x

Iklan

Manik Sukoco

Suka membaca. Sesekali menulis.
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Membebaskan Diri dari Fanatisme

Fanatisme terhadap agama, tokoh, atau partai politik tertentu, sangat membahayakan persatuan dan kesatuan nasional, serta mencederai nilai-nilai demokrasi.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Beberapa tahun yang lalu ketika sedang menimba ilmu di kota Malang, saya harus naik angkot untuk mengembalikan buku ke rumah teman saya yang letaknya tidak jauh dari Stadion. Belum setengah perjalanan, angkot yang saya tumpangi dihadang oleh suporter sepakbola Arema. Mereka berjumlah sekitar dua puluhan orang. Suporter itu memaksa ikut naik ke dalam angkot yang saya tumpangi, padahal di dalam angkot sudah terisi 5 orang penumpang. Alhasil, lima orang suporter yang tidak kebagian kursi, rela duduk bagian atas angkot, mempertaruhkan keselamatan jiwa dan raga mereka sendiri untuk membela tim kesayangan. 

Waktu saya tanyakan, "Mengapa tidak menunggu angkot yang ada di belakangnya saja, Mas?" 

Jawaban mereka, “Kami nggak mau terlambat separuh pertandingan, Mbak. Kami ini pendukung yang fanatik!”

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kata fanatik, sering ditambahkan di belakang kata pendukung, penggemar, fans, atau suporter; baik itu suporter pertandingan sepak bola, bulutangkis, voli, artis, penyanyi, atau grup musik tertentu. Perbedaan antara "suporter" dengan "suporter fanatik", bisa dilihat dari pengalaman saya pada saat naik angkot. Suporter akan menunggu 20 menit untuk naik angkot lain, jika angkot yang menuju stadion telah penuh. Suporter ini masih bisa mempertimbangkan dampak dan resiko apa yang mungkin terjadi, jika ia memaksa naik angkot yang sudah penuh. Sementara suporter fanatik beda lagi. Mereka berani pasang badan untuk mendukung tim jagoannya, tak peduli dengan resiko terjatuh dari atas kendaraan. Suporter fanatik, tidak lagi bisa mempertimbangkan konsekuensi dan hubungan sebab-akibat dari tindakan yang ia lakukan.

Walau sering digunakan dalam dunia olahraga maupun hiburan, namun fanatisme sebenarnya lahir dari arena tarung teologi dan politik yang menyertai gerakan Reformasi Gereja Kristen. Pada tahun 1525, Martin Luther, sang pelopor Protestanisme, menghadapi perlawanan kelompok petani yang dipimpin Thomas Müntzer. Luther kemudian menggunakan kata Schwärmer (kaum fanatik) untuk menamai kelompok petani yang melawannya. Pilihan kata yang tepat bagi seorang pelopor reformasi gereja, bahwa siapapun yang melawannya berarti anti-reformasi dan termasuk golongan konservatif yang fanatik.

Fanatisme juga sering digunakan dalam industri media untuk menggambarkan pandangan keagamaan para pelaku terorisme, yang mana sebagian besar pelaku tindak pidana tersebut kebetulan merupakan pemeluk agama Islam. Akibat pemberitaan-pemberitaan tersebut, kemudian lahir lema-lema baru seperti ekstremis Islam, atau Islam fanatik, yang terafiliasi erat dengan berbagai tindak kekerasan bermotifkan agama—yang sebetulnya lahir dari kesalahan penafsiran.

Bob de Graaff dari Utrecht University, dalam bukunya History of Fanaticism: From Enlightenment to Jihad menyatakan, para pemeluk agama setidaknya terbagi empat kategori: determinis yang pasrah, reformis yang optimis, kolonis utopian nan penyendiri, dan kaum fanatik. Kategori yang terakhir, dalam pandangan Graaf, merupakan kelompok yang memaksakan kekuasaan Tuhan di bumi atau memotong sejarah melalui jalan pintas, dan seringkali menggunakan kekerasan. Watak utama kelompok fanatik ini adalah absolutisme, kemutlakan kebenaran, baik dalam hal nilai maupun metode untuk mencapainya. Adapun Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendefinisikan fanatisme sebagai keyakinan (kepercayaan) yang terlalu kuat terhadap suatu ajaran (tokoh, politik, agama, dsb).

Dalam kehidupan politik bangsa kita sepanjang tiga tahun terakhir, fanatisme politik bahkan sampai di tahap yang tidak sehat. Karena perbedaan pilihan poltik, tak sedikit keluarga yang semula harmonis menjadi renggang, atau sahabat yang mulanya berhubungan dekat kini tak lagi bertegur sapa. Mungkin hampir semua di antara kita merasakan, sejak momentum Pemilu 2014, perseteruan antara dua kelompok politik —yang direpresentasikan oleh figur Joko Widodo di satu sisi, dan Prabowo Subianto di sisi lain— tak kunjung berakhir. Pak Jokowi dan Pak Prabowo sudah saling bersalaman, namun banyak di antara pendukung fanatik keduanya yang masih bermusuhan.

Apa bahaya fanatisme politik?

Hal menarik yang bisa diamati sejak saat Pilpres yang lalu yaitu: dengan mengetahui figur yang didukung oleh seseorang, serta-merta seseorang dapat mengetahui pandangan politik dan keagamaan yang dianut olehnya. Seorang pendukung Jokowi dengan mudah dilabeli sebagai simpatisan Jaringan Islam Liberal (JIL), atau Syiah dan Komunis.

Sedangkan pendukung Prabowo dicap sebagai simpatisan Orde Baru dan dianggap keras dalam beragama. Beberapa prasangka yang dikemukakan ini berakhir pada stigmatisasi atau pemberian label atas kelompok atau individu tertentu. Begitu mengerikannya stigma atau label yang dilekatkan pada para pendukung calon presiden tersebut, bahkan menjadikan tindakan tersebut bukan lagi sekadar melabeli, tapi lebih mengarah pada demonisasi.

Demonisasi merupakan salah satu taktik pecah belah (devide et impera) yang berarti melebih-lebihkan keburukan atau kejahatan pihak tertentu sehingga sesuatu jadi tampak buruk luar biasa, jahat sempurna, tidak ada sedikitpun kebaikannya. Dengan taktik ini, emosi korban dipermainkan dan dipengaruhi agar sangat memuja pihak kawan dan sangat membenci pihak musuh.

Beberapa bulan yang lalu, tepatnya Bulan Oktober 2016, saya melihat ada salah seorang jurnalis, yang merupakan mantan pendukung dari pihak Prabowo, dan bermaksud melayangkan kritik mengenai 2 Tahun Pemerintahan Jokowi. Jurnalis ini lalu dikeroyok habis-habisan dan di-bully oleh pendukung fanatik Jokowi. Beberapa orang menyebutnya sebagai haters yang tidak produktif, dituduh belum move on dari Pilpres yang lalu, dan dianggap sinis terhadap segala kebijakan pemerintah hari ini. Adapun narasi kritiknya, sama sekali tidak digubris oleh para pendukung fanatik tersebut.

Fenomena demonisasi seperti di atas, kini mulai kita rasakan kembali karena Pilkada Jakarta akan segera digelar. Masyarakat kembali terbagi menjadi dua kutub besar. Semakin banyak seliweran ayat Al-Qur’an tentang pentingnya Gubernur Muslim untuk memimpin Jakarta, atau sebaliknya, siapa pun yang mengkritik Gubernur petahana adalah pendukung rasisme dan pro-koruptor. Kedua kelompok ini sama-sama melakukan demonisasi: pemilih gubernur petahana dicap pendukung kafir karena memilih non-muslim sebagai pemimpin, dan yang memilih calon gubernur selainnya akan dianggap anti-minoritas. Dua pilihan yang sangat tidak mengenakkan.

Tindakan fanatisme ini sama sekali tidak cocok untuk diterapkan pada masyarakat Indonesia yang multikultur. Pluralisme dan kemajemukan telah mewarnai bangsa ini, bahkan jauh sebelum Republik Indonesia terbentuk. Pada saat tokoh-tokoh bangsa merumuskan Pancasila, mereka memahami betul bahwa pluralisme telah ada, namun mereka memiliki kesadaran untuk bersatu dalam sebuah perbedaan, dan menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Sebagaimana yang dikatakan oleh Eli Susanti (2011), konsep pluralisme sendiri memiliki beberapa perspektif: sosial, budaya, maupun politik. Dalam perspektif sosial, pluralisme menangkal dominasi dan hegemoni kelompok atau aliran keagamaan tertentu. Pluralisme budaya mencegah hilangnya satu aliran budaya/agama karena dilenyapkan oleh aliran keagamaan arus utama yang hegemonis. Adapun pluralisme politik merupakan dasar bagi jaminan kebebasan untuk berkeyakinan dan berekspresi tanpa rasa takut akan ancaman kekerasan, karena adanya lembaga pengelola konflik kepentingan antaraliran keagamaan.

Negara kita adalah negara hukum, dimana konstitusi memberikan jaminan agar setiap warga masyarakat dilindungi, baik kewajiban maupun haknya, termasuk juga hak untuk berpikir, mengemukakan pendapat, memilih kepala daerah, atau partai politik yang sesuai dengan keinginan mereka. Kata "setiap warga negara" menunjukkan penghargaan negeri ini terhadap rakyat Indonesia yang multikultur.

Sebagaimana pendapat Budiman (1999), adanya kemajemukan sistem budaya dan masyarakat telah diakui sebagaimana tercermin dalam semboyan "Bhinneka Tunggal Ika". Kata Bhineka Tunggal Ika diadopsi sebagai salah satu upaya untuk memayungi keanekaragaman yang ada, serta strategi untuk mempersatukan berbagai kelompok masyarakat/etnik dalam suatu ikatan yang berorientasi masa depan. Paham “berbeda-beda namun tetap satu jua” dalam kenyataannya hanya indah untuk didengar dan diucapkan, namun amat sulit untuk diwujudkan, sebab secara konseptual paham tersebut sudah membawa suatu kontradiksi. Idealnya, ketunggal-ikaan tidak boleh mematikan kebhinekaan.

Penjajahan terjadi, ketika mayoritas atau sebagian warga, berubah menjadi pendukung fanatik penguasa, lalu menindas pihak yang menjadi minoritas. Penjajahan terjadi jika tidak ada ruang untuk sebuah perbedaan pandangan. Penjajahan terjadi, ketika warga yang fanatik membela penguasa secara membabi-buta, tanpa menelaah kembali, norma apa yang mungkin dilanggar. Buah dari sikap fanatik adalah intoleransi, yang bermuara pada kekerasan pada pihak yang memiliki pandangan politik berbeda.

Fanatisme terhadap agama, tokoh, atau partai politik tertentu, sangat membahayakan persatuan dan kesatuan nasional. Fanatisme membuat warga terpecah-belah, baik secara kesukuan, kedaerahan, atau keagamaan. Fanatisme membuat warga tidak bisa menerima kritik, karena bagi mereka tokoh/pandangan politiknya yang paling benar. Pada akhirnya, fanatisme mencederai nilai-nilai demokrasi.

Fanatisme bukan hanya mengancam persatuan dan kesatuan nasional, namun juga mencederai nilai-nilai demokrasi (Sumber: Reuters).

Lalu bagaimana cara membebaskan diri dari fanatisme?

Untuk menghindari fanatisme politik, maka kita harus memiliki kemerdekaan berpikir. Kemerdekaan berpikir adalah kemampuan untuk mempertimbangkan segala sesuatu secara jernih dan mandiri. 

Orang yang bebas dari tekanan politik kekuasaan, akan mampu menggunakan logikanya untuk mempertimbangkan fakta dan realita, serta menarik kesimpulan yang masuk akal. 

Kemandirian berpikir merupakan pondasi awal dari toleransi. Seseorang dengan pemikiran yang bebas dan independen, bisa melihat kebaikan dari sisi yang berbeda-beda. 

Hanya dengan kemerdekaan berpikir, kita bisa melihat berbagai hal dengan lebih jernih. Hanya dengan kemerdekaan berpikir, kita bisa hidup tanpa prasangka buruk. Dan hanya dengan kemerdekaan berpikir, semboyan Bhinneka Tunggal Ika dapat terwujud.

Ikuti tulisan menarik Manik Sukoco lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler