x

Iklan

firdaus cahyadi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Fenomena di Balik Ulah Para Mantan Aktivis

Tetap fokus menembak sasaran ke jantung kekuasaan dan bukan ke mantan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Para mantan aktivis kembali berulah. Setelah ada mantan aktivis lingkungan hidup tersohor yang justru mendukung reklamasi Teluk Jakarta, kini ada mantan aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) yang justru mendukung penggusuran di Jakarta. 

Sebenarnya bukan kali ini saja mantan aktivis berulah ketika ada kebijakan atau kasus yang melibatkan pihak kekuasaan, baik politik maupun modal, dengan rakyat. Dalam kasus pencemaran lingkungan hidup yang melibatkan korporasi besar, ada mantan aktivis yang justru menjadi pengacaranya, saat berhadapan dengan rakyat yang justru didampingi oleh aktivis juniornya.

Bagaimana kita melihat fenomena apa ini?

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kita dapat melihatnya dari berbagai sudut pandang. Pertama, perang proxy. Sebuah Proxy war atau Perang proksi adalah perang yang terjadi ketika lawan kekuatan menggunakan pihak ketiga sebagai pengganti berkelahi satu sama lain secara langsung.

Agar tekanan publik bersama-sama aktivis tidak langsung ke jantung pusat kekuasaan maka perlu dicari pihak ketiga untuk melawan tekanan tersebut. Dalam kasus reklamasi Teluk Jakarta dan penggusuran di Ibukota, strategi perang proxy dengan menggunakan mantan aktivis ini perlu diambil agar tekanan publik tidak langsung mengarah ke Ahok, sebagai Gubernur DKI. Tekanan publik perlu dibelokan ke pihak ketiga. Terlebih Ahok kini tengah mengahdapi tekanan dalam kasus dugaan penistaan agama. 

Rupanya, sebagian perang proxy itu berhasil. Para mantan aktivis yang membela reklamasi Teluk Jakarta dan penggusuran di Ibukota mendapat tekanan dari para aktivis yang kini tengah membela nelayan dan korban penggusuran. Sementara mereka lupa memberikan tekanan kepada Ahok, pengambil kebijakan dalam kasus reklamasi Teluk Jakarta dan penggusuran di Ibukota.

Kedua, krisis legitimasi. Munculnya para mantan aktivis membela kebijakan kekuasaan, baik modal maupun politik, adalah indikasi bahwa ada krisis legitimasi terhadap kebijakan yang mereka buat. Untuk mengatasi krisis legitimasi atas kebijakan itu, perlu ada mantan aktivis yang berdiri di depan untuk memberikan legitamasi itu. Dalam konteks Jakarta, reklamasi Teluk Jakarta sejatinya tidak memiliki legitimasi dari sisi ekologi. Begitu pula soal penggusuran warga miskin kota. Untuk mengatasi krisis legitimasi itulah diperlukan mantan aktivis lingkungan hidup dan Hak Asasi Manusia (HAM) untuk mengatasi krisis legitimasi itu.

Ketiga, melemahkan perlawanan rakyat. Munculnya para mantan aktivis membela kepentingan kekuasaan, baik modal maupun politik, ketika berhadapan dengan rakyat dan aktivis bertujuan untuk melemahkan perlawanan rakyat. Mereka para mantan aktivis yang kini menjadi pembela kekuasaan itu sudah puluhan tahun berkecimpung di dunia aktivis. Mereka hapal betul cara-cara perlawanan rakyat dan aktivis. Karena hal itu sudah mereka lakukan dalam puluhan tahun. Dengan berbekal pengalaman para mantan aktivis itulah kini digunakan untuk memukul balik perlawanan rakyat.

Lantas, apa yang bisa dilakukan oleh rakyat dan para aktivis melihat para mantan aktivisnya justru menjadi pembela kekuasaan? Inilah tantangannya. Pertama, para aktivis dan rakyat harus menemukan cara baru untuk melawan. Inovasi, istilah kerennya. Dengan inovasi perlawanan itulah, pengetahuan atau pengalaman mantan aktivis yang puluhan tahun berkecimpung dalam dunia gerakan menjadi tidak relevan.

Kedua, menjaga fokus perlawanan. Para aktivis gerakan rakyat harus tetap fokus pada sasaran tembak ke jantung kekuasaan penyebab munculnya kebijakan yang merugikan publik. Dalam kasus Jakarta, fokus sasarannya adalah Ahok. Jangan terpancing untuk memberikan tekanan kapada pihak ketiga yang menjadi pembelanya, dalam hal ini para mantan aktivis itu. Tetap fokus menembak sasaran ke jantung kekuasaan dan bukan ke mantan. Dan, seperti kata Gie, lebih baik diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan.

Ikuti tulisan menarik firdaus cahyadi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler