x

Iklan

Anazkia Aja

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Mengenali Gangguan Dengar di Hari Pendengaran Sedunia

3 Maret diperingati sebagai hari pendengaran dunia

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Saya baru tahu jika 3 Maret dikukuhkan sebagai Hari Pendengaran Sedunia. Hal ini saya ketahui ketika tanggal 20 Maret lalu menghadiri Media Briefing yang diselenggarakan oleh  Kementerian Kesehatan Republik Indonesia bertempat di Gedung D Lt. 4, Ditjen P2PTM Jalan Percetakan Negara. Media Briefing ini dihadiri oleh media juga beberapa teman blogger.

Yang hadir sebagai pembicara  saat itu adalah Mohammad Subuh,  Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit. Soekirman Soekin Ketua PP Perhati KL, juga Angkie Yudisia salah seorang difabel yang mengalami gangguan dengar sejak kecil.

Menurut Subuh, perubahan gaya hidup dapat memengaruhi gangguan pendengaran. Salah satunya adalah earphone atau headset. earphone kini menjadi salah satu penyebab kerusakan gangguan pendengaran. Terlalu sering menggunakan earphone baik sebagai penghubung alat telpon juga mendengarkan musik dalam jangka panjang dapat merusak gendang telinga. Padahal, senormalnya telinga ia hanya dibolehkan menggunakan headset  tidak lebih dari 60 menit dalam satu hari.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat bahwa bahwa lebih dari 43 juta orang dengan rentang usia 12-35 tahun di negara berpenghasilan menengah hingga tinggi, hidup dengan gangguan pendengaran. Sedang menurut WHO Multicenter study tahun 1998 menemukan bahwa terdapat sekitar 240 juta (4,2%) penduduk dunia yang menderita gangguan pendengaran. Sekitar 4,6% di antaranya ada di Indonesia. Data ini sekaligus menobatkan bahwa Indonesia menjadi negara dengan urutan nomor 4 tertinggi yang mengalami gangguan dengar setelah Sri Lanka (8,8%) Myanmar ( 8,4%) dan India (6,3%).

Masih menurut WHO, ada banyak faktor penyebab gangguan pendengaran. Beberapa di antaranya adalah meningkatnya paparan suara bising di tempat rekreasi, seperti klub-malam, diskotik, pub, bar, bioskop, konser musik, acara olahraga atau kelas fitnes. Juga ditambah dengan kemajuan tekhnologi seperti alat audio yang digunakan dengan volume tinggi saat mendengarkan musik dan dalam jangka waktu yang lama.

Masih menurut dr. H. Mohammad Subuh dalam materi yang disampaikan bahwa kondisi ketulian di Indonesia menurut survey nasional yang dilaksanakan pada tahun 1994-1996 adalah sebagai berikut, Mordibitas penyakit telinga 18,5% (40,5 juta) prevalensi gangguan pendengaran 16,8% (35,28 juta) ketulian 0,4% (840.000). Setiap tahun lebih 5200 bayi lahir menderita tuli, dengan angka kelahiran 2,6%.

Hal ini menurutnya menjadi pekerjaan rumah banyak pihak. Baik dari masyarakat, pemerintah juga media sebagai penyambung lidah untuk sama-sama menyampaikan tingkat kesadaran kepada masyarakat luas mengenai gangguan pendengaran. Seperti diungkapkan oleh Angkie Yudisia, betapa sejak lama masyarakat di Indonesia abai dengan masalah gangguan pendengaran. Tak sedikit keluarga yang malu mengakui ketika salah satu anaknya mengalami gangguan dengar.  Bahkan kerap disembunyikan dari masyarakat.

Banyak sekali yang harus dibenahi dalam sosialisasi gangguan dengar ini ke masyarakat luas. Selain memberitahukan bahwa gangguan dengar adalah penyakit, pr selanjutnya adalah harga hearing aid, alat untuk membantu mendengar. Perawatannya juga masih tergolong sangat mahal. Ini, bagi warga kalangan bawah sungguh menjadi dilema. 

Ikuti tulisan menarik Anazkia Aja lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler