x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Bila tidak Buta Huruf, Mengapa Malas Membaca?

Prosentase buta huruf terus menurun, tapi peringkat minat baca kita di urutan ke-60 dari 61 negara.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

“Untuk menghancurkan sebuah budaya, kamu tidak perlu membakar buku. Cukup membiarkan orang-orang berhenti membacanya.”

--Ray Bradbury (Penulis, 1920-2012)

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Prosentase penduduk Indonesia yang masih buta huruf, menurut Badan Pusat Statistik, terus menurun dari tahun ke tahun, baik untuk kategori di bawah 15 tahun, 15-44 tahun, maupun 45 tahun ke atas. Ini kabar menggembirakan, meskipun secara nominal masih terbilang jutaan warga.

Sayangnya, penurunan prosentase penduduk yang buta huruf ini tidak dengan sendirinya berarti meningkatnya minat baca. Bila kita mengutip hasil kajian Central Connecticut State University yang dipublikasi pada Maret 2016, berjudul Most Littered Nation in the World, tampak bahwa Indonesia berada di peringkat ke-60 dari 61 negara dalam hal minat membaca.

Padahal, dari segi infrastruktur, menurut kajian tersebut, Indonesia berada di tengah, peringkat ke-34. Secara sederhana terlihat bahwa minat baca tidak selalu terkait dengan ketersediaan infrastrutur atau infrastruktur yang tersedia tidak dimanfaatkan oleh warga. Misalnya, perpustakaan sepi pengunjung. Mungkin saja, buku yang tersedia di perpustakan tidak cukup lengkap, tapi sepinya perpustakaan boleh jadi karena kita malas datang untuk membaca atau meminjam buku. Agak sukar memastikan penyebabnya, sebab sangat jarang survei dilakukan mengenai hal ini.

Yang jelas, di era digital sekarang, banyak hal lebih menarik perhatian kita ketimbang membaca buku. Media sosial membuat kita sibuk dengan informasi yang tidak selalu penting bagi perbaikan hidup kita pribadi—gosip, rumor, hoax, perisakan (bullying), dan lainnya. Sejak bangun pagi hingga hendak pergi tidur, kita lebih disibukkan untuk bermain gawai, memperbarui status instagram, memberi komentar di WA, atau mengunduh game dan aplikasi.

Membaca buku belum lagi menjadi salah satu prioritas penting kita sehari-hari. Buku apa yang sedang kita baca di pekan ini? Fenomena aliterasi sebenarnya bukan hanya berlangsung di Indonesia. Sejumlah pemikir Barat, seperti Daniel Boorstin, Richard Poirier, dan Neil Postman sudah menyalakan alarm peringatan lebih dari 30 tahun yang silam mengenai tanda-tanda terjadinya mass aliteracy. Kecenderungan untuk tidak membaca semakin terlihat di masyarakat Barat.

Apa yang membedakan fenomena ini dengan era-era sebelumnya ialah di masa lampau mayoritas warga tidak mampu membaca, sedangkan sekarang mayoritas warga mampu membaca. Sebelumnya, mayoritas warga buta huruf, merupakan era mass illiteracy, sedangkan sekarang mayoritas warga melek huruf tapi malas membaca atau mass aliteracy. Pandangan Poirier bahwa warga di masa sekarang secara sadar memilih untuk tidak membaca buku barangkali terlihat berlebihan, tapi mengandung kebenaran.

Sebagian orang bahkan dengan bangga memilih untuk tidak membaca buku—“Ngapain baca buku? Informasi apa saja bisa kita dapat dengan googling, ngapain ngabisin waktu membaca buku?”

Pada akhirnya, rintangan untuk mendongkrak minat baca bukan berada di luar, melainkan ada di dalam diri kita masing-masing—persepsi, cara berpikir, maupun kemalasan. Lantas untuk apa kita belajar membaca selama bertahun-tahun bila setelah melek aksara kita malas membaca buku? (sumber foto: huffingtonpost.com) ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu