x

Donald Trump dan istrinya Melania Trump. REUTERS/Jonathan Ernst

Iklan

Smith Alhadar

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Rudal Trump untuk Suriah ~ Smith Alhadar

Serangan peluru kendali AS ke Suriah pada 7 April lalu menunjukkan bahwa Trump telah berubah

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Smith Alhadar

Direktur Eksekutif Institute for Democracy Education

Ketika berkampanye dalam pemilihan umum Presiden Amerika Serikat dulu, Donald John Trump berjanji tak akan menjadi presiden intervensionis. Ia juga mengecam kebijakan pemerintah Presiden Barack Obama yang menginginkan kejatuhan Presiden Suriah Bashar al-Assad. Namun serangan peluru kendali AS ke Suriah pada 7 April lalu menunjukkan bahwa Trump telah berubah.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Perubahan ini disambut sekutu AS. Kebijakan Obama yang tidak tegas terhadap Suriah dan memberikan keleluasaan kepada Iran untuk menancapkan pengaruhnya di kawasan itu telah menciptakan frustrasi luas di kalangan negara Arab, Turki, dan Israel. Maka, serangan terhadap rezim Assad telah membangkitkan harapan kepada mereka bahwa AS di bawah Trump-yang tidak menyembunyikan kebenciannya terhadap Iran-akan mengakomodasi aspirasi mereka.

Di dalam negerinya, popularitas Trump melejit. Berbagai janji kampanye dan kebijakannya yang rasis dan diskriminatif setelah menduduki Gedung Putih, yang membuat warga AS terbelah, kini mulai bersatu di bawah politik luar negerinya yang tegas dan jelas serta mencerminkan nilai-nilai fundamental Amerika. Anggota Kongres dari Demokrat dan Republik pun mendukung serangan AS ke Suriah.

Kesan warga AS sebelumnya bahwa Trump berada di bawah pengaruh Rusia pun sirna seketika. Namun sikap sepihak Trump itu merusak hubungannya dengan Presiden Rusia Vladimir Putin, yang selama kampanye dipuji Trump dan Trump mengungkapkan keinginannya untuk membangun hubungan baik dengan Rusia. Namun di sini juga terlihat perubahan Trump. Ia memerintahkan serangan terhadap Suriah tanpa berkoordinasi dengan Rusia, yang mendukung Assad tanpa syarat.

Sebagai protes, Putin mengancam akan membekukan saluran komunikasinya dengan Trump. Rusia pantas kecewa karena tindakan sepihak AS itu telah melanggar norma-norma hubungan internasional dan merendahkan Rusia. Serangan AS terhadap pangkalan udara Shayrat di Homs menggunakan rudal jelajah Tomahawk bukan saja telah menghancurkan 12 jet tempur dan infrastruktur pangkalan udara, tapi juga mengungkap kelemahan sistem pertahanan rudal S-400 milik Rusia di Suriah yang selama ini dibangga-banggakan sebagai sistem pertahanan rudal sangat canggih. Ternyata S-400 tidak mampu melacak Tomahawk, yang melesat mengikuti kontur permukaan bumi.

Namun benarkah rezim Assad menggunakan senjata kimia dalam serangannya terhadap Kota Khan Sheikhun yang menewaskan 86 orang itu? Sangat sulit diterima akal sehat bahwa rezim Assad menggunakan gas beracun sarin untuk membunuh lawan-lawannya pada momen yang tidak tepat. Memang rezim Assad pernah menggunakannya pada 2013, yang membunuh lebih dari 1.000 warga sipil. Namun setelah itu Suriah menandatangani Konvensi Senjata Kimia dan menyerahkan semua stok gas beracun kepada PBB untuk menghindari serangan AS.

Masalahnya, saat ini pasukan Suriah tidak dalam keadaan terdesak di Khan Sheikhun sehingga harus menggunakan senjata kimia. Strategi pemerintah Suriah, Rusia, dan Iran dalam menghadapi kelompok oposisi di Provinsi Idlib, tempat Khan Sheikhun berada, adalah melemahkan lawan secara perlahan melalui serangan udara berkelanjutan sebelum serangan darat dilakukan. Alasan lain, penggunaan senjata kimia adalah tindakan bodoh yang justru hanya merugikan Assad sendiri serta memojokkan Rusia dan Iran, sekutu yang selama ini mati-matian membantunya.

Pada akhir Maret lalu, Gedung Putih menyatakan AS hanya akan berfokus pada upaya memerangi ISIS dan tidak akan berusaha memakzulkan Assad. Kebijakan AS yang realistis ini didukung sekutu Barat, Rusia, dan Iran. Penggunaan senjata kimia oleh rezim Assad, sebagaimana dituduhkan Washington, justru hanya menguntungkan kelompok pemberontak.

Karena itu, bisa jadi serangan senjata kimia ini dilakukan kelompok pemberontak untuk membuyarkan kebijakan Trump. Namun, kalau pemberontak menyembunyikan senjata kimia, mengapa tidak mereka gunakan terhadap pasukan rezim Suriah ketika terdesak di Aleppo pada akhir tahun lalu? Karena penggunaan senjata kimia merugikan perjuangan kelompok pemberontak, bisa jadi pendapat Rusia benar bahwa gas beracun itu berasal dari gudang senjata kimia milik pemberontak yang diserang jet tempur rezim Suriah. Apa pun alasannya, Washington yakin rezim Assad bersalah.

Perubahan Trump yang lain adalah kini dia mempertimbangkan menjatuhkan Assad. Washington menyatakan mungkin akan menyerang Suriah lagi. Kalau itu dilakukan dengan mendirikan zona larangan terbang diikuti pemasokan senjata terhadap kelompok pemberontak sebagaimana dilakukan AS di Irak dan Libya, tidak hanya krisis Suriah yang bertambah genting, ketegangan hubungan AS-Rusia juga meningkat. Kunjungan Menteri Luar Negeri AS Rex Tillerson ke Moskow pekan ini diharapkan dapat meredakan ketegangan keduanya, bahkan kalau bisa dicapai titik temu tentang cara menyelesaikan krisis Suriah.

*) Artikel ini terbit di Koran Tempo edisi 11 April 2017

Ikuti tulisan menarik Smith Alhadar lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler