x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

The Matrix dan Belajar Filsafat Lewat Film

Banyak cara belajar filsafat bagi awam: lewat novel, otobiografi, maupun film.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Bagi yang tidak pernah belajar filsafat di sekolah formal, ikhtiar yang dilalui untuk memahami filsafat barangkali tidak selalu mudah. Banyak aliran pemikiran, banyak istilah, banyak filosof. Bahasanya juga ndhakik-ndhakik—rumit, ya barangkali memang sepadan dengan kepelikan materi yang mereka bahasa. Lengkap sudah kepeningan awam yang belajar filsafat sendiri alias tanpa guru.

Para filosof menyadari situasi yang dihadapi awam yang berminat untuk belajar filsafat. Oleh sebab itu, sebagian orang yang mengerti filsafat berusaha menulis narasi ataupun buku yang relatif populer dan dapat dicerna oleh sebagian besar awam. Tentu saja, ini budi baik mereka yang layak diapresiasi.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kehadiran karya mereka amat membantu awam seperti saya yang sejak dulu tunak-tunuk (pelan-pelan, sambil terantuk-antuk) membaca buah pikir para filosof, mulai dari yang namanya selalu disebut di kelas-kelas mahasiswa filsafat hingga yang jarang masuk kurikulum. Penulis yang memopulerkan filsafat ini bukan hanya mengajak kita mengerti apa yang dipikirkan oleh filosof tapi juga cara berpikir mereka.

Masing-masing penulis punya cara sendiri dalam menjelaskan isu filsafat kepada awam. Jostein Gaarder, umpamanya, lebih suka mengakrabkan filsafat melalui karya fiksinya. Berbekal pengalamannya mengajar filsafat di tingkat sekolah menengah atas, Gaarder mampu menguraikan isu filsafat dalam cerita. Sebagian karyanya, di antaranya Dunia Sophie, Misteri Soliter, dan Gadis Jeruk, diterjemahkan ke bahasa Indonesia dan punya pembacanya sendiri.

Bila kita berbicara perihal popularisasi filsafat, nama Bryan Magee patut disebut. Meskipun sibuk mengajar di beberapa perguruan tinggi di Inggris, Magee masih sempat menyusun berbagai program filsafat untuk media radio dan televisi. Berkolaborasi dengan sejumlah tim pendukung, ia membuat program seri Something to Say dan Men of Ideas. Magee dianggap sebagai figur yang bersungguh-sungguh menularkan kecintaannya akan filsafat kepada awam.

Bukunya yang sangat menarik dan tetap enak dibaca ulang ialah Confession of a Philosopher: A Journey through Western Philosophy, yang sudah diterbitkan di Indonesia dengan judul Memoar Seorang Filosof. Pendekatan otobiografi Magee mengantarkan kita kepada perkenalannya dengan filsafat dan perjumpaannya dengan beberapa sosok penting seperti Bertrand Russell dan Karl Popper. Perjumpaan ini memengaruhi cara pandang Magee terhadap filsafat.

Mark Rowlands punya pendekata lain yang tidak kalah menarik. Dosen filsafat di Universitas Exeter, Inggris, ini menulis buku The Philosopher at the End of the Universe, yang diterbitkan dalam bahasa Indonesia sebagai Menikmati Filsafat Melalui Film Science Fiction. Dibandingkan Gaarder dan Magee, kita dapat belajar filsafat dengan lebih santai. Ia menulis dengan humor di sana-sini.

Tapi, tentu saja, akan lebih afdol bila sebelum atau sesudah membaca karya Rowlands ini, kita menonton filmnya lebih dulu. Ada beberapa film yang dikupas Rowlands dalam bukunya, mulai dari Frankenstein, The Matrix (Keanu Reeves), Minority Report (Tom Cruise), Hollow Man, Independence Day, Star Wars, Blade Runner, Aliens, hingga film-film yang dibintangi Arnold Schwarzenegger seperti Terminator I dan II serta Total Recall. Tiga film ini dipuji oleh Rowlands sebagai ‘karya filsafat’ Arnold—bayangkan! ('Saya tidak bercanda!' tulis Rowlands).

Bila menonton film-film ini setelah membaca buku Rowlands, setidaknya tafsir Rowlands dapat memandu kita dalam memahami ‘filsafat’ yang dituangkan dalam atau berada di balik film-film ini. Rowlands berusaha menunjukkan mengapa Arnold layak dijuluki 'raksasa filsafat Hollywood', misalnya. 

Lalu tentang The Matrix, Rowlands berkata bahwa film yang disutradarai Wachowski ini ditata di seputar tema filsafat yang dipopulerkan oleh Rene Descartes, filsuf Prancis abad ke-17. Ia dikenal pula sebagai matematikawan dan ilmuwan, tapi kadang-kadang mencari uang tambahan sebagai tentara bayaran. Rowlands meramalkan dengan penuh percaya diri bahwa jika di masa sekarang gaji akademisi tidak mencukupi buat hidup, para filosof--yang juga akademisi--akan kembali nyambi jadi tentara bayaran yang membunuh orang untuk mendapatkan uang.

Masing-masing pendekatan ketiga penulis tadi punya daya tarik berbeda. Untungnya, saya menyukai ketiganya, sebab dengan cara belajar yang beragam saya dapat berkenalan dengan pikiran para filosof tanpa perlu merasa bosan. Asyik, pokoknya. ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler