x

Iklan

Gordi Saja

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Kongo: Satu Negara, Dua Pemimpin

Satu negara mestinya hanya memiliki satu pemimpin. Jika ada dua atau lebih, boleh jadi ada persaingan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Satu negara mestinya hanya memiliki satu pemimpin. Jika ada dua atau lebih, boleh jadi ada persaingan. Pemimpin tertinggi adalah dia yang memberi komando untuk semua.

Situasi yang terjadi di Republik Demokratik Kongo hari-hari belakangan ini terjadi karena krisis pemimpin. Sudah lama negeri ini dilanda krisis seperti ini. Pemerintah pun bak tambal sulam untuk memimpin negeri. Jangan heran jika, pemimpin yang lahir hanya berupa hasil kong kalikong antara dua pemimpin yang berseteru.

Ibarat perang, pemimpin di Kongo adalah dia yang dipilih sementara. Jika sudah tiba saatnya, pemimpin itu akan dilengserkan. Hari itu pun tidak bisa diprediksi. Kedua pemimpin yang berseteru pun tidak menjamin kapan batas kepemimpinan. Pokoknya, jika salah satunya merasa kuat, dia akan berperang untuk merebut kursi kepemimpinan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kedua belah pihak saling beroposisi untuk merebut pemimpin. Jika pihak oposisi belum menemukan pemimpin yang pas, tahta kepemimpinan pun akan terus berlanjut oleh pihak yang berkuasa. Itulah sebabnya, seorang pengamat Afrika dari majalah NINGRIZIA di Italia, Raffaello Zordan, mengatakan “Ada kemungkinan besar bahwa pihak oposisi masih kesulitan untuk menemukan nama yang pas sebagai figur pemimpin.” (Radio Vatikan 6/4/2017).

Situasi sulit yang terjadi di Kongo adalah hasil dari kurang jelinya pihak oposisi menemukan figur yang pas. Rakyat Kongo membayar mahal ulah pemimpin oposisi ini. Nyawa mereka yang tak bersalah menjadi taruhan. Padahal, jika kedua belah pihak berrembuk dan menemukan figur yang pas, situasi ini tidak berlanjut.

Situasi mengambang seperti ini justru menimbulkan krisi berkepanjangan. Kabila sebagai pemimpin yang sedang berkuasa akan berjalan di atas angin selagi pihak oposisi belum menemukan figur mereka. Bukan saja ini, Kabila boleh jadi akan terus memaksakan kehendaknya untuk tetap berkuasa mesti konstitusi negara sudah membatasinya. Bagi Kabila, konstitusi ini bisa saja diubah sesuai kemauannya selagi dia masih berkuasa. Maka, situasi ini pun akan membuat rakyat Kongo makin menderita.

Kabila memang sedang melirik jalan ini. Baginya, konstitusi bisa berubah jika ia belum menemukan jalan yang pas dengan pihak oposisi. Raffaello Zordan dalam wawancaranya dengan jurnalis radio vatikan Francesca Sabatinelli mengatakan, saat ini pun Kabila sedang dalam situasi sulit. Pihak legislatif sedang mengusulkan nama yang tidak berhubungan langsung dengan Kabila. Maka, jika ini terjadi, Kabila bukan saja berhadapan dengan pihak oposisi tetapi juga dengan pihak legislatif. Kuasa tertinggi—sayangnya—masih di tangan Kabila. Sehingga, bisa saja dengan kuasanya, dia terus membuat situasi tidak aman sambil pelan-pelan membarui konstitusi negara. Tujuan akhirnya jelas, dia akan mengambil periode ketiga sebagai pemimpin Kongo.

Zordan mengakui, ini adalah situasi sulit untuk Kongo. Negeri dengan 26 provinsi ini mestinya membuat pemilihan umum paling lambat 31 Desember 2016 yang lalu. Pemilihan itu tidak terjadi karena permainan politik antara Kabila dan pihak oposisi. Permainan itu tentu saja membuat rakyat Kongo terus menderita. Seperti dikatakan Zordan, penderitaan ini lahir karena Kabila tidak punya niat untuk mengakhiri periode keduanya ini.

Situasi Kongo yang kaya sumber alam ini pun ada di tangan Kabila. Jika ia masih berniat untuk membangun Kongo, dia mestinya menanggalkan jabatan itu. Toh, konstitusi negara sudah mengaturnya. Jika tidak, dia bukan saja mendustai konstitusi tetapi juga memperpanjang penderitaan rakyat Kongo.

Rakyat Kongo sebenarnya masih punya harapan. Harapan itu ada di tangan pihak oposisi. Jika pihak ini sudah punya nama figur yang pas, merekalah yang saat ini mestinya berkuasa. Maka, Kabila otomatis berhenti. Sayangnya, pihak ini pun belum menemukan figur yang pas.

Harapan itu sebenarnya sudah ada pada periode lalu. Saat itu muncul kembali nama Étienne Tshisekedi (1932-2017). Sayangnya dia meninggal lebih dulu pada 1 Februari yang lalu. Politikus Tshisekedi sudah tersohor di kalangan rakyat Kongo. Dia pernah menjadi Perdana Menteri Kongo selama 3 periode. Sayangnya periodenya pendek sekali. Lihat, periode 1 (29 September-1 November 1991), periode 2 (15 Agustus 1992-18 Maret 1993), periode 3 (2-9 April 1997). Betul-betul pendek. Terpendek bahkan hanya 1 minggu (periode 3), dan terpanjang hanya kurang dari setahun (periode 2).

Durasi periode ini memang tidak bisa ditentukan. Hanya kedua pemimpin yang beroposisi yang bisa menentukan. Itu pun tidak dengan ketepatan, sebab siapa yang kuatlah yang menentukan. Peluang inilah yang menyebabkan politik ini menjadi tidak menentu. Teman saya dari Kongo beberapa hari lalu berkomentar, Kongo adalah negara yang tidak stabil. Hari ini diperintah oleh Kabila, besok bisa diperintah oleh perdana menteri yang lain lagi. Saya kaget mendengarnya. Tetapi ya, kenyataannya seperti itu.

Situasi sulit dibawah kepemimpinan Kabila membuat rakyat Kongo rindu akan figur  Étienne Tshisekedi. Bagi mereka figur ini mestinya mengambil tahka Kabila lagi. Figur ini memang lahir dari golongon bawah. Dia menjadi politikus dari Partai Persatuan Demokrasi dan Kemajuan Sosial (Unione per la Democrazia e il Progresso Sociale-UDPS).

Dia lahir di kota Kananga, di bagian Barat dari kota Kasai (yang beberapa hari lalu menjadi tempat yang berbahaya) pada 14 Desember 1932. Setelah menyelesaikan Studi Hukum pada 1961, dia bergabung dengan partainya pemimpin Kongo saat itu yakni Mobutu. Sepak terjangnya menembus kehidupan rakyat kecil. Dengan tegas, dia menolak program diktator dan perilaku korup para pemimpin saat itu (1979).

Aksi protesnya saat itu membawanya—bersama beberapa koleganya—pada keputusan untuk mendirikan Partai UPDS (1982). Peran Tshisekedi di partai ini pun selalu gemilang. Dia menjabat sebagai pemimpin partai sampai pada hari kematiannya Februari lalu. Tampak bahwa Tshisekedi mencintai partainya ini. Boleh jadi, kecintaan akan partai membuatnya untuk mencintai rakyat Kongo. Memang dia mencintai rakyat Kongo, meski jabatan Perdana Menteri yang ia emban berlangsung pendek dalam 3 periode. Cinta itu kini hanya tinggal kenangan bagi rakyat Kongo.

Andai cinta itu menjadi benar-benar harapan rakyat Kongo saat ini, Kabila tidak akan membuat rakyat Kongo makin menderita. Cinta rakyat Kongo masih bertahan sampai munculnya Tshisekedi yang baru. Semoga pihak oposisi segera menemukan pemimpin yang baru. Mereka sudah lelah dengan Kabila.

PRM, 8/4/2017

Gordi

*Sumber FOTO ansa.it

 

 

Ikuti tulisan menarik Gordi Saja lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler