x

Pameran mural dalam memperingati Hari Kartini di Gedung TEMPO Media Grup, Jalan Pal Merah Barat, Jakarta, 5 April 2017. TEMPO/Subekti

Iklan

Redaksi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Dinding Kosong, Mural, dan Kartini

Tempo Media Group bekerja sama dengan Bank Indonesia menggelar pameran seni rupa "Para Perempuan Kartini: Gambar, Cetak Digital,Mural, Instalasi".

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Tempo Media Group bekerja sama dengan Bank Indonesia menggelar pameran seni rupa "Para Perempuan Kartini: Gambar, Cetak Digital,Mural, Instalasi" di Gedung Tempo, Jalan Pamerah Barat Nomor 8, Jakarta. Pameran ini dibuka oleh aktris Christine Hakim pada Selasa, 4 April 2017.

Karya sejumlah seniman dipasang di tembok dan tiang ruang redaksi Tempo. Meski demikian, masyarakat dapat menonton pameran ini setiap Sabtu dan Minggu.

Berikut ini adalah pengantar kuratorial pameran oleh Bambang Bujono, kurator pameran ini.

Dinding Kosong, Mural, dan Kartini

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Gambar-gambar itu bukan sekadar penghias dinding, atau pencegah silau. Juga bukan sebuah karya seni rupa entah dari mana, yang dianggap bernilai, lalu dipasang di tembok atau kaca jendela di ruang kerja Tempo Media Group.

Memang, dinding-dinding itu terasa mubazir dibiarkan melompong kosong, hingga Yansen Kamto pendiri Kibar Kreasi Indonesia, perusahaan yang kerjanya menyebarkan virus ide-ide kreatif ke atmosfer Indonesia, nyeletuk: bagus kalau diisi karya seni -- kira-kira begitu.

Lalu celetukan itu ditanggapi serius oleh Tempo; hasilnya: dipilihlah mural untuk mengisi dinding melompong itu.

Kebetulan atau memang dipikirkan masak-masak, pilihan itu berada di rel yang pas.

Mural masa kini didukung perkembangan teknologi dan perkembangan seni rupa: bisa apa saja dan dibuat atau dipasang di mana saja. Di Tempo, dipilihlah gambar cetak digital hingga pemasangan mudah, cepat, dan bersih. Gambar cetak digital juga mudah dilepas dan diganti dengan yang baru.

Mural bukan sekadar gambar untuk dipasang di dinding. Jenis karya seni rupa ini mesti dibuat sesuai dinding -ya ukurannya, ya situasi lingkungannya, ya teknologi pembuatannya. Demikian pula ide gambar, merupakan olahan dari sejumlah gagasan yang datang dari sejumlah subjek yang terlibat, setidaknya dua pihak: pemesannya dan senimannya. Dan keduanya tentunya membayangkan bahwa gambar itu bukan hanya buat mereka dan mereka yang sehari-hari bekerja di ruang sekitar dinding, melainkan siapa saja yang mungkin, sengaja atau tidak, menontonnya.

Maka mural di Tempo bisa dibilang sejalan dengan produk Tempo: berita dengan segala hal yang melengkapinya. Berita yang Anda baca adalah hasil kerja sama beberapa pihak, menyampaikan sesuatu sesuai pilihan Tempo. Sang penulis berita pun membayangkan bahwa tulisannya untuk semua pembaca, bukan hanya untuk pembaca tertentu. Tak ada wartawan atau penulis atau juru foto atau pembuat infografis yang bisa mengklaim bahwa yang ada di halaman Tempo semata hasil kerjanya.

Karena itu diundanglah seniman-seniman yang dianggap bisa bekerja sama dan karya mereka cocok dengan kodrat media massa. Dipilihlah kelompok seniman yang selama ini dikenal sebagai street artist, seniman yang menganggap bahwa seluruh dunia adalah kanvas yang bisa digambari. Dan yang disebut seniman jalanan lahir karena mereka ingin menyampaikan kritik, setidaknya komentar, hal yang dianggap tidak pada tempatnya kala itu langsung ke masyarakat. Dan jalanan adalah prasarana untuk beraktivitas banyak orang. Jadi, memang ada unsur aktualitas, hal yang niscaya ada pada berita, dan unsur khalayak yang luas dalam karya seniman jalanan.

Akan halnya Kartini pada mural Tempo, memang ini sesuai dengan news peg, cantolan berita: April adalah bulan Kartini. Kebetulan, ada pula peluncuran film baru tentang Kartini.

Maka lebih kurang mural Kartini di dinding-dinding kantor Tempo merupakan hasil kerja sama para seniman menggarap ide tentang Kartini yang dilontarkan redaksi Tempo dan kurator pameran. Ide itu bertolak dari surat-surat Kartini dari buku Surat-Surat Kartini, Renungan Tentang dan Untuk Bangsanya (Sulastin Sutrisno) dan Panggil Aku Kartini Saja (Pramoedya Ananta Toer). Surat-surat yang mencerminkan pergulatan pemikiran seorang perempuan muda di masa ketika kebebasan bagi perempuan hanya sebatas dinding rumah, di zaman penjajahan pula.

Pemikiran Kartini demikian luas, dari "keluh-kesah" soal pribadi dan keluarga, ia juga menulis tentang agama ("Agama yang paling indah dan paling suci adalah kasih sayang"), nilai keningratan ("hanya ada keningratan pikiran dan budi", kemiskinan rakyat. Ia juga bergerak sebatas yang bisa dilakukan di masa itu dan dalam lingkungannya: mengangkat kerajinan rakyat dengan cara memamerkannya agar lebih dihargai. Kartini (dan adik-adiknya) pun mencintai kesenian: menulis, membatik, melukis, membuat ukiran. Apresiasi seninya, tinggi. Ia menulis: "Tetapi di mana ada kesenian tanpa puisi? Semua yang baik, yang luhur, yang suci, dalam satu kata segala sesuatu yang indah dalam hidup adalah puisi!"

Semoga kita menemukan puisi pada karya mural ini, juga pada dua karya instalasi yang dihadirkan, juga karena ada ruang kosong yang terasa perlu diisi.

Bambang Bujono

Kurator

 

Artikel terkait: Pameran Kartini: Instalasi di Ruang Redaksi Tempo

Ikuti tulisan menarik Redaksi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terkini

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB