x

Dalam rangka menyambut Hari Gizi Nasional yang jatuh pada Senin, 25 Januari 2016, Program Studi Kesehatan Masyarakat (Kesmas) Universitas Tadulako (Untad), menggelar konsultasi gizi gratis bagi masyarakat sekitar kampus Untad, Palu, Sulawesi Tengah.

Iklan

Redaksi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Ketimpangan Ekonomi, Bahaya Bagi Kesehatan ~ Sudirman Nasir

Ketimpangan ekonomi yang makin lebar merugikan kesehatan perseorangan dan masyarakat.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

 

Sudirman Nasir

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pengajar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin

Oxfam Indonesia bersama International NGO Forum on Indonesia Development (INFID) baru saja mengeluarkan laporan me-ngenai ketimpangan yang makin menganga di Indonesia. Laporan tersebut mengungkapkan bahwa Indonesia memiliki tingkat kesenjangan terburuk keenam di dunia. Kekayaan empat orang terkaya di Indonesia sama dengan gabungan kekayaan 100 juta orang termiskin.

Melebarnya kesenjangan antara orang kaya dan kelompok masya-rakat miskin adalah ancaman serius bagi kesejahteraan rakyat Indonesia. Jika hal ini diabaikan, upaya keras pemerintah untuk menurunkan kemiskinan akan terhambat dan memicu ketidakstabilan perekonomian masyarakat. Ketimpangan ekonomi saat ini juga terkonfirmasi dari koefisien Gini, koefisien yang menjadi indikator ketimpangan ekonomi. Koefisien Gini kita masih berada pada kisaran 0,39–0,43. Semakin besar koefisien ini (mendekati angka 1), berarti ketimpangan makin besar.

Kita harus memberi penekanan bahwa dampak ketimpangan tidak terbatas pada bidang ekonomi. Ada pula kaitan antara ketimpangan dan kesehatan masyarakat. Makin banyak penelitian menunjukkan bahwa ketimpangan ekonomi yang makin lebar merugikan kesehatan perseorangan dan masyarakat.

Memang harus pula kita akui ada beberapa perbaikan di bidang kesehatan masyarakat kita, seperti angka kematian bayi yang turun (dari 46 menjadi 32 per 1.000 kelahiran hidup), prevalensi gizi buruk turun (dari 10,51 persen menjadi 4,9 persen) dan usia harapan hidup meningkat (dari 64,25 tahun menjadi 70,6 tahun). Namun harus diingat bahwa perbaikan-perbaikan ini terlalu minim untuk mengejar indikator-indikator kesehatan masyarakat negara-ne-gara tetangga, seperti Singapura, Thailand dan Malaysia.

Dalam laporan Does Income Inequality Cause Health and Social Problems? (2011), Karen Rowlingson mengkaji hasil-hasil penelitian yang menelaah hubungan kesenjangan ekonomi dengan kondisi kesehatan. Ia tegas menyimpulkan bahwa, meskipun tidak bersifat kausal, sulit diingkari adanya korelasi di antara keduanya.

Tulisan Wilkinson dan Picket, The Spirit Level: Why More Equal Society Almost Always Do Better (2009) dan Income Inequality and Social Disfunction (2009), menunjukkan indikator-indikator kesehatan dan sosial, seperti usia harapan hidup, angka kematian ibu dan anak, dan angka kesakitan ataupun indikator-indikator kejadian depresi dan gangguan mental, tingkat ketergantungan pada alkohol dan narkotik, kehamilan remaja dan angka kekerasan, hampir selalu lebih baik di negara-negara dan masyarakat yang lebih rendah tingkat kesenjangan ekonominya. Negara itu antara lain adalah Denmark, Swedia, Finlandia, Norwegia, Belanda, Belgia, Jerman, Jepang, dan Kanada.

Di tingkat makro, argumentasi-argumentasi Wilkinson dan Picket itu menjelaskan mengapa dalam indikator-indikator kesehatan masyarakat di atas, Amerika Serikat (negara maju dengan kesenjangan ekonomi yang lebar) selalu berada dalam peringkat yang rendah. Dalam indikator umur harapan hidup, misalnya, AS berada pada peringkat ke-27 di antara negara-negara anggota Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD).

Rendahnya peringkat AS sering mengejutkan banyak pihak, mengingat AS memiliki pendapatan rata-rata 40 persen lebih besar dibanding pendapatan rata-rata di negara-negara anggota OECD lainnya. Anggaran yang dikeluarkan untuk pelayanan kesehatan per kepala di AS juga rata-rata 150 persen lebih tinggi dibanding di negara-negara anggota OECD lainnya.

Sampai hari ini memang masih berlangsung debat mengenai argumentasi-argumentasi Wilkinson dan Picket. Namun, review Rowlingson antara lain menyimpulkan bahwa sebagian besar argumentasi Wilkinson dan Picket sahih. Rowlingson juga mengingatkan kesepakatan banyak peneliti di bidang kesehatan masyarakat bahwa koefisien Gini 0,3 ke atas semakin terbukti memiliki dampak merugikan terhadap kesehatan perseorangan dan kesehatan masyarakat.

Koefisien Gini Indonesia saat ini jelas jauh di atas 0,3 sehingga seharusnya menjadi perhatian serius. Keberlangsungan dan peningkatan pencapaian di bidang kesehatan masyarakat kita terancam jika tidak melakukan langkah-langkah terkoordinasi dan nyata untuk mengurangi kesenjangan ekonomi. Angka kematian ibu dan bayi kita sulit untuk turun jika determinan sosial, seperti kerentanan ekonomi kalangan terpinggirkan, akses mereka yang lemah bahkan terhadap fasilitas-fasilitas dasar dan kesenjangan ekonomi antar-masyarakat yang lebar, tidak diatasi.

Belajar dari pengalaman negara-negara lain, tantangan meningkatkan usia harapan hidup dari 70-an tahun menjadi 75 menjadi semakin berat. Kesenjangan ekonomi adalah faktor yang cukup berperan menghambat peningkatan itu. Apalagi masih ada indikator-indikator kesehatan masyarakat kita yang tidak mengalami kemajuan dan bahkan cenderung memburuk, seperti masih besarnya masyarakat yang belum memiliki akses pada air bersih, sanitasi, dan perumahan yang layak, masih besarnya jumlah balita dan anak-anak pendek (stunting), dan melemahnya program Keluarga Berencana (antara lain sebagai dampak samping desentralisasi).

Ikuti tulisan menarik Redaksi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler