x

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Pengadilan yang Korup

Sistem pengadilan yang sengaja dibuat sumir supaya berbagai pihak bisa memanfaatkannya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Proses

Judul Asli: Der Prozess

Penulis: Franz Kafka

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penterjemah: Sigit Susanto

Tahun Terbit: 2016

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama

Tebal: 251

ISBN: 978-602-03-2895-9

Pengadilan yang jauh dari keadilan adalah sebuah bencana. Melalui novel berjudul “Proses,” (judul asli dalam Bahasa Jerman adalah “Der Prozess”) Frans Kafka menggambarkan amburadulnya pengadilan. Pemegang kekuasaan di pengadilan yang tidak jelas dan proses pengadilan yang sumir menjadikan siapa saja memanfaatkannya untuk kepentingannya sendiri. Semua berupaya mendapatkan keuntungan dari proses sebuah perkara. Kekuasaan pengadilan yang sesungguhnya tidaklah ada pada para hakim yang mengurus perkara, tetapi pada hakim tinggi yang tidak dikenal dan tidak bisa dihubungi, yang keputusannya tidak pernah bisa diketahui dasarnya. Pengadilan adalah sebuah organisasi yang tidak saja melibatkan para pejabat korup, inspektur-inspektur bodoh, hakim-hakim yang mengatakan bahwa mereka adalah pegawai rendahan sehingga tak bisa mengambil keputusan. Dalam kondisi seperti ini,mereka yang terlibat dalam sistem pengadilan, seperti hakim, pengacara, pegawai pengadilan serta serombongan besar pihak yang semuanya mencari keuntungan pribadi, tak bisa dihindarkan (hal. 48).

Institusi pengadilan sudah sedemikian rupa bobroknya. Anggaran dikorupsi sehingga fasilitas pengadilan begitu buruk. Pengadilan tak lagi memiliki gedung. Pengadilan terpaksa memakai loteng-loteng di rumah susun miskin. Loteng-loteng ini dihuni oleh staf pengadilan saat tidak dipakai untuk proses sidang (hal. 64). Kondisi ini seakan menjadi pembenaran untuk praktik korupsi pegawai rendahan di institusi pengadilan. Namun nasip pegawai rendahan ini tidaklah selalu baik. Mereka bisa menerima hukuman yang sangat kejam apabila ketahuan berlaku curang (hal. 93). Nasip orang kecil yang ikut-ikutan memanfaatkan sistem karena tahu para atasannya curang, sering menjadi korban atas nama penegakan keadilan.

Sistem pengadilan yang seperti ini membuat seseorang bisa saja ditahan tanpa ada kesalahan. Dalam proses yang tidak pasti, seseorang yang disangkakan bersalah, tanpa diberi tahu kesalahannya, secara psikologis akan merasa bersalah. Pada akhirnya ia akan terjebak dalam proses pengadilan yang memang diinginkan oleh orang-orang yang mencari untung melalui sistem pengadilan tersebut.

Demikianlah yang terjadi kepada Joseph K. Di suatu pagi di hari ulang tahunnya yang ke-30 ia dinyatakan ditahan oleh pengadilan. Dua orang opsir yang penampilannya meragukan memberitahu kepadanya bahwa ia ditahan. Opsir tidak bisa menjelaskan apa kejahatan kriminal yang disangkakan kepadanya. Meski ditahan, Joseph K tetap bisa bekerja dan hidup normal sehari-harinya. Sampai suatu hari ia diundang untuk menghadiri persidangan. Tempat persidangan adalah sebuah loteng di apartemen kumuh. Pada proses persidangan tersebut, Joseph K tidak mendapatkan penjelasan apa kesalahannya dan bagaimana proses persidangan selanjutnya.

Joseph K mulai memikirkan perkaranya. Mula-mula ia begitu yakin bahwa proses pengadilan tersebut adalah sebuah kesalahan semata. Bahkan ia menyangkanya sebagai sebuah lelucon belaka. Namun lama-kelamaan ia mulai merasa bahwa permasalahan ini sungguh membelitnya. Pekerjaannya sebagai seorang bankir mulai terganggu. Ia tidak bisa berkonsentrasi mengerjakan pekerjaannya karena memikirkan kasusnya. Terlebih saat pamannya datang kepadanya dan menyatakan bahwa nama keluarga sedang dipertaruhkan karena Joseph K terlibat dalam permasalahan kriminal. Dengan bantuan pamannya, Joseph K menemui seorang pengacara.

Dalam sistem pengadilan seperti ini, bahkan pengacara pun tidak dibutuhkan di pengadilan untuk mencari keadilan. Sebab proses pengadilan dirahasiakan tidak hanya dari masyarakat umum, tetapi juga kepada terdakwa (hal. 126). Justru pengacara diperlukan untuk melakukan lobi-lobi supaya proses pengadilan bisa dihentikan sementara. Keberhasilan pengacara adalah tergantung dari hubungannya dengan para hakim di pengadilan. Namun, masalahnya, pengacara juga terlibat dalam sistem yang tidak jelas supaya bisa ikut mengambil keuntungan. Melalui kasus pengusaha bernama Block, Kafka menunjukkan bahwa pengacara ikut main dalam proses pengadilan. Kasus pengusaha bernama Block yang sudah berjalan selama 5 tahun tetaplah tidak jelas titik akhirnya.

Bukan hanya para pelaku formal dalam pengadilan, seperti hakim, pengacara dan pegawai pengadilan yang mengambil untung dalam proses peradilan. Namun siapapun bisa ikut mencari manfaat. Bahkan mereka-mereka yang tak ada hubungannya sama sekali dengan proses pengadilan bisa ikut mencari manfaat. Dalam novel ini Kafka memberi contoh seorang pelukis yang bisa menjadi perantara kasus. Selain ia kenal dengan beberapa hakim, ia menyatakan bahwa ruang atas apartemennya adalah ruang pengadilan (hal. 158). Kafka juga mencontohkan pemuka agama ikut terlibat dalam pembahasan kasus (hal. 231). Melalui sebuah pertemuan yang tidak disengaja (benarkah tidak disengaja?), Joseph K bertemu dengan pendeta di sebuah katedral. Mereka berdua mendiskusikan permasalahan hukum yang dihadapi oleh Joseph K.

Bahkan begitu tidak jelasnya benar-salah dalam proses peradilan, takhayul menjadi salah satu solusi untuk melihat hasil akhir sebuah kasus (hal. 190). Alih-alih melalui proses mencari kebenaran, akhir dari sebuah kasus bisa diketahui dengan terawang takhayul. Hasil akhir sebuah kasus bisa dilihat dari bentuk wajah, bentuk bibir dan sebagainya dari si terdakwa.

Dan...ketika si terdakwa tetap bersikukuh tidak bersalah, dan si terdakwa menolak menggunakan pengacara, menolak menggunakan jasa orang-orang biasa yang “kenal” dengan para hakim, maka cara satu-satunya adalah melenyapkan si terdakwa. Joseph K berakhir hidupnya di tangan dua orang yang mendatangi saat ulang tahunnya yang ke-31. “Seperti seekor anjing!,” seru Joseph K di akhir hidupnya (hal. 251).

Apakah pengadilan yang tanpa sistem seperti yang ditulis oleh Franz Kafka memang ada? Marilah kita merenung dan melihat di sekitar kita. Dari sana kita bisa membuat kesimpulan, apakah pengadilan yang tanpa sistem memang ada dan sedang kita alami.

 

 

 

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler