x

Iklan

Munawir

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Anies Baswedan dan Ancaman Kekerasan Beragama

Manuver Anies Baswedan merangul FPI memiliki konsekuensi politik jangka panjang. Masa depan kebhinekaan terancam.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Manuver Anies Baswedan yang merapat ke markas Front Pembela Islam (FPI) dan merangkul ke Ustadz Riziq Syihab menjadi wajah politik DKI Jakarta. Ceramah Anies di Petamburan, pada 1 Januari 2017 lalu tidak sekedar menandai kesepakatan politik, namun sebagai pengingkaran-pengingkaran atas idealisme yang selama ini didedungkan. Selain itu, Anies juga bergerak menyatukan kekuatan kelompok Islam radikal dengan barisan pendukung Orde Baru. Dengan sedikitnya opsi yang tersedia untuk melawan Ahok, Anies bersedia membonsai idealismenya, serta menghianati cita-cita Nurcholish Madjid yang membangun Universitas Paramadina.

Dalam perjalanan hidupnya, Anies seharusnya berterima kasih dengan sosok Cak Nur, yang mengawali pembaruan Islam dengan membangun tradisi akademik di Universitas Paramadina. Namun, Anies dengan bangga menyatakan sebagai “pemadam api” pembaruan Islam yang merupakan pengabdian Cak Nur selama hidupnya. Langkah-langkah Anies yang merangkul kelompok Islam radikal, bertolak belakang dengan prinsip dan nilai-nilai Cak Nur.

Lalu, bagaimana masa depan interaksi antara agama jika Anies Baswedan terpilih sebagai gubenur? Bagaimana narasi Islam di Ibu Kota Jakarta apabila pasangan Anies-Uno menjadi pemimpin kota ini? Mengerikan sekali, karena Anies-Uno memiliki hutang moral dan hutang dukungan kepada Ustadz Riziq Syihab, jaringan FPI dan kelompok Orde Baru. Betapa mengerikan menyaksikan Anies hanya seandainya kelompok Islam garis keras menguasai Ibu Kota. Betapa mengerikan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kebebasan beragama dan kesejukan berislam terancam oleh kontestasi politik. Penggunaan agama sebagai modal politik untuk melawan Ahok, dengan rentetan komodifikasi agama, mulai dari isu penistaan hingga penggunaan majlis pengajian untuk mengenang Supersemar merupakan gejala mengerikan dalam politik kita.

Ancaman FPI

Survey Wahid Foundation menunjukkan bukti betapa ancaman kebebasan beragama masih nyata. Dalam surveinya, Wahid Foundation mancatat betapa FPI menjadi ancaman terhadap kesejukan dan kebebasan beragama. Laporan ini mengungkap ada 204 peristiwa dan 313 tindakan pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan pada tahun 2016. Sepanjang tahun lalu, aktor negara menempati porsi dominan dalam pelanggaran ini. Data yang dirilis Wahid Foundation, sebanyak 159 tindakan atau 50,5 persen pelanggaran dilakukan oleh aktor negara, dan 156 tindakan atau 49,5 persen dilakukan aktor non-negara. Dalam survey ini, tercatat peningkatan tujuh persen pelanggaran dibandingkan tahun 2015, yang mencatat 190 peristiwa dan 249 tindakan pelanggaran.

Tindakan-tindakan pelanggaran yang menjadi instrumen survey dalam isu kebebasan beragama dan berkeyakinan, yakni pembatasan/pelarangan penyiaran agama, intimidasi dan ancaman, pelarangan simbol dan atribut keagamaan, pemaksaan keagamaan, pengusiran, ujaran kebencian, pelarangan aktivitas.

Aktor negara masih dominan dalam tindakan pelanggaran berupa penyesatan agama/keyakinan (29 tindakan), kriminalisasi berdasar agama/keyakinan (28 tindakan) dan pelarangan (19 tindakan). Dari aktor negara ini, lembaga kepolisian menempati urutan teratas dalam daftar pelanggar, mencapai 44 tindakan pelanggaran. Sementara pemerintah kabupaten/kota sebanyak 25 tindakan, dan Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat atau Bakorpakem sebanyak 7 tindakan.

Dari aktor non-negara, terungkap data bahwa Front Pembela Islam merupakan aktor non-negara yang melakukan pelanggaran, sebanyak 24 tindakan, menempati porsi yang sama dengan aksi massa. Pada urutan selanjutnya, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mencatat pelanggaran sebanyak 22 tindakan.

Laporan Wahid Foundation tentang tingginya pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan patut menjadi catatan bersama. Apalagi, tindakan pelanggaran tertinggi dilakukan oleh aparat keamanan dan aktor negara. Tentu saja, ini menjadi catatan penting bagi pemerintah, bahwa perlu ada pendampingan terhadap institusi-istitusi yang menangani isu kebebasan beragama, agar tidak terjebak pada sengkarut hukum tanpa menanggalkan aspek keamanan negara.

Sementara, dari catatan aktor non-negara, langkah-langkah Front Pembela Islam (FPI) perlu direspon agar tidak ancaman bagi interaksi antar agama dan memperburuk narasi kebhinekaan di negeri ini. Apa yang dilakukan oleh FPI, sejatinya menjadi ancaman betapa kekerasan-kekerasan dan tindakan pelanggaran terhadap keyakinan beragama, sudah mencapai krisis yang perlu direspon pemimpin negara. Jika tidak, tentu akan berpretensi buruk bagi iklim kebhinekaan di negeri ini.

Manuver Anies Baswedan merangul FPI memiliki konsekuensi politik jangka panjang. Jika kekuatan ini menguasai Ibu Kota Jakarta, masa depan interaksi agama di negeri ini dalam ancaman. Konsepsi NKRI juga terancam dengan kampanye-kampanye politik yang menggunakan jubah agama. Betapa! (*)

Ikuti tulisan menarik Munawir lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB