x

Iklan

Putu Suasta

Politisi Demokrat
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Data dan Fakta Menarik dari Tax Amnesty

Yang paling fenomenal adalah deklarasi harta dalam negeri yang mencapai Rp 3.687 triliun

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pelaksanaan program tax amenesty telah berakhir lebih satu minggu lalu. Pujian dan juga kritik silih berganti. Tapi terlepas dari perdebatan apakah program tersebut tergolong sukses atau tidak, ada sejumlah data dan fakta yang menarik untuk disimak dan mengundang pertanyaan-pertanyaan kritis.

Selama 9 bulan pelaksanaan tax amnesty, sejumlah pencapaian cukup mencengangkan. Berdasarkan data Ditjen Pajak, total harta yang dilaporkan mencapai Rp 4.865,77 triliun. Angka tersebut berada di atas target yang dicanangkan yakni Rp 4.000 triliun.

Harta dalam Negeri

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dari total harta yang dilaporkan, yang paling fenomenal adalah deklarasi harta dalam negeri yang mencapai Rp 3.687 triliun. Pencapaian itu menimbulkan pertanyaan. Mengapa deklarasi harta dalam negeri begitu besar? Bagaimana mungkin aset di dalam negeri sebesar itu tidak diketahui atau tidak terdeteksi oleh otoritas pajak?

Harta yang dideklarasi oleh wajib pajak saat tax amnesty pada dasarnya adalah harta yang belum pernah dilaporkan kepada otoritas pajak. Artinya, sebelum tax amnesty, harta atau aset-aset tersebut bisa dikatakan tersembunyi  atau ilegal.

Berdasarkan data Ditjen Pajak, dari total harta yang dideklarasikan, ada tiga jenis harta yang mendominasi. Rinciannya, harta dalam bentuk kas dan setara kas sebesar Rp 1.284,9 triliun, tanah dan bangunan Rp 766,3 triliun, serta investasi dan surat berharga senilai Rp 731,1 triliun.

Data tersebut menunjukkan ternyata banyak pabrik dan lahan perkebunan di Indonesia yang tidak  diketahui otoritas pajak sehingga selama bertahun-tahun tidak terpungut pajaknya.

Yang juga mengejutkan adalah harta dalam bentuk kas dan setara kas sebesar Rp 1.284,9 triliun. Harta ini merupakan aset yang disimpan di perbankan dalam bentuk tabungan, deposito, dan giro.

Ditjen pajak bisa jadi tidak mengetahui adanya aset-aset tersebut. Sebab, Ditjen Pajak memang tidak memiliki akses langsung ke sistem perbankan.  Lagipula simpanan di perbankan dilindungi oleh aturan kerahasiaan bank sepanjang tidak tersangkut tindak pidana.

 

Fakta menariknya adalah ternyata ada ribuan triliunan rupiah simpanan di perbankan yang tidak pernah dilaporkan ke otoritas pajak sebelum pemberlakuan tax amnesty. Dengan kata lain, dulunya aset-aset  tersebut sengaja disembunyikan, mungkin karena diperoleh dari transaksi ilegal atau semacamnya.

Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), total simpanan di perbankan dalam bentuk tabungan, deposito, dan giro per akhir Januari 2017 mencapai  Rp 4.836,76 triliun. Ini berarti, sebelum penerapan tax amnesty, minimal 26 persen atau seperempat dari seluruh simpanan masyarakat Indonesia di perbankan merupakan harta yang disembunyikan atau ilegal.

Dikatakan minimal karena diketahui masih banyak wajib pajak yang tidak mengikuti tax amnesty atau tidak melaporkan hartanya yang disimpan di bank.

Hal tersebut menunjukkan, selama ini industri perbankan ternyata menjadi surga persembunyian dana-dana ilegal. Jadi surga pajak atau tax haven tidak hanya di British Virgin Island atau Cayman Island atau Singapura, tetapi juga di Indonesia sendiri.

Fakta yang yang terungkap dari pelaksanaan tax amnesty tersebut juga sejalan dengan temuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Selama ini, PPATK rutin menyampaikan laporan hasil analisis (LHA) dari transaksi-transaksi keuangan mencurigakan yang umumnya terjadi di sistem perbankan.

Dalam LHA tersebut, terdapat banyak transaksi keuangan yang tidak pernah dilaporkan atau dibayarkan pajaknya kepada negara. Dana atau transaksi tersebut umumnya tidak jelas asal usulnya dan diduga terkait dengan tindak pidana korupsi, pencucian uang, dan penggelapan pajak.

Pada tahun 2015 saja, PPATK menemukan transaksi senilai Rp 26 triliun di perbankan yang tidak pernah dilaporkan kepada otoritas pajak. PPATK mengestimasi ada ribuan triliun rupiah transaksi atau aset lainnya di perbankan yang belum ditarik pajaknya.

Setelah tax amnesty, simpanan yang ada di perbankan bisa dibilang sudah clear atau tak lagi tersembunyi. Namun, berdasarkan UU Tax Amnesty, dosa yang terhapus hanyalah pelanggaran atau pidana yang terkait perpajakan.

Artinya, jika memang berasal dari praktik kotor, harta-harta yang dideklarasikan tersebut masih bisa dijerat dengan pidana lain macam korupsi atau pencucian uang.

Harta di Luar Negeri

Fakta lain yang terungkap dari pelaksanaan tax amnesty adalah masih banyaknya harta Warga Negara Indonesia (WNI) yang tersembunyi di luar negeri.

Hingga program tax amnesty berakhir, harta WNI di luar negeri yang hanya dideklarasi sebesar Rp 1.032 triliun, sementara yang dideklarasi sekaligus direpatriasi senilai Rp 147 triliun. Jika ditotal, harta di luar negeri yang dilaporkan sebesar Rp 1.179 triliun.

Pencapaian repatriasi sebesar Rp 147 triliun berada jauh di bawah target pemerintah yang sebesar Rp 1.000 triliun.

Tak hanya target repatriasi tidak tercapai, harta di luar negeri yang dideklarasikan pun jauh di bawah potensinya.

Pemerintah pernah mengungkapkan, harta WNI yang disimpan di luar negeri mencapai 250 miliar dollar AS atau sekitar Rp 3.250 triliun (kurs Rp 13.000 per dollar AS). Sebagian besar harta tersebut belum dilaporkan kepada otoritas pajak.

Dengan membandingkan harta WNI yang disimpan di luar negeri dan harta yang dideklarasikan, berarti ada sekitar Rp 2.000 triliun lebih yang belum dilaporkan. Di mana sebagian besar aset yang tidak dilaporkan itu berada?

Pemerintah menyebutkan, dari Rp 3.250 triliun aset WNI di luar negeri, sebanyak 200 miliar dollar AS atau Rp 2.600 triliun ada di Singapura.

Adapun total harta WNI di Singapura yang dilaporkan hanya sekitar Rp 798,6 triliun. Ini berarti masih banyak harta WNI di Singapura yang belum dilaporkan kepada otoritas pajak Indonesia.

Menyikapi adanya wajib pajak yang belum melaporkan hartanya di luar negeri, Ditjen Pajak optimistis bisa melacaknya dan kemudian memberikan sanksi kepada wajib pajak tersebut.

Ditjen Pajak makin optimistis karena mulai 2018 negara-negara di dunia akan menerapkan Automatic Exchange of Information (AEoI). Dengan sistem tersebut, masing-masing negara akan memberikan informasi mengenai harta warga negara asing (WNA) yang ada di negaranya kepada negara asal WNA bersangkutan. Pemberian informasi tersebut dilakukan tanpa perlu diminta oleh negara lain.

Pertanyaannya, apakah masing-masing negara akan begitu saja memberikan informasi kepada negara lain. Bukankah masing-masing negara memiliki kepentingan agar investor asing yang menyimpan dana di negaranya tetap merasa “nyaman” ?

Bukankah negara-negara yang selama ini dikenal sebagai surga pajak seperti Swiss, Hongkong, dan Singapura sebenarnya mengetahui bahwa dana-dana yang ditempatkan di negaranya tidak seluruhnya “bersih”?

Setiap negara tentu akan sekuat tenaga dan dengan segala cara mempertahankan investasi asing yang ada di negaranya, apalagi negara yang sangat tergantung pada dana-dana dari Indonesia.

Ini juga yang menjelaskan mengapa selama penerapan tax amnestyhanya sedikit dana WNI yang kembali ke Indonesia.

Ikuti tulisan menarik Putu Suasta lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu