x

Orlando Lajo (54) menerima obat-obatan untuk mengobati dan mencegah tuberkulosis (TB) dari seorang relawan Partners in Health, Gladys Trujillo di Carabayllo di Lima, Peru 14 Juli 2016. Partners in Health bekerja keliling rumah warga untuk memastikan

Iklan

gusti adintya

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Kolaborasi Habisi Tuberkulosis

Hari Tuberkulosis Dunia diperingati pada tanggal 24 Maret 2017 lalu. Walau telah lewat, ancaman penyakit ini tidak bisa begitu saja dilupakan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Menurut laporan organisasi kesehatan dunia (WHO) tahun 2016, Indonesia menjadi runner-up angka kejadian Tuberkulosis (TB) tertinggi di dunia dengan 1,02 juta kasus baru setiap tahunnya. ‘Prestasi’ ini menunjukkan kondisi Indonesia yang sedang darurat TB. Masalah ini memerlukan upaya yang lebih radikal, dan tentunya tidak hanya menjadi tanggung jawab Kementerian Kesehatan. 

Tuberkulosis merupakan salah satu penyakit prioritas untuk dieradikasi. Penyakit yang dapat disembuhkan ini menyebabkan lebih dari tiga ribu kematian di dunia setiap harinya.

Tiga negara dengan jumlah kasus baru terbanyak di dunia menurut data WHO tahun 2016 berturut-turut adalah India (2,8 juta kasus baru setiap tahunnya), Indonesia (1,02 juta), dan Cina (918 ribu). Di antara tiga negara tersebut Indonesia memiliki derajat insidensi tertinggi dengan 395 kasus baru per 100.000 penduduk.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Biaya yang dikeluarkan negara untuk mengobati tuberkulosis pun tidak sedikit. Pengobatan selama enam bulan dengan lini pertama membutuhkan biaya sebesar dua juta rupiah. Jika dikalikan dengan satu juta penderita baru yang membutuhkan obat setiap tahunnya, BPJS perlu menganggarkan minimal 2 triliun rupiah untuk pasien tuberkulosis saja.

Ditambah lagi pada kasus putus obat sebelum tuntas, maka penderita harus mengulang pengobatan dari bulan pertama. Akibat yang lebih parah dari putus obat adalah kuman menjadi resisten (TB MDR) sehingga obat harus diganti dengan lini kedua yang harganya hingga ratusan juta rupiah untuk satu orang penderita. 

Program pengawasan minum obat TB (DOTS) juga telah dilaksanakan di Indonesia sesuai dengan anjuran WHO. DOTS melibatkan masyarakat dan orang terdekat penderita untuk memastikan obat anti tuberkulosis diminum hingga tuntas. Namun, nampaknya DOTS belum cukup untuk menghabisi TB di Indonesia. Pemerintah perlu strategi yang lebih progresif untuk menuntaskan problematika ini.

Lingkungan rumah memiliki peranan yang sangat besar pada proses penularan TB.

Pertama, rumah yang padat penghuninya akan memiliki risiko penularan yang lebih tinggi. Kuman tuberkulosis menular melalui air liur, antara lain dengan menghirup atau menelan tetes ludah dan dahak penderita. Proses penularan ini sangat riskan terjadi pada orang yang tinggal serumah dengan penderita tuberkulosis.

Kedua, rumah yang tidak memiliki ventilasi dan pencahayaan cukup juga melipatgandakan risiko infeksi tuberkulosis. Penelitian menunjukkan bahwa ruangan dan dinding yang lembab merupakan tempat yang kondusif untuk jamur dan kuman TB hidup dan berkembang biak. (Torvinen, et al., 2006)

Indonesia perlu belajar dari Cina, yang berhasil memangkas derajat insidensi TB hingga hampir setengahnya dalam lima belas tahun terakhir. Kemajuan pemberantasan TB di Indonesia pun seakan berjalan di tempat apabila disandingkan dengan negeri tirai bambu. Angka kejadian TB per kapita di Indonesia hanya turun 1/9 dalam kurun waktu yang sama. 

Untuk mengentaskan TB di pemukiman kumuh, pemerintah Cina berani membongkar hutong, kawasan perumahan yang telah diwariskan dari abad ke-15. Pembongkaran ini sekaligus merelokasi penghuninya ke tempat tinggal yang lebih layak.

Pembangunan perumahan memang bukanlah wilayah kerja Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Namun jika kita belajar dari kebijakan pemerintah Cina, Kemenkes dapat bekerjasama dengan kementerian perumahan dan pemerintah daerah. Misalnya, dengan membuat tim khusus untuk memastikan bahwa perumahan penduduk telah memenuhi kriteria rumah sehat dari saat mengajukan ijin pembangunan.

Dengan strategi tersebut, kriteria rumah sehat tidak hanya dikenal sebagai slogan. Masyarakat pun dapat membangunnya langsung dengan arahan prototipe dari pemerintah setempat. 

Pembangunan rumah sakit khusus tuberkulosis, sanatorium, merupakan alternatif lain untuk mencegah penularan dalam rumah penderita. Penelitian menunjukkan risiko infeksi tuberkulosis lebih rendah di kawasan dataran tinggi (Olender, et al., 2003). Diimbangi dengan edukasi yang baik di masyarakat, sanatorium dapat menjadi strategi komplemen menghabisi tuberkulosis di masyarakat.

Selain usaha-usaha di atas, ada juga kebijakan negeri gingseng yang tak kalah menarik. Untuk mengatasi melonjaknya angka kejadian tuberkulosis, Korea Selatan mewajibkan pernyataan bebas TB bagi penduduk negara endemis yang memohon visa lebih dari tiga bulan. Regulasi ini merupakan strategi jitu untuk mencegah fenomena ‘impor penyakit’.

Bagi warga negara Indonesia, predikat negara endemis TB justru akan mempersulit permohonan visa ke luar negeri. Pemohon visa jangka panjang perlu melakukan foto x-ray dan beberapa pemeriksaan penunjang lainnya untuk membuktikan statusnya yang bebas tuberkulosis. Dugaan ‘ekspor penyakit’ ini tentunya menghambat mobilisasi WNI di era globalisasi.

Rapor merah Indonesia merupakan sebuah tanda bahaya agar segera menuntaskan epidemi tuberkulosis. Jika pemerintah tidak tanggap dalam memberikan intervensi komprehensif dalam masalah ini, tidak lama lagi Indonesia akan menjadi ‘juara dunia’ dengan angka kejadian TB terbanyak.

 

Oleh :

1. Gusti Adintya Putri, dr. *

2. Dr. Pudji Lestari, dr., M.Kes.**

*Dokter umum alumni Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, public health enthusiast.

**Staf Departemen Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga

 

Ikuti tulisan menarik gusti adintya lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler