x

Iklan

Manik Sukoco

Suka membaca. Sesekali menulis.
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Diskresi, Off-Budget, dan Anggaran Sektor Publik

Mengkaji Diskresi, Off-Budget, dan Pengelolaan Anggaran Sektor Publik dalam Upaya Mencapai Good Governance

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Belakangan santer terdengar istilah diskresi, off-budget, dan anggaran sektor publik. Masyarakat awam barangkali tidak memahami kata-kata tersebut, bahkan mungkin mereka tidak pernah mendengar istilah tersebut sebelumnya.

Untuk itu, saya ingin berbagi pengetahuan tentang diskresi, off-budget, anggaran sektor publik, dan potensi korupsi. Ini penting karena masyarakat perlu memahami prinsip-prinsip pendanaan dalam pembangunan supaya bisa ikut mengawasi jalannya pemerintahan.

Apa itu diskresi?

Diskresi dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah discrection atau discrection power  adalah “kebebasan bertindak” atau keputusan yang diambil atas dasar penilaian sendiri. Menurut kamus hukum, diskresi berarti kebebasan mengambil keputusan dalam setiap situasi yang dihadapi menurut pendapatnya sendiri. Dalam Black Law Dictionary, istilah discrection berarti kekuasaan pejabat publik untuk bertindak dalam situasi yang tepat menurut keputusan dan hati nurani sendiri dalam menjalankan kewajiban hukum.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Diskresi dalam pendekatan ini diartikan sebagai kewenangan dari seorang hakim, pejabat publik, atau pihak swasta (yang bertindak berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh suatu perjanjian) untuk membuat keputusan dalam berbagai hal berdasarkan pendapatnya sendiri dengan mengacu kepada aturan hukum normatif.

Konsep diskresi dalam pendekatan discretionary power merupakan kewenangan yang dimiliki baik oleh hakim, pejabat publik, dan pihak swasta. Dalam hal ini, diskresi berada dalam ranah hukum publik maupun hukum perdata.

Istilah diskresi dapat kita temukan dalam UU No. 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Berdasarkan Pasal 1 angka 9 UU No. 30 tahun 2014, diskresi adalah keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan.

Diskresi sering disamakan dengan kebijakan yang berarti kebebasan yang sebebas-bebasnya bagi pemerintah untuk bertindak. Pada Era Orde Lama dan Orde Baru, diskresi yang disamakan dengan kebijakan itu sering berpayung pada norma yang tidak jelas batasan dan syarat-syaratnya. Norma-norma itu antara lain, kepentingan umum, ketertiban umum, dan lain-lain. Pemerintah sering berlindung pada kondisi abstrak untuk menjustifikasi keabsahan tindakan pemerintahan yang nyatanya tidak didasarkan pada kepentingan masyarakat.

Diskresi sebagai wewenang bebas, tidak berarti sebebas-bebasnya. Setiap kewenangan dalam negara hukum tidak dikenal adanya wewenang yang sebebas-bebasnya. Wewenang (termasuk wewenang terikat dan wewenang bebas) selalu memiliki batasan yang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan. Diskresi sebagai wewenang bebas pun tidak dapat dilakukan tanpa adanya kewenangan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan. Selain itu, asas-asas umum pemerintahan yang baik (AAUPB) menjadi norma tidak tertulis sekaligus sebagai norma perilaku bagi aparatur dalam melakukan tindakan pemerintahan.

Diskresi sebagai wewenang bebas (vrij bevoegdheid) memiliki kriteria dengan parameter peraturan perundang-undangan dan asas-asas umum pemerintahan yang baik (AAUPB). Walaupun secara wetmatigheid, peraturan perundang-undangan memberikan wewenang bebas bagi aparatur pemerintahan, namun kriteria hukum (jurisdiche criteria) untuk menilai segi rechtmatigheid wewenang bebas. Kriteria hukum yang digunakan adalah asas-asas umum pemerintahan yang baik, yang dikenal di Belanda dengan sebutan “algemene beginselen behoorlijk bestuur”.

Apa yang dimaksud dengan off-budget?

Off-budget atau dana non-budgeter adalah dana yang ada di luar anggaran, tidak tercatat dalam APBD atau APBN. Sampai saat ini, dana off-budget masih dianggap sebagai illegal budget karena tidak ada peraturan yang mengaturnya.

Istilah dana off-budget atau non-budgeter memang bukan istilah hukum. Istilah ini mulai banyak disebut sejak era reformasi tahun 2007 karena keterkaitannya dengan berbagai kasus korupsi. Dana off-budget atau non-budgeter adalah dana-dana yang sengaja dikumpulkan oleh instansi atau unit instansi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan mendesak atau kebutuhan lainnya di luar dana legal yang dialokasikan APBN. BPK menyebut bahwa dana non-budgeter ini jumlahnya bisa mencapai 4-10 triliun rupiah di instansi-instansi pemerintah di seluruh Indonesia.

Bagaimana prinsip-prinsip anggaran sektor publik?

Untuk menciptakan pengelolaan negara secara bersih dan transparan, maka menurut Mardiasmo, anggaran sektor publik haruslah didasarkan pada beberapa prinsip.

Pertama, prinsip otorisasi anggaran. Anggaran publik haruslah mendapatkan otorisasi (pemberian kuasa) dari legislatif terlebih dahulu sebelum eksekutif dapat membelanjakan anggaran tersebut. Disinilah peranan wakil rakyat dalam menjalankan fungsinya sebagai pengawas atau pengontrol kebijakan eksekutif.

Kedua, prinsip komprehensif. Komprehensif disini bermakna bahwa catatan anggaran haruslah bersifat menyeluruh. Pendekatan yang digunakan dalam penyusunan anggaran juga haruslah dilakukan secara sistematis; mudah diadakannya evaluasi tujuan akhir kinerja pemerintah secara kualitatif; dan membantu fungsi pengawasan yang lebih dinamis. Anggaran publik juga harus menunjukkan semua penerimaan dan pengeluaran pemerintah, secara terinci.

Ketiga, prinsip keutuhan anggaran. Semua pendapatan dan belanja pemerintah harus terhimpun dalam dana umum (general fund). Dana umum nantinya digunakan untuk membiayai keperluan umum, selain untuk membiayai proyek pembangunan dan utang pemerintah.

Keempat, prinsip akurat. Estimasi anggaran publik hendaknya tidak memasukan cadangan yang tersembunyi (hidden reserve) yang dapat dijadikan sebagai kantong-kantong pemborosan dan inefisiensi anggaran serta dapat mengakibatkan munculya underestimate pendapatan dan overestimate pengeluaran.

Kelima,  prinsip periodik. Anggaran publik merupakan suatu proses yang periodik, dan bersifat tahunan maupun multi tahunan.

Keenam, prinsip non discretionary appropriation. Discreationary adalah kebebasan untuk menentukan. Adapun appropriation berarti pemberian. Jadi, prinsip non discretionary appropriation dapat dimaknai bahwa pembuat anggaran tidak serta merta bisa seenaknya bebas menentukan untuk apa pembagian peruntukan dana yang telah dikuasakan kepadanya. Jumlah yang akhirnya nanti disetujui oleh dewan legislatif ini harus benar-benar ditekankan agar termanfaatkan secara ekonomis, efektif, dan efisien.

Ketujuh, prinsip kejelasan. Anggaran publik hendaknya jelas terinci namun sederhana, dapat dipahami masyarakat, dan tidak membingungkan. Tidak diperkenankan adanya pembiayaan pembangunan atau infrastuktur yang tidak jelas mekanismenya.

Kedelapan,  diketahui publik. Anggaran harus diinformasikan kepada masyarakat luas. Berkaitan diberlakukannya UU No. 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik Pasal 2 ayat (1) yang mengatakan bahwa setiap Informasi Publik bersifat terbuka dan dapat diakses oleh setiap Pengguna Informasi Publik. Pasal 2 ayat (2)  mengatakan bahwa Informasi Publik yang dikecualikan bersifat ketat dan terbatas. Keuangan publik dalam hal ini merupakan salah satu informasi publik.

Bagaimana manajemen pengelolaan keuangan negara?

Manajemen pengelolaan keuangan negara telah diatur dalam UU No. 17 tahun 2003. Menurut UU No. 17 tahun 2003, setiap penyelenggara negara wajib mengelola keuangan negara secara:

  • Tertib, proses pengelolaan keuangan negara yang meliputi perencanaan, penguasaan, penggunaan, pengawasan, dan pertanggung-jawaban harus dilakukan secara tertib sesuai prosedur dan mekanisme yang ditetapkan;
  • Taat pada peraturan perundang-undangan;
  • Efisien, pencapaian keluaran yang maksimum dengan masukan tertentu atau penggunaan masukan terendah untuk mencapai keluaran tertentu
  • Ekonomis, merupakan pemerolehan masukan dengan kualitas dan kuantitas tertentu pada tingkat harga terendah;
  • Efektif, pencapaian hasil program dengan target yang telah ditetapkan, yaitu dengan cara membandingkan keluaran dengan hasil;
  • Transparan, prinsip keterbukaan yang memungkinkan masyarakat untuk mengetahui dan mendapatkan akses informasi seluas-luasnya tentang keuangan daerah;
  • Bertanggung jawab, wujud kewajiban untuk mempertanggungjawabkan pengelolaan dan pengendalian sumber daya dan pelaksanaan kebijakan yang dipercayakan dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditetapkan;
  • Keadilan, keseimbangan distribusi kewenangan dan pendanaannya dan/keseimbangan distribusi hak dan kewajiban berdasarkan pertimbangan yang objektif;
  • Kepatutan, tindakan atau suatu sikap yang dilakukan dengan wajar dan proporsional.

Potensi korupsi

Dalam Kamus Hukum korupsi diartikan sebagai penyelewengan atau penggelapan uang negara atau perusahaan sebagai tempat seseorang bekerja untuk keuntungan pribadi atau orang lain. Kamus Lexien Webster (1978) menyebut korupsi dalam pengertian kebejatan; ketidakjujuran; tidak bermoral; penyimpangan dari kesucian. Dalam bahasa hukum kita, korupsi adalah perbuatan secara melawan hukum dengan maksud memperkaya diri sendiri/orang lain (perseorangan atau korporasi) yang dapat merugikan keuangan/perekonomian negara (UU No. 20 Tahun 2001). Tentu tidak bisa diartikan secara mentah, namun juga harus dilihat unsur-unsur yang terkandung didalamnya.

Korupsi tidak akan terlepas dari sebuah seni. Banyak definisi tentang seni. Penulis dalam hal ini lebih menitikberatkan definisi seni sebagai sebuah hasil kreasi atau karya manusia. Kaitannya dengan korupsi adalah bahwa korupsi yang dilakukan manusia secara turun temurun, terus menerus, dengan berbagai metode perlindungan diri, dan dengan berbagai cara adalah juga karya manusia yang mengkreasikannya dalam bentuk perbuatan. Hasil-hasil seni manusia dalam perbuatan korupsi sangat beragam. Mulai dari kegiatan suap sebagai bentuk gratifikasi, kolusi, pengumpulan dana non-budgeter, pemerasan, dan lain sebagainya.  Korupsi di era modern seringkali sulit dilihat karena menggunakan cara-cara yang legal namun terkadang bertentangan dengan asas pemerintahan yang baik.

Praktik Diskresi dan Penggunaan Dana Off-Budget dalam Pemerintahan

Diskresi menurut UU No. 30 tahun 2014 Pasal 1 angka 9 adalah keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan. Dalam pelaksanaannya, diskresi haruslah diwaspadai oleh masyarakat.

Jika wewenang/kekuasaan lalu dipakai untuk mengeluarkan diskresi, tanpa diimbangi dengan akuntabilitas maka berpotensi korupsi atau menyalahgunakan wewenang. Jika wewenang/kekuasaan dipakai untuk mengeluarkan diskresi yang akuntabel, namun lalu diseret ke ranah kampanye politik, maka ini adalah bentuk pencitraan gaya baru.

Tugas utama pemerintah perlu memperhatikan prinsip demokrasi yang mengedepankan keterbukaan dan peran masyarakat. Demikian pula ketika mengeluarkan kebijakan diskresi.

Rasionalitas dan pertimbangan dengan memperhatikan kondisi faktual merupakan suatu tuntutan yang harus dilaksanakan oleh pemerintah dengan senantiasa memperhatikan prinsip good governance dalam penyelenggaraan pemerintahan.

Dalam mengambil kebijakan diskresi, pemerintah dituntut untuk mengedepankan “the right to receive” dan tujuan diskresi dimaksud. Konsekuensi yuridis dengan adanya penggunaan diskresi yang tidak didasarkan pada tujuan, peraturan perundang-undangan dan asas-asas umum pemerintahan yang baik akan berakibat diskresi tersebut akan bernuansa terjadinya tindakan sewenang-wenang dan penyalahgunaan wewenang.

Tindakan sewenang-wenang dapat terjadi apabila pemerintah tidak memiliki cukup rasionalitas sebagai parameter, misalnya: terhadap perlunya kenaikan harga BBM dan pembatasan BBM bersubsidi. Pada sisi lain, tindakan ini dapat berakibat penyalahgunaan wewenang yang didasarkan pada parameter tujuan pemberian wewenang yang disalahgunakan. Namun, jika alasannya rasional, maka hal ini bisa diperbolehkan.

Lalu mengenai dana off-budget atau non-budgeter. UU No. 1 Tahun 2004 tentang perbendaharaan negara secara tegas melarang seluruh pejabat dan aparatur negara mengelola dana non-budgeter. Semua anggaran (pendapatan, pengeluaran, penerimaan, dan pembiayaan) haruslah tercatat dalam APBN atau APBD sehingga bisa dipertanggungjawabkan kepada parlemen pada akhir tahun anggaran.

Budaya "korupsi berjamaah" secara sadar maupun tidak sadar sudah menjadi sebuah praktik rutin di instansi pemerintah. Tujuan penggunaan dana off budget atau non budgeter untuk kepentingan yang baik/legal maupun yang tidak baik/ilegal pada prinsipnya tetap melanggar ketentuan yang ada. Tapi dalam praktiknya memang sangat sulit untuk dihindari.

Perlu diingat bahwa prinsip anggaran publik yaitu: otorisasi legislatif, komprehensif, keutuhan anggaran, akurat, periodik, jelas, diketahui publik, non discretionary appropriation. Pembiayaan pembangunan seharusnya dilakukan melalui anggaran sehingga bisa dijalankan menurut prinsip-prinsip tersebut.

Sebagaimana ditulis oleh Komisi Hukum Nasional, dana off-budget atau non-budgeter adalah dana publik di luar neraca karena tidak tercatat dalam APBN. Ini sangat rentan terhadap penyalahgunaan (abuse). Potensi penyalahgunaan dana non-budgeter disebabkan tidak adanya transparansi dan tidak adanya keharusan untuk dipertanggung jawabkan kepada publik.

Dana taktis atau dana cadangan untuk keperluan yang mendadak (mendesak) dan tidak dapat direncanakan sebelumnya juga rentan disalahgunakan. Apalagi dana fiktif atau dana yang masuk dalam anggaran negara, namun peruntukannya tidak sesuai dengan program yang semestinya dijalankan.

Oleh karena itu, anggaran negara dan/atau anggaran daerah, baik yang berkaitan dengan pendapatan maupun pengeluaran, haruslah ditetapkan, dibahas, dan disetujui oleh lembaga perwakilan rakyat (sebagai representasi rakyat).

Saat ini ramai diperbincangkan tentang dana off-budget atau non-budgeter yang dikelola oleh Pemda DKI. Gubernur DKI mengembangkan model-model pungutan yang cukup fenomenal dan kontroversial yaitu dalam Kontribusi Tambahan untuk penambahan Koefisien Lantai Bangunan (KLB) dan Reklamasi.

Mekanisme yang dilakukan adalah dengan audit dan appraisal untuk menentukan apakah kontribusi tersebut sudah sesuai dengan nilai “kewajiban” kontribusi tambahan yang ditentukan, sebelum diterima sebagai aset daerah.

Pertanyaannya adalah: Apakah proses pengadaan barang atau jasa tersebut tunduk pada aturan pengadaan barang dan jasa pemerintah? Tentu jawabannya adalah tidak. Lalu bagaimana mekanisme pengawasannya? Sudahkah akuntabel? Sudah tepat sasaran kah? Bagaimana jika pengadaan barang atau jasa itu terhenti di tengah jalan? Kemudian siapa yang berhak melakukan audit dan appraisal? Apakah ada jaminan jika kontribusi tambahan itu 100% berbentuk barang dan jasa pemerintah, apabila tidak ada mekanisme pengawasan? Bagaimana jika hanya 80% yang dipakai untuk pengadaan barang, lalu 20% disalurkan entah kemana?

Pembangunan infrastruktur melalui dana off-budget atau non-budgeter bukanlah sebuah prestasi yang bisa dirayakan pencapaiannya. Publik justru harus ketat mengawasi, apakah dalam pelaksanaannya tidak ada penyimpangan.

Penggunaan dana off-budget  ini mengancam secara sistemik terhadap capaian pemberantasan korupsi. Perlu diingat bahwa sistem keuangan negara saat ini merupakan sistem yang dibangun untuk mendorong transparansi, partisipasi dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan negara. Bukanlah sebaliknya.

Ketua KPK sudah menyatakan bahwa kontribusi tambahan harus masuk APBD atau APBN. Harapannya, supaya akan ada mekanisme pengawasan yang efektif dalam penggunaannya.

Jika dibahas secara mendalam, akar permasalahan korupsi sangat panjang dan seperti "lingkaran setan" yang saling berkaitan satu sama lainnya. Demikian juga usaha mencapai good governance. Memberantas korupsi dan menciptakan good governance tidaklah semudah membalik telapak tangan. Tapi setidaknya dalam diri aparatur pemerintah hendaknya ditanamkan niat bersih untuk menghindari atau setidaknya meminimalisasikan praktik korupsi dengan segala macam bentuknya.

Bangsa ini diperhadapkan pada tuntutan kesejahteraan bersama dalam pendekatan “the right to receive”. Oleh karena itu, setiap diskresi pemerintah maupun pengelolaan anggaran publik, haruslah didasarkan pada asas legalitas, asas demokrasi, asas tujuan, dan asas-asas umum pemerintahan yang baik sebagai meta-norm yang melandasi tindakan pemerintahan. Apabila semua penyelenggara pemerintahan di negara ini mampu mendasarkan tindakan atau kekuasaannya pada hal-hal tersebut, kesejahteraan bersama dapat kita raih, dan rakyat tidak disengsarakan atau dirugikan oleh tindakan pemerintah. Semoga saja ke depan akan seperti itu.

Ikuti tulisan menarik Manik Sukoco lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler