x

Iklan

Adiani Viviana

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Papua dalam Lensa Kamera

Papuans Photo merupakan salah satu komunitas orang muda Papua yang bergerak untuk mengasah bakat fotografi dan menyuarakan Papua melalui foto.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 “.......Lagu nan sendu, dan syair yang menawan// Mengalun di sana menyayat hatiku// Dan nada yang sendu, puisi yang menawan, terjalin bersama oh nyanyian sunyi// Tanah yang permai yang kaya.......terhampar di sana..............”

                                                                                                                                                                          

Hati ini cukup tersentuh saat pertama kali mendengar syair yang dinyanyikan oleh grup musik Mambesak itu. Mendengar lagu itu, fikiran melambung jauh pada keelokan sekaligus ketidakadilan dan koyak-moyak kehidupan yang tak berprikemanusiaan di pulau di ujung timur sana: Papua. Grup musik rakyat Papua itu dengan menakjubkan telah menyuarakan Papua melalui lirik syair-syair yang indah dan menggetarkan.

Pesona keindahan alam yang dimiliki Papua membuat orang-orang menjulukinya sebagai surga kecil yang jatuh ke bumi. Raja Ampat, Kaimana, Lembah Baliem, Pegunungan Jayawijaya, adalah beberapa tempat menawan yang cukup dikenal dunia. Meski masih banyak surga kecil tersembunyi lainnya yang kini dengan kecanggihan teknologi dapat dinikmati melalui dokumentasi-dokumentasi foto di dunia maya.

Adalah komunitas Papuans Photo, sebuah komunitas fotografi yang dibentuk pada 18 Oktober 2014. Komunitas ini punya tujuan utama untuk mengasah bakat fotografi orang-orang muda Papua dan mempromosikan Papua melalui foto.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Seorang pemuda Papua bersuku Mee bernama Whens Tebay, adalah penggagas terbentuknya komunitas itu. Ia tidak memiliki pendidikan khusus fotografi, namun kecintaannya pada fotografi telah mengasah tajam bakat yang ia punyai.

“Saya mulai jatuh cinta pada dunia fotografi pada tahun 2009, waktu masuk kuliah. Dan pertama kali saya pegang kamera baru pada tahun 2013. Itupun kamera HP, lalu tidak lama kemudian saya beli kamera pocket canon shybershoot”.

Pada 2014, Kementrian Kehutanan Provinsi Papua mengadakan lomba foto dengan tema Cagar Alam Cyclops. Cyclops adalah nama sebuah pegunungan yang menaungi Jayapura. Whens terpanggil untuk mengikuti kompetisi itu. Sekitar 20-an orang muda mengikuti lomba tersebut. Whens mengirim karya fotonya berupa potret teluk Youtefa, yang meliputi hutan mangroove, jembatan ringroad, dan kampung Tobati.

Pada 1996, Pemerintah Indonesia menetapkan teluk Youtefa sebagai kawasan konservasi dengan peruntukan lokasi taman wisata alam. Youtefa dengan luas 1.675 hektare adalah teluk kecil yang berada di dalam teluk Yos Sudarso. Konon, kampung Tobati merupakan kampung tertua di teluk Youtefa. Hanya ada tiga kampung di sana: Tobati, Enggros, dan Nafri. Teluk Youtefa menjadi salah satu tempat penting dalam sejarah peradaban Orang Asli Papua. Baik dalam perkembangan sistem budaya, agama, adat, alam, maupun geografis, dan lainnya. Sayangnya, Youtefa kini relatif tak seindah dulu. Kesadaran masyarakat khususnya pengunjung untuk menjaga kebersihan masih rendah. Begitu juga dengan pihak pemerintah, belum ada upaya masif melakukan langkah strategis dan sinergis untuk menjaga keasrian dan kebersihan kawasan konservasi ini. Termasuk merawat budaya dan sejarah yang ada di dalamnya. Situasi itu sudah bermula lama. Pada 2015 JERAT Papua, sebuah jaringan kerja Hak Asasi Manusia di Jayapura menuliskan bahwa sampah berserakan di kawasan ini hingga menimbulkan bau busuk.

