x

Iklan

FX Wikan Indrarto

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Membela Rubella ~ FX Wikan Indrarto

Virus rubella ditularkan melalui udara ketika orang yang terinfeksi bersin atau batuk.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Dr. FX. Wikan Indrarto, Sp.A

Penyakit rubella adalah infeksi virus menular yang umumnya ringan, paling sering terjadi pada anak dan dewasa muda, tetapi memiliki konsekuensi serius pada wanita hamil. Infeksi rubella pada ibu hamil dapat menyebabkan kematian janin atau cacat bawaan, yang dikenal sebagai ‘Congenital Rubella Syndrome’ (CRS). Di seluruh dunia, lebih dari 100.000 bayi lahir dengan CRS setiap tahun. Tidak ada pengobatan khusus untuk rubella namun penyakit ini dapat dicegah dengan imunisasi. Apa yang perlu dicermati?

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Virus rubella ditularkan melalui udara ketika orang yang terinfeksi bersin atau batuk. Pada anak penyakit ini biasanya ringan, dengan gejala ruam kulit, demam (< 39° C), mual dan mata merah atau konjungtivitis ringan. Ruam kulit terjadi pada 50-80% kasus, biasanya dimulai pada wajah dan leher sebelum melebar ke bawah tubuh, dan berlangsung 1-3 hari. Pembesaran kelenjar getah bening di belakang telinga dan di leher adalah gambaran klinis yang paling khas. Orang dewasa yang terinfeksi, terutama wanita, dapat berkembang menjadi arthritis atau nyeri sendi yang biasanya berlangsung 3-10 hari. Setelah seseorang terinfeksi, virus menyebar ke seluruh tubuh dalam waktu sekitar 5-7 hari. Gejala biasanya muncul 2-3 minggu setelah terpapar virus dan periode paling menular biasanya 1-5 hari setelah munculnya ruam kulit. Ketika seorang wanita terinfeksi virus rubella pada awal kehamilan, akan memiliki risiko 90% menularkan virus ke janinnya. Hal ini dapat menyebabkan cacat lahir, keguguran, lahir mati, atau kelainan bawaan berat yang dikenal sebagai CRS.

 

Bayi dan anak dengan CRS dapat menderita tuli, katarak dan bocor jantung, kadang juga diabetes mellitus dan disfungsi tiroid. Anak tersebut banyak yang membutuhkan terapi, operasi dan perawatan mahal lainnya. Risiko tertinggi CRS terjadi di negara di mana wanita usia subur tidak memiliki kekebalan terhadap penyakit rubella, baik melalui vaksinasi atau terinfeksi rubella. Sebelum ada vaksin, sampai 4 bayi di setiap 1.000 kelahiran hidup dulu dilahirkan dengan CRS. Vaksinasi rubella skala besar selama dekade terakhir telah mampu menghilangkan rubella dan CRS di banyak negara. Pada bulan April 2015, Amerika Utara menjadi wilayah yang pertama di dunia, yang akan dinyatakan bebas penularan endemik rubella. Kejadian CRS yang tertinggi di kawasan Afrika dan Asia Tenggara, termasuk Indonesia, di mana cakupan vaksin rubella terendah.

 

Vaksin rubella adalah strain virus hidup yang dilemahkan, yang telah digunakan dalam vaksinasi selama lebih dari 40 tahun. Sebuah dosis tunggal memberikan lebih dari 95% kekebalan yang tahan lama, yang mirip dengan kekebalan yang disebabkan oleh infeksi virus rubella alami. Vaksin rubela tersedia dalam formula monovalen, yaitu vaksin untuk satu patogen rubella saja, atau lebih sering dalam kombinasi dengan vaksin lain seperti campak (MR), campak dan gondong (MMR), atau campak, gondong dan varicella (MMRV). Efek samping setelah vaksinasi umumnya ringan, misalnya rasa sakit dan kemerahan di tempat suntikan, demam ringan, ruam kulit dan nyeri otot. Imunisasi massal di Wilayah Amerika Utara yang melibatkan lebih dari 250 juta remaja dan orang dewasa, tidak menemukan efek samping serius yang berhubungan dengan vaksin.

 

WHO merekomendasikan bahwa semua negara yang belum memperkenalkan vaksin rubella, harus mempertimbangkan melakukannya dalam program imunisasi yang telah ada, misalnya campak. Pada bulan April 2012,  ‘the Measles & Rubella Initiative’ meluncurkan rencana yang disebut ‘a new Global Measles and Rubella Strategic Plan’ yang mencakup periode 2012-2020. Rencana tersebut mencakup tujuan global yang baru pada akhir 2015 harus mampu mengurangi kematian balita global akibat campak dan rubella, setidaknya 95% dibandingkan dengan tingkat tahun 2000. Berdasarkan 'Midterm Review of the Global Vaccine Action Plan 2016', masih tersisa 45 negara yang belum memperkenalkan vaksin rubella dan dua wilayah, yaitu Afrika dan Timur Tengah yang belum menetapkan eliminasi rubella sebagai target. S'trategic Advisory Group of Experts on Immunization' (SAGE) merekomendasikan fokus pada peningkatan sistem imunisasi nasional setiap negara, untuk mengendalikan rubella. Satu wilayah, yaitu Amerika Utara berhasil mengeliminasi transmisi endemik rubella dan CRS terakhir telah diverifikasi pada tahun 2015.

 

Imunisasi MMR sempat mendapat penolakan dari banyak pihak, terkait sebuah skandal penelitian yang besar. Pada tahun 1998, sebuah makalah karya Dr. Andrew Wakefield, seorang dokter bedah, dimuat di jurnal bergengsi Lancet, tentang 12 kasus anak autis setelah divaksinasi (MMR) di Inggris. Makalah tersebut ditulis oleh Wakefield, Murch, dan Anthony dengan judul 'Ileum hiperplasia limfoid nodular, kolitis non-spesifik, dan gangguan perkembangan regresif pada anak-anak' (Lancet, 1998, 351, halaman 637-41). Banyak media kemudian menampilkan informasi ini kepada publik awam dan membuat heboh. Dalam serangkaian laporan antara tahun 2004 dan 2010, jurnalis Brian Deer menyelidiki dan mengungkapkan bahwa Dr. Wakefield memiliki beberapa konflik kepentingan, telah memanipulasi data, dan bertanggung jawab untuk apa yang kemudian oleh the 'British Medical Journal' (BMJ)  disebut "an elaborate fraud" atau penipuan yang rumit.

 

Penyelidikan Brian Deer ini terpanjang yang pernah didanai oleh 'General Medical Council UK' (GMC). Pada bulan Januari 2010, GMC menilai Dr. Wakefield tidak jujur, etis dan berperasaan, dan pada tanggal 24 Mei 2010 nama Dr. Wakefield telah dihapus dari daftar dokter di Inggris. Menanggapi temuan Deer, The Lancet kemudian menarik sebagian laporan penelitian Dr. Wakefield pada bulan Februari 2004, dan menarik sepenuhnya pada bulan Februari 2010. Pada tahun 2011, Deer menerbitkan temuannya dalam BMJ dengan dukungan oleh editor. Pada tahun 2004, redaksi The Lancet menerbitkan surat untuk menanggapi tuduhan terhadap makalah yang dimuatnya, yang menyatakan tidak ada hubungan antara imunisasi MMR dan kejadian autisme (no link existed between MMR and autism). Pada tahun 2010, 'General Medical Council' menerbitkan sebuah laporan yang menentang tulisan Dr. Wakefield dan menunjukkan bahwa catatan medis anak-anak di rumah sakit tidak mengandung bukti yang cukup meyakinkan, catatan medis di rumah sakit berbeda dengan makalah yang diterbitkan, dan akhirnya Lancet mencabut isi makalah Dr. Wakefield yang diterbitkan tahun 1998.

 

Beratnya kelainan pada ‘Congenital Rubella Syndrome’ (CRS), seharusnya meningkatkan cakupan imunisasi MMR untuk melawan rubella, apalagi kaitan MMR dengan autis tidak terbukti. Sudahkah kita bertindak bijak?

 

Sekian

Yogyakarta, 27 Maret 2017

 

Dokter spesialis anak di RS Panti Rapih Yogyakarta, anggota Tim Kelayakan Etik Penelitian FK UKDW

Ikuti tulisan menarik FX Wikan Indrarto lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu