x

Peziarah melintas di depan Museum Islam Nusantara Hasyim Asy’ari (MINHA) yang masih dalam tahap pembangunan di Tebuireng Jombang, Jawa Timur, 4 Desember 2015. ANTARA FOTO

Iklan

Redaksi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Menjadi NU, Menjadi Indonesia ~ Helmy Faishal Zaini

Berdasarkan kalender Hijriah, Nahdlatul Ulama (NU) akan menapaki usia yang ke-94 pada tahun ini (16 Rajab 1344-16 Rajab 1438), yang jatuh pada 13 April 201

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Helmy Faishal Zaini

Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama

Berdasarkan kalender Hijriah, Nahdlatul Ulama (NU) akan menapaki usia yang ke-94 pada tahun ini (16 Rajab 1344-16 Rajab 1438), yang jatuh pada 13 April 2017. Usia yang sangat matang bagi sebuah organisasi keagamaan. Di usianya yang menjelang satu abad itu, NU tetap setia pada cita-cita utamanya: menjalankan ajaran Islam ahlussunnah wal jamaah an nahdliyyah sebagai wujud Islam rahmatan lil alamin, meningkatkan kualitas hidup masyarakat di tiga bidang (pendidikan, ekonomi, dan kesehatan), serta menjaga NKRI.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Di tengah pelbagai ancaman paham yang tak henti-hentinya ingin mengubah ideologi negara, NU tetap setia dan dengan tegas menyatakan bahwa NKRI adalah bentuk final dan Pancasila adalah dasar negara yang paling cocok untuk kemajemukan bangsa Indonesia. Perjuangan tersebut tentu tidak bisa dilaksanakan dengan mudah. Banyak tantangan yang harus dihadapi.

Kehadiran NU sesungguhnya merupakan respons atau reaksi dari gelombang Pan Islamisme Jamaluddin Al-Afghani dan juga tren wahabisme yang semakin meresahkan di Arab Saudi kala itu. Pasalnya, agenda utama wahabisme adalah memutus tali batin antara umat Islam dan baginda Nabi Muhammad SAW. Padahal, dalam ajaran Islam ahlussunnah wal jamaah, tiada kegembiraan lain selain dapat mencintai Nabi Muhammad SAW yang merupakan kekasih Allah SAW. Imam Al-Busyiri, seorang alim asal Alexandria, mengatakan, dalam Islam terdapat sebuah rumus cinta: siapa mencintai Rasulullah, maka Allah akan mencintainya. Di sinilah pemantik reaksi kiai-kiai pesantren kala itu yang kemudian memutuskan untuk mengirim delegasi menemui Raja Arab Saudi-yang kemudian hari dikenal dengan sebutan Komite Hijaz-yang diketuai KH Abdul Wahab Hasbullah dari Tambak Beras, Jombang.

Selain itu, karena watak asli orang-orang pesantren yang menolak keseragaman, maka NU menolak wacana Raja Arab Saudi yang ingin menyeragamkan mazhab. Dalam pandangan NU, siapa pun diperbolehkan menjalankan ajaran agama Islam sesuai dengan mazhab pilihannya selama genealogi mazhab tersebut terjamin transmisinya.

Dua alasan tersebut menjadi cita-cita dalam menegakkan Islam yang rahmatan lil alamin melalui ajaran ahlussunnah wal jamaah yang terus digamit oleh NU sejak awal pendiriannya sampai saat ini. Dalam bahasa Said Aqil Siroj (2015), NU merupakan representasi paripurna kultur dan harakah dari wajah Islam di Indonesia.

NU nyatanya sangat fasih untuk dijadikan referensi bagaimana memadukan agama, ideologi, dan juga rasa kebangsaan. Kepaduan di tiga aspek inilah yang kemudian dirumuskan dalam frasa "Islam Nusantara" dan menjadi tema utama Muktamar ke-33 NU di Jombang pada 2015.

Kafasihan sekaligus keteguhan dalam menerapkan Islam ahlussunnah waljamaah itu menjadikan NU sampai saat ini tetap meyakini bahwa NKRI, Pancasila, dan demokrasi sebagai jalan mencapai konsensus bersama adalah sesuatu yang sudah final. Memadukan ajaran agama dengan demokrasi ini bukanlah perkara mudah. Di negara yang mayoritas berpenduduk muslim, seperti negara-negara Arab dan Teluk, demokrasi sampai saat ini berujung pada anarkisme dan kerusuhan. Sejak meletusnya Arab Spring, yang diharapkan bisa menumbuhkan demokrasi di dunia Arab, nyatanya sampai saat ini hanya isapan jempol belaka. Justru yang semakin kerap dan sering kita lihat adalah kekacauan, kerusuhan, serta tren kembalinya rezim militer ke pusat-pusat kekuasaan.

Jack Snyder (2000) dalam bukunya, From Voting to Violence: Democratization and Nationalist Conflict, mengatakan bahwa sejarah yang menunjukkan demokratisasi sering menimbulkan kerusuhan karena SARA (suku, agama, ras, antargolongan), perang, atau bahkan disintegrasi. Ia memaparkan sejumlah contoh upaya demokratisasi yang berlumuran tragedi, seperti perang Napoleon (1803-1815), perang Kaisar Wilhem (1914-1918), dan perang Adolf Hitler (1939-1945).

Snyder juga menyimpulkan bahwa demokratisasi tidak hanya bisa gagal, tapi juga sering gagal di tangan para demokrat yang tidak kompeten. Pada titik inilah Indonesia layak menjadi kiblat bagaimana Islam bisa berpadu dengan demokrasi tanpa harus berlumuran darah dan bertabur tragedi kemanusiaan.

Dalam bahasa Gus Dur (1998), hubungan agama dan negara diurai dalam tiga paradigma. Pertama, paradigma integralistik yang menjadikan agama dan negara sebagai satu entitas. Hukum negara adalah hukum agama tersebut. Kedua, paradigma sekularistik yang menjadikan agama dengan negara berdiri sendiri secara tegas dan dipisahkan oleh garis demarkasi bahwa yang satu tidak diperbolehkan untuk mencampuri yang lainnya. Ketiga, paradigma simbiotis