Banyak pihak berpotensi mencoreng kecantikan Bumi Cinderawasih. Pada 4 Maret 2017, sebuah kapal pesiar berbendera Bahama menabrak terumbu karang seluas 1.600 meter di perairan Raja Ampat Papua Barat justru di saat air surut. Peristiwa itu menuai beragam kecaman dari banyak pihak, sekaligus tuntutan perketat penjagaan wilayah perairan serta penyelesaian hukum  terhadap insiden itu. Melihat bagaimana keseriusan pemerintah Indonesia dalam menangani masalah-masalah yang terjadi di lintas sektor, barangkali dapat dilihat dengan bagaimana pemerintah menjaga dan merawat hutan dan perairannya. Ibarat rumah, keduanya seperti halaman depan dan kebun belakang rumah. Melalui peraturan yang dituangkan dalam undang-undang kepariwisataan, yaitu UU No 10 Tahun 2009, sebenarnya pemerintah sudah menjabarkan kewajibannya dan kewajiban pihak pengelola pariwisata dalam mengelola tempat pariwisata. Bagaimana mereka harus memahami pengelolaan tempat wisata tersebut tidak hanya sebagai sebuah sumber ekonomi, tetapi sebagai tempat wisata yang berkualitas bahkan dengan memasukkan prinsip-prinsip penghormatan terhadap hak asasi manusia. Itu berlaku untuk semua jenis pariwisata, termasuk perairan laut, dan teluk.

Foto Whens tentang teluk Youtefa, kampung Tobati, dan jembatan ringroad memenangi juara III. Kompetisi dan prestasi itu telah menginspirasi dia bahwa orang-orang muda Papua juga punya kemampuan, bakat, dan ketrampilan yang bagus dalam dunia fotografi. Jika tidak diberdayakan, akan sia-sia.

Whens yang lahir dan besar di Wamena, menyadari betul, Tanah Kehidupannya memiliki kekuatan karakter alam, aura, dan inner beauty. Ia ingin Orang Asli Papua khususnya orang-orang mudanya mengenali bumi Papua, dengan menjelajah dan mendokumentasikan apa yang mereka lihat dan jumpai melalui kamera.

“Orang muda Papua tidak boleh ketinggalan dengan pemuda luar. Harus punya ketrampilan, juga bisa menggunakan teknologi”, kata Whens.

Whens mengutarakan gagasannya membentuk komunitas fotografi pada kawan-kawannya di kampus. Awalnya hanya lima orang mahasiswa yang menjadi kawan berbagi idenya itu, yang kemudian lima-limanya menjadi anggota Papuans Photo. Mereka rapat, berdiskusi bagaimana membentuk dan mengkonsep komunitas ini. Rapat kerap dilakukan di warung-warung tepi jalan sepanjang Abepura-Waena. Kadang juga hanya diskusi melalui jejaring sosial.

Papuans Photo punya kegiatan utama hunting foto bersama. Peserta hunting lintas latar belakang, tidak hanya anggota komunitas saja. Tapi juga masyarakat umum, pegawai negeri, pelajar, dan mahasiswa. Whens turun tangan sendiri dalam kegiatan hunting ini.

“Setelah menyepakati tempat dan waktu, saya mentoring sendiri peserta. Tapi hanya di awal dan di akhir. Tapi saat proses, anggota komunitas juga mentoring peserta hunting itu”

Papuans Photo punya galeri online facebook @papuansphoto. Whens mencatat, kini pengikutinya di dunia maya itu mencapai 21.764 orang, dan tiap hari terus bertambah. Semua orang boleh bergabung dalam komunitas dunia maya ini, tidak hanya Orang Asli Papua saja. Namun, foto yang diunggah dalam komunitas ini diseleksi oleh tim admin, yaitu hanya foto yang berobjek di Tanah Papua.

Komunitas yang kini beranggotakan 25 orang muda (anggota aktif) itu juga masih punya rencana-rencana aktivitas lain selain rutinitas hunting. Tapi masih terkendala dana dan minimnya perlengkapan fotografi. Selama ini ia mengelola komunitasnya dengan biaya swadaya mandiri. Selain kendala dana dan perlengkapan yang minim, buruknya jaringan internet di Papua juga jadi kendala. Khususnya untuk pengelolaan komunitas dunia mayanya.

Jaringan internet di Papua tidak secepat di pulau-pulau lain. Kondisi geografis, manajemen PT Telkom, serta situasi dan gejolak politik disinyalir merupakan faktor-faktor penyebab timbul tenggelamnya jaringan itu. Di Papua rawan terjadi gempa bumi, bergoyang sebentar berpengaruh lama terhadap hilangnya jaringan internet. Pemulihan biasanya sangat lama. Jika presiden datang ke Papua, biasanya juga akan menyisakan hilangnya jaringan internet. Oktober 2016, Presiden Jokowi datang ke Sentani, jaringan internet di Sentani, Abepura, Jayapura dan sekitarnya mulai melambat. Saat itu saya sedang di sana. Disusul kerusakan jaringan fyber bawah laut karena gempa, diikuti bulan Desember tiba. Bulannya rakyat Papua. Praktis pada minggu pertama Januari 2017 jaringan internet baru lancar kembali.

“Maaf, saya tidak bisa buka dokumen yang Mbak kirim. Ini saya sedang numpang buka email di hotel di Jayapura, tapi juga lama sekali. Kalau ada gangguan begini biasanya memang satu bulan lebih baru normal lagi. Kemarin sudah ada pernyataan juga dari Telkom begitu”, kata kawan baik saya, perempuan asli Papua yang saat ini memimpin sebuah organisasi gereja.

Email saya di bulan Desember 2016 untuk seorang kawan saya lainnya, baru dia balas di awal Februari 2017. Katanya baru masuk di Januari akhir. Ia kesal karena hampir dua bulan Jayapura tanpa internet. Ia terlambat mendapatkan informasi-informasi penting dan berguna. Kawan saya lainnya, mengirim pesan pendek ke saya, katanya, “Kami di Jayapura macam sedang hidup di jaman batu”. Whens juga kesal, karena sepanjang dua bulan itu praktis komunitasnya di dunia maya antara ada dan tiada. Aktivitasnya mengelola komunitas Papuans Photo di dunia maya terhenti.

Aktivitas Whens mengelola komunitas Papuans Photo itu, sebenarnya bukanlah kegiatan utama kesehariannya. Sehari-hari Whens bekerja untuk ELSHAM Papua di Jayapura.

Sebagai pembela HAM, di ELSHAM ia lekat dengan kerja pendokumentasian. Insiden dan peristiwa-peristiwa penting di Papua, khususnya Jayapura, tidak ketinggalan ia abadikan dalam kameranya. Potret ketidakadilan dan pelanggaran HAM di Papua menjadi buruannya, untuk ia suarakan melalui foto. Satu lembar foto memang mampu mengurai cerita, kisah, dan sejarah yang panjang. Menjadi bukti sesuatu ada, sesuatu terjadi. Dalam dunia peradilan, ia menjadi sebuah alat bukti.

Tanah dan langit Papua yang sangat menawan selalu membuat kita terkagum. Tapi tidak dengan yang terjadi kepada para pemilik tanah dan langit itu, Orang Asli Papua. Hingga kini, pelanggaran hak asasi manusia terhadap Orang Asli Papua masih terus terjadi dan cukup tinggi intensitasnya dengan beragam tindakan pelanggaran. Peradaban dan eksistensi Orang Asli Papua tergerus atas nama pembangunan infrastruktur dan peningkatan taraf hidup rakyat. Identitas mereka terancam hilang. Ekspansi perkebunan kelapa sawit, tambang, mega proyek pertanian, pembukaan jalan trans, perlahan memusnahkan tanaman sagu, makanan pokok mereka, dan mengikis budaya asli lainnya. Pendekataan keamanan (militersime) yang berlebihan juga masih saja kental di bumi Cenderawasih itu. Akibatnya kekerasan juga penyiksaan oleh aparat terhadap Orang Asli Papua khususnya, begitu sering terjadi. Termasuk pada para aktivisnya, para pembela Hak Asasi Manusia.

Orang-orang muda Papua yang berada di garis depan utamanya dalam menyuarakan hak menentukan nasib sendiri dan Papua merdeka, menjadi sasaran empuk aparat kepolisian juga militer. Mereka ditangkap, ditahan, beberapa juga berbulan-bulan mendekam di dalam bui. ELSAM Jakarta mencatat, pada 2014 telah terjadi 10 peristiwa penangkapan dan penahanan dengan tuduhan separatis dengan korban sebanyak 133 orang di Papua.

Orang-orang muda Papua yang tergabung dalam organisasi Komite Nasional Papua Barat (KNPB) menjadi korban langganan aksi represif dan intimidatif aparat. Laporan SKPKC Fransiskan Papua dalam Memoria Passionis Papua, sebuah potret hak asasi manusia selama 2015, pada peringatan 1 Mei 2015 aparat menangkap sekitar 260 aktivis KNPB di berbagai wilayah seperti Manokwari, Fak Fak, Sorong, Merauke, Nabire, dan Jayapura.

Whens juga menjadi incaran intel. Dalam beberapa aksi di seputaran Jayapura, saat ia hendak mendokumentasikan aksi tersebut, ia terus dibuntuti.

Pada 19 Desember 2016, saat orang-orang Papua memperingati hari Trikora (Tiga Komando Rakyat) di beberapa titik di kota Jayapura, Whens ditangkap oleh gabungan polisi dan Dalmas. Whens yang sedang mendokumentasikan aksi di Waena, tiba-tiba ditarik, tercekik, dan tercakar bagian dadanya, lalu digelandang ke Polresta Jayapura. Semua hasil jepretan Whens dihapus oleh polisi. Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WP) mencatat, di hari yang sama telah terjadi penangkapan disertai tindakan kekerasan terhadap sejumlah aktivis dan demonstran di Merauke, Nabire, Yogyakarta, Gorontalo, Manado, Wamena, dan Jayapura, dengan total korban 520 orang.

“Begitulah...., dan selalu begitu. Paling sering menimpa kawan-kawan KNPB. Kamera diminta paksa, foto dihapus......”

Di Papua militer dan polisi menjadi pihak lawan utama bagi banyak persoalan Orang Asli Papua, termasuk mereka para jurnalis dan fotografer. Apalagi aktivis dan demonstran.

“Padahal saya ingin, suatu saat buat pameran foto potret pelanggaran HAM di Papua”, kata Whens pada suatu hari di bulan Mei 2016 di dalam bajai yang membawa kami melaju di jalanan Tanah Abang Jakarta.

Pada akhir Mei 2016 saya menemani Whens ke kantor TEMPO di Palmerah Tanah Abang. Saya memperkenalkan Whens pada jurnalis senior TEMPO, Yosep Suprayogi dan jurnalis foto TEMPO, Rully Kesuma. Whens ingin menjadi kontributor foto buat TEMPO. Rully Kesuma meminta Whens setidaknya dalam tiga bulan kedepan mengirim hasil jepretannya. Whens setuju. Diskusi singkat dengan Rully dan Yosep membuat Whens bersemangat.

Namun sekembalinya Whens ke Jayapura, ia harus lama tinggal di pedalaman Wamena, kampung halamannya. Mamanya sakit parah. Whens yang sudah tidak punya Bapa dan hanya punya dua adik laki-laki, merawat seorang diri mamanya, hingga pada 30 Oktober 2016 mamanya meninggal, menyusul Bapa Whens.

Ia memasang foto dirinya bersama mamanya pada account facebook pribadinya. Ucapan belansungkawa membanjir. Kebanyakan dari kawan-kawannya di Papuans Photo.

“Apa karya fotomu yang paling istimewa bagimu?”

“Saya rasa foto ini. Orangtua anak ini sudah meninggal. Anak ini sendiri yang merawat adiknya sehari-hari”, jawab Whens sambil menunjukkan foto seorang anak perempuan berseragam sekolah SD berwarna merah putih rapi, berjalan menggendong adiknya. Dua-duanya menatap kosong ke depan dengan tatapan sayu dan kening berkerut.

“Objek yang belum tergapai?”

“Apa ee? Mungkin memfoto sejumlah aparat yang sedang brutal membubarkan paksa demonstran di Papua. Dan foto aparat yang sedang kasih pukul demonstran. Itu sulit. Kalaupun dapat, yaaa...begitulah....”.

Whens bukan demonstran yang orator. Namun ibarat orator, kamera adalah megaphonenya, foto adalah suaranya. Melalui foto ia menyuarakan Papua: keindahan budaya, alam dan langitnya serta ketidakadilan yang terjadi di tanahnya. Dan yang terpenting, ia menggerakkan kaum muda Papua untuk terus berkarya, mencintai tanah air dan langitnya. Komunitas-komunitas orang muda Papua harus terus bertumbuh dan bergerak dalam banyak bidang. Kuat dan komitmen menjaga kekayaan leluhur dengan berkarya menekuni bidang itu hingga zaman demi zaman berganti. Seperti Grup Musik Mambesak dengan syair-syairnya yang menggetarkan itu. Di masa lalu, Mambesak dan syair-syairnya telah menandai gerakan kebudayaan Papua, dan syair-syairnya akan terus mengalun abadi menemani gerakan generasai dan generasi gerakan penerusnya kini.

 

Foto: Dokumentasi Whens Tebay

Ikuti tulisan menarik Adiani Viviana lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Sengketa?

Oleh: sucahyo adi swasono

1 jam lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB