KH Ahmad Ishomuddin, Rais Syuriah PBNU dan Wakil Ketua Komisi Fatwa MUI Pusat, menjadi saksi ahli dalam sidang ke-15 kasus dugaan penistaan agama dengan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok di Auditorium Kementerian Agama, Jakarta Selatan, Selasa, 21 Maret 2017. Dakwaan itu terkait dengan penyebutan surat Al-Maidah ayat 51 oleh Ahok.
Dalam kesaksiannya, Ishomuddin menyatakan tak ada unsur penodaan agama yang dilakukan Ahok. "Menistakan agama itu seperti menginjak-injak Al-Quran atau menaruhnya di tempat tak pantas," kata dia.
Ishomuddin juga memaparkan bahwa kata "auliya" dalam Surat Al-Maidah ayat 51 itu bermakna sebagai "teman setia".
Dalam catatannya di akun Faceboook-nya, Ishomuddin menjelaskan lebih jauh rujukannya mengenai "auliya" tersebut. Berikut ini kutipan lengkap catatannya:
Saya meneliti dengan cermat sejumlah banyak kitab tafsir al Quran, khusus yang terkait QS Al Maidah ayat 51, dari yang paling klasik hingga yang terkini. Kata awliya' yang disebut dua kali nyata merupakan kata yang musytarak, yakni memiliki beragam makna, sehingga mufasir bebas memilih yang akibatnya multitafsir, bukan monotafsir (hanya berarti pemimpin). Konteks ayat tersebut berbicara mengenai larangan terhadap terhadap orang-orang beriman, termasuk orang munafik yang pura-pura beriman, pada masa Nabi Muhammad shalla 'alaihi wa sallama agar tidak berteman dekat, tidak menjadi sekutu, tidak saling membantu dan menolong, terhadap orang Yahudi dan Nasrani, di mana sebagian Yahudi menjadi penolong yang bekerja sama terhadap orang Yahudi lainnya, demikian juga sebagian orang Nasrani menolong sebagian Nasrani lainnya dalam memusuhi Nabi Muhammad shalla Allahu 'alaihi wa sallama, ajaran Islam yang beliau bawa, dan para sahabat yang mengikutinya. Baca: Kasus Al Maidah 51: 6 Alasan Ahok Tak Akan Dipenjara Jadi, 'illat (motif hukum, causa legis, alasan) pelarangannya adalah ghayat al 'adawah wa al khiyanah (karena ada permusuhan yang sangat dan dikhawatirkan terjadi penghianatan) oleh orang beriman yang munafik dalam suasana perang/tidak damai pada masa itu. Jadi, ayat tersebut konteks aslinya tidak ada kaitannya secara langsung dengan pemilihan gubernur. Di antara kitab kitab tafsir Al-Quran yang sempat saya teliti dengan cermat adalah: 1. Tafsir al Thabari Juz 8 2. Tafsir al Qur'an al Adzim (Ibn Katsir) Jilid 3 3. Tafsir al Ma'mun Juz 2 4. Tafsir Hadaiq ar Ruh wa al Raihan fi Rawabi 'Ulum al Qur'an Jilid 7 5. Tafsir al Baghawi Ma'alim al Tanzil Jilid 3 6. Hasyiyah al Qunawi 'ala Tafsir al Imam al Baidlawi Juz 7 7. Hasyiyah Muhyi al Din Syaikh Zadah 'ala Tafsir al Baidlawi Juz 3 8. al Kasysyaf 'an Ghawamidl al Tanzil Juz 2 9. al Jami' li Ahkam al Qur'an (al Qurthubi) Juz 8 10. Tafsir al Fahr al Razi Juz 12 11. Fath al Qadir al Jami' Baina Fannai al Riwayat wa al Dirayat min 'Ilm al Tafsir (al Syawkani) Juz 2 12. al Ta'wilat al Najmiyyah fi al Tafsir al Isyariy al Shufiy 13. al Dur al Mantsur fi al Tafsir bi al Ma'tsur (al Suyuthi) Juz 5 14. Tafsir al Mulla 'Ali al Qariy Jilid 1 15. Tafsir Ruh al Ma'ani Jilid 2 16. al Kasysyaf wa al Bayan fi Tafsir al Qur'an (Tafsir al Tsa'labi) Juz 2 Silakan membacanya dengan teliti. Semoga yang saya tulis ini bermanfaat untuk menambah ilmu dan pemahaman yang benar terkait tafsir QS Al Maidah ayat 51 yang di Indonesia sangat terkenal itu. Segalanya akan baik jika berdasarkan ilmu, bukan atas dasar dorongan hawa nafsu. Semoga Allah menjaga kita dari ketergelinciran dan kemaksiatan kepada-Nya. Terima kasih. Kyai Ahmad Ishomuddin |
Baca juga:
Kontroversi Awliya dalam Al-Maidah 51: Ini Asal-Usulnya
Haramkah Pemimpin Non-Muslim? ~ Akhmad Sahal
Ikuti tulisan menarik Iwan Kurniawan lainnya di sini.