x

Iklan

Gusrowi AHN

Coach & Capacity Building Specialist
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Ikhlas yang Menakutkan

Ikhlas itu tidak mudah dikuasai dan dipraktekkan, dan terkadang ikhlas juga bisa menakutkan. Cekidot!

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

“Saya maafkan mas. Tapi saya minta mas bertanggungjawab. Lihat! celana saya sobek nih”. Begitulah tuntutan seorang pengendara motor yang terjatuh, karena ban depannya menyangkut pijakan kaki belakang motor saya.  

Ia jatuh bukan saya tabrak dari belakang. Ataupun saya senggol dari samping. Ia jatuh karena ketidakmampuannya mengendalikan keseimbangan motornya. Menyenggol motor saya hingga terjatuh. Memang, kegagalan mengendalikan keseimbangan motornya, disebabkan oleh ulah saya menerobos area sempit antara motornya dan mobil di depannya. Motor saya hanya berkecepatan kurang dari 5 km/jam ketika itu terjadi. Maklum, jalanan macet.  

Saya pun beri’tikad baik  berhenti dan menepi. Mendiskusikan situasinya. Di awal, saya lebih banyak diam, mendengarkan umpatan kekesalan si pengendara motor. Saya buka helm saya, menunjukkan keterbukaan dan kesanggupan saya berkomunikasi. Saya bilang: “Saya minta maaf. Saya tidak punya niat buruk apapun. Saya tidak sengaja. Sekali lagi saya minta maaf.”

Walaupun ia memaafkan saya. Namun, ia tetap menuntut saya bertanggungjawab atas celana sobeknya. Ia tetap pada pendirian bahwa saya bersalah, dan harus bertanggungjawab. Ia pun memaksa saya mengakui kejadian ini sebagai kelalaian dan kesalahan saya. Sekali saya timpali, “saya minta maaf. Atas ketidaksengajaan yang terjadi”.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Karena terus dipojokkan untuk bertanggungjawab, saya balik bertanya: Bagaimana jika saya tidak mau menuruti permintaannya? Ia tidak menjawab. Ia justru semakin intens menghakimi saya sebagai orang yang tidak bertanggungjawab.  

Akhirnya, saya pun merespon kembali dengan menanyakan, Berapa yang harus saya keluarkan untuk ganti rugi? Ia menyebut 400 ribu harga baru celananya. Namun, ia rela dibayar berapapun. Yang penting, saya menunjukkan i’tikad baik bertanggungjawab.

Pada saat itulah, ada pertarungan di dalam pikiran saya. Antara menurutinya memberikan sejumlah uang, atau sebaliknya, tetap keukeuh tidak mau mengganti apapun. Alam bawah sadar saya tetap meyakini, saya tidak bersalah. Wong dia jatuh sendiri karena gagal mengendalikan keseimbangan motornya. Bagi saya, minta maaf dan rasa simpati apa yang dia alami sudah cukup.

Namun, akhirnya saya bilang: “Saya ada uang 100 ribu di dompet. Kalau mau, saya berikan ke anda.” Ia pun mengangguk setuju. Entah apa yang ada di pikiran saya, ketika memberikan uang kepadanya, saya bilang: “Saya tidak ikhlas memberikan uang ini ke anda”. Merespon hal ini, spontan dia langsung menolak uang saya. Kembali ia mengeluarkan nada kekesalan dan umpatannya. Sambil secara sarkastik mendoakan keberkahan uang 100 ribu saya. Ia kemudian pergi meninggalkan saya.

Situasi yang tidak saya duga tentunya. Ia yang sangat yakin saya bersalah, ternyata tidak cukup yakin mau menerima uang yang saya tawarkan, karena saya tidak ikhlas. Apakah itu indikasi bahwa ia sendiri tidak cukup yakin atas apa yang ia lakukan (menuntut ganti rugi) atas ketiaksengajaan perbuatan saya? Entahlah. 

Sambil meneruskan perjalanan, saya berpikir: Apakah yang saya termasuk orang yang tidak punya belas kasihan? Sudah jelas-jelas ia terjatuh dan celananya sobek. Saya tetap tidak ikhlas menuruti permintaannya. Saya pun sempat khawatir, akan terjadi hal-hal yang tidak baik pada diri saya. segera saya meresponnya dengan pikiran positif dan bertindak lebih hati-hati di jalanan.

Saya meyakini, saya harus jujur pada diri sendiri. Bahwa saya memang tidak ikhlas memberikan uang kepada pengendara itu. Saya merasa perlu menyampaikan kepadanya. Ajaib, ia menolak uang saya.

Mungkin, antara ia dan saya berada dalam satu ‘frekwensi’ dalam meyakini kekuatan rasa ‘ikhlas’. Dengan ikhlas, kita bisa lebih jernih memandang masalah, lebih mampu melewati berbagai cobaan hidup, dan bisa menerima keadaan apa adanya. Ikhlas juga sering dikaitkan dengan hal-hal spiritual dan keberkahan hidup. Inilah mengapa, tidak mudah mencapai tataran ikhlas. Manfaat dan dampak yang ditimbulkan sangat luar biasa.  #gusrowi.

 

Ikuti tulisan menarik Gusrowi AHN lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB