x

Iklan

Munawir

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Ancaman di Belakang Anies Baswedan

Anies-Sandi menyimpan potensi ancaman di belakang konsolidasi politiknya. Seperti apa?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pasangan calon Anies Baswedan-SandiagaUno menyimpan ancaman di balik kekuatan politiknya. Ancaman ini, datang dari irisan-irisan kelompok kepentingan yang menjadikan Anies-Sandi sebagai titik kumpul, sebagai ruang untuk berbagi kepentingan. Meski berusaha mengakomodasi suara-suara dari elemen masyarakat yang tidak setuju dengan Basuki Tjahaja Purnama dan Djarot Syaiful Hidayat (Ahok-Djarot), atau dari kelompok yang selama ini sakit hati dan terancam dengan kebijakan Ahok, Anis Baswedan menyimpan “bara”.

Timbunan bara ini, akan menjadi ancaman jika kelak bertemu dengan kekuatan politik dan rumusan kebijakan. Selama ini, Anies Baswedan menjadikan dirinya sebagai titik pertemuan lintas kelompok: dari Islam garis keras, pendukung ISIS, pendukung Khilafah, mereka yang berseberangan dengan Joko Widodo, kelompok pembenci non-muslim, dan kekuatan yang dirugikan oleh kebijakan taktis Ahok.

Kelompok Islam radikal keras mengkonsolidasi kekuatan politiknya, dengan membangun gelombang massa  melalui demonstrasi yang dilakukan beberpa tahapan menjelang Pilkada. Meski menggunakan isu ‘penistaan agama’ dan kampanye #Bela Islam, namun dari proses panjang itu, publik akhirnya mengetahui betapa agama hanya menjadi simbol dari gerakan politik.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Komodifikasi agama berjalan pada rel gerakan, yang menggunakan sentimen atas isu-isu di wilayah agama, untuk diperas menjadi sentiment politik untuk menghimpun dukungan. Bassam Tibi, dalam riset terbarunya (Islam and Islamism), membedakan gerakan Islam sebagai prinsip dan value, dengan Islam sebagai gerakan politik. Tibi menganggap Islam sebagai gerakan politik, dengan sebutan Islamisme, yang pada akhirnya berusaha membongkar system pemerintahan dengan kepentingan politik.

Inilah yang terjadi di Ibu Kota Jakarta, bagaimana kontestasi isu berkumandang di masjid-masjid, melalui khotbah Jum’at dan majlis-majlis ilmu yang bergeser membahas isu politik. Kampanye politik dengan menggunakan agama sebagai kendaraan, inilah yang menjadikan siklus kehidupan sosial-keagamaan di Ibu Kota menjadi terganggu. Ruang publik riuh rendah dengan perdebatan, yang berpotensi membelah kekuatan, membuat jurang perbedaan semakin lebar.

Perjuangan untuk Kebhinekaan

Sementara, Anies Baswedan menolak untuk memperjuangkan kebhinekaan. Ia menganggap bahwa kebhinekaan sebagai fakta, maka tidak usah diperjuangkan. Tentu saja, pernyataan ini menimbulkan kontradiksi, betapa pada prinsipnya kebhinekaan itu harus dirawat, harus mendapat sentuhan perhatian. Jika hanya mengejar persatuan, maka yang muncul adalah penyeragaman.

Anies Baswedan mengungkap, bahwa kebhinekaan itu tidak usah diperjuangkan. Dalam sambutannya di Hotel Dharmawangsa, Jakarta, pada Senin (3/4/2017), Anies Baswedan menyampaikan orasinya tentang visi politiknya. Namun, apa yang terdengar? Apa yang ia sampaikan dalam momentum itu?

“Jakarta sebagai kota yang harus mempersatukan, tampaknya di Jakarta hari ini we have union in the action unity. Kita memiliki union kebersamaan, tapi kita tidak memiliki persatuan,” jelas Anies.

Selanjutnya, Anies mengungkap tentang fakta-fakta yang tidak perlu diperjuangkan. “Kebhinekaan itu fakta, karena itu tidak usah diperjuangkan. Ada yang mengatakan memperjuangkan kemerdekaan, kemerdekaan itu fakta. Fakta itu diterima, bukan diperjuangkan. Yang harus diperjuangkan bukan kebhinekaan, tapi persatuan di dalam kebhinekaan, itu yang harus diperjuangkan,” jelas Anies, sebagaimana dilansir Detik.Com (03/04/17).

Anies seolah lupa, bahwa apa yang diperjuangkan oleh kakeknya, AR Baswedan yang bekerjasama dengan para pejuang lintas golongan, merupakan perjuangan untuk kebhinekaan dan kemerdekaan. Jika tidak diperjuangkan, kebhinekaan hanya menjadi perbedaan yang menekankan individualitas, menghasilkan titik beda, bukan jembatan solidaritas. Demikian pula, kemerdekaan juga harus diperjuangkan, bahkan hingga kini.

Bagaimana bentuk perjuangan itu? Yakni menjaga agar kebhinekaan tetap menjadi perspektif yang mendasari gerak sosial. Bagaimana agar warga merasa bahwa kebhinekaan bukan ancaman, bukan permusuhan, namun kekayaan budaya yang menjadi pijakan persaudaraan.

Anies-Sandi menyimpan ancaman di belakang konsolidasi politiknya.(*)

Ikuti tulisan menarik Munawir lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler