x

Warga Rembang menggelar aksi mengawal putusan Mahkamah Agung yang membatalkan SK Gubernur Jateng Tahun 2012 tentang izin lingkungan penambangan oleh pabrik semen, di Semarang, 19 Desember 2016. Mereka juga meminta Gubernur Jateng menetapkan wilayah p

Iklan

Yuli Isnadi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Kendeng dan Kemerdekaan Ekonomi

Ada gerakan liberalisme di Pegunungan Kendeng yang ditandai oleh pabrik semen yang terus berusaha mengkomodifikasi tanah dan manusia.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Mbok Patmi, satu dari sembilan Srikandi Kendeng, meninggal dunia pada akhir Maret lalu. Satu hal yang muncul dan menguat di benak adalah bahwa pemerintah harus memberi kebebasan kepada masyarakatnya untuk memilih sistem ekonomi yang dikehendaki. Kematian ini meninggalkan pesan bagaimana kuatnya keyakinan masyarakat Kendeng akan pilihan yang telah dibuat.

Ada gerakan liberalisme di Pegunungan Kendeng yang ditandai oleh pabrik semen yang terus berusaha mengkomodifikasi tanah dan manusia. Kedua hal ini satu paket: ketika tanah direbut, entah dibeli entah disewa, yang berarti menjadi komoditas, maka manusia-manusia tunawisma yang kehilangan pekerjaan akan menciptakan pasar tenaga kerja murah. Ini adalah syarat sempurna untuk liberalisme (pasar). Pegunungan Kendeng adalah bahan bakunya, lahan di sekitar adalah modalnya, sedangkan manusia tanpa pekerjaan adalah tenaga kerjanya, dan semua ini dibayar murah. Keuntungan akan tinggi karena proses produksi sangat efisien.

Namun masyarakat Kendeng sejak dahulu memilih sistem agraris, tempat konsep "pasar" tidak dapat ditemukan di dalamnya. "Lahan", menurut istilah pabrik semen dan pemerintah, sebetulnya hanyalah tanah yang tidak pernah diproduksi manusia sehingga tidak dapat diperjualbelikan. "Tenaga kerja" di mata pabrik semen dan pemerintah sebetulnya adalah manusia, yang juga tidak pernah "diproduksi" sebagai barang dagangan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tanah dan manusia, dengan demikian, tidak bermakna semata ekonomi, uang. Keduanya bermakna banyak, seperti budaya, agama, sosial, politik, hukum. Betul bahwa tanah dan manusia juga memiliki makna ekonomi, tapi itu hanya satu dari sekian makna, sehingga ekonomi (uang) tidak boleh mendominasi makna eksistensi keduanya. Inilah jalan hidup masyarakat Kendeng.

Demokrasi sejati adalah ideal, tapi yang ada sekarang tidaklah demikian. Demokrasi mengasumsikan sebuah kondisi ketika rakyat berkuasa menentukan dan mengontrol regulasi pemerintah secara setara. Namun, celakanya, demokrasi salah dalam mengasumsikan realitas bahwa posisi manusia per se adalah tidak setara. Hak politik ditentukan oleh modal (uang) yang dimiliki.

Untuk mengikuti pemilihan umum, dibutuhkan partai politik dan itu butuh uang. Untuk mengikuti pemilihan umum, dibutuhkan kampanye di media massa, mobilisasi lembaga survei, sembako, itu juga uang. Bahkan untuk menjadi kandidat juga demikian: uang. Artinya, dalam demokrasi, bagaimana keterlibatan seseorang adalah ditentukan oleh bagaimana kekuatan uang yang ia punya. Kaum pemilik modal dapat berpartisipasi secara aktif, tapi tidak dengan masyarakat yang tidak mengenal uang sebagai makna dominan hidupnya. Berbeda dengan kaum beruang, masyarakat Kendeng menjadi tersisih dari pemilihan umum, juga dari sistem pemerintahan dan regulasi. Cara pandang ini memperjelas realitas bahwa memang bukan pada tempatnya masyarakat Kendeng ikut menentukan didirikan atau tidaknya pabrik semen di atas tanah mereka.

Tersisih dari sistem pembuatan regulasi dan kebijakan bukan berarti rakyat kalah. Akan muncul "perlindungan sosial", gerakan perlawanan rakyat dalam melindungi diri dari dampak negatif pengkomodifikasian tanah dan manusia oleh liberalisme melalui demokrasi semu (Polanyi, 2001). Gerakan ini mengambil bentuk seperti demonstrasi, boikot, menggugat regulasi, dan sebagainya. Dulu gerakan ini diasumsikan sebagai sesuatu yang spontan dan mekanis, tapi sekarang diyakini lebih terorganisasi, dinamis, masif, dan berjejaring (Levien, 2007; Block, 2008).

Gerakan inilah yang sedang dilakukan masyarakat Kendeng untuk melindungi dirinya dari industri semen sekaligus memantapkan pilihan atas sistem agraris. Gerakan ini telah bertransformasi menjadi terorganisasi, berkolaborasi dengan gerakan lain, di mana amunisi perjuangannya dipertukarkan secara mudah. Satu hal yang akan muncul: gerakan ini adalah abadi, bahkan dapat membesar dan meluas, terlebih setelah meninggalnya seorang Srikandi Kendeng. Pemerintah harus berhitung ulang bahwa sudah saatnya memperjelas kebijakan untuk Kendeng.

Yuli Isnadi

Mahasiswa PhD pada Institute of Political Economy NCKU, Taiwan

*) Artikel ini terbit di Koran Tempo edisi 10 April 2017

Ikuti tulisan menarik Yuli Isnadi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler