atau dua target bisnis atau institusi – tidak tergoda dengan ide-ide baru yang menggiurkan tapi sangat distractive.

Perusahaan atau institusi yang mereka pimpin berhasil menjadi hebat, memberikan positive impact luar biasa kepada para pemangku kepentingan (stakeholders).

Contoh kongkrit yang kemudian jadi legenda bisnis antara lain Steve Jobs dalam mengembangkan Apple (ini sudah sering Anda baca kan?). Atau Alan Mulally, yang menyelamatkan Ford Motor Company dari merugi US$ 12.7 milliar menjadi mampu meraih profit.

Selama sebagai CEO Ford (2006 – 2014) Alan Mulally mengembangkan tradisi keterbukaan dalam rapat rutin dengan tim manajemennya, sehingga para direktur dan kepala divisi saling dapat melihat fakta-fakta bisnis – kekurangan, kegagalan, plus rencana perbaikan -- dari divisi lain.

Rapat-rapat berlangsung tanpa judgement, tidak ada omongan sampingan, bebas interupsi, termasuk cell phone. Dengan semangat One Ford, setiap orang siap membantu perbaikan untuk divisi yang berbeda. Kepemimpinan itu lebih banyak tentang kepentingan mereka, bukan pemimpinnya, kata Alan Mulally.

Jika setiap eksekutif terbuka, termasuk mengakui keterbatasannya dalam bidang diluar keahliannya, kenyataannya para rekan kerjanya dan tim akan membantu. Inilah salah satu benefit dari the strength of vulnerability. Terbuka, mengakui kekurangan, rentan, dan dapat dukungan.

Di level negara, para pemimpin hebat yang berhasil mengangkat harkat bangsanya umumnya juga melewati situasi menjadi vulnerable. Mereka dengan rendah hati memasuki ketidakpastian, yang manageable.

Saat Presiden AS John F. Kennedy pada 25 Mei 1961 mencanangkan mendaratkan manusia di bulan pada akhir dasawarsa itu, sesungguhnya ia berada dalam situasi sangat rentan.

Kemampuan teknologi Amerika mengarungi angkasa luar saat itu masih dibawah Uni Soviet, yang berhasil mengirimkan kosmonot Yuri Gagarin keluar angkasa 12 April 1961. Setting politik juga tengah genting akibat insiden Teluk Babi, yaitu kegagalan invasi paramiliter dibawah kendali CIA ke Kuba dengan tujuan menggulingkan Fidel Castro.

Ketika Bung Karno, Panglima Sudirman, Bung Tomo, dan para founding fathers bergerak melawan penjajah, kondisi berbagai faktor untuk melahirkan sebuah bangsa merdeka saat itu sangat rentan. Kondisi fisik dan kesehatan Panglima Sudirman bahkan jauh dari ideal untuk memimpin gerilya.

Ternyata justru pada kondisi rentan tersebut, John F. Kennedy memperoleh dukungan NASA dan para ahli teknologi bidang-bidang lain untuk mewujudkan visinya mendaratkan manusia di bulan.

Demikian juga para founding fathers Indonesia mendapatkan sokongan luar biasa, bahkan banyak yang rela mengorbankan nyawa mereka demi negara – yang waktu itu negara Indonesia juga masih belum tergambar seperti apa.

Itulah kekuatan yang didapatkan para pemimpin yang berani menapak ke wilayah segala kemungkinan, ke kondisi rentan. Kerentanan tersebut memperlihatkan ketulusan dan keindahan mereka sebagai manusia biasa, sama dengan tim mereka, hanya beda tanggung jawab.

Mereka tidak munafik, memiliki compelling vision, sehingga berani actions.

To lead memang beda dengan to manage. To lead dengan hati dan pikiran terbuka dapat membuat tim memasuki tahapan cheerful cooperation, heartful commitment, sampai creative excitement.

Sedangkan to manage sering menyebabkan kesetiaan tim paling tinggi di level willing compliance, banyak yang malicious obedience. Kalau ada sedikit goncangan institusi, mereka rebel atau quit.

Pemimpin yang ingin berhasil membawa stakeholders menjalani kehidupan lebih baik umumnya mau berupaya melibatkan tim, “sebagai mitra ber-tango”.

Dan jika Anda secara intelektual dan spiritual prima, memiliki integritas, tentunya tidak ragu-ragu ambil keputusan untuk menjemput keberhasilan di level berikutnya.

 

Mohamad Cholid adalah Head Coach di Next Stage Consulting.

  • Certified Executive Coach at Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching

  • Certified Marshall Goldsmith Global Leader of the Future Assessment

Alumnus The International Academy for Leadership, Jerman

 

 

 

Ikuti tulisan menarik Mohamad Cholid lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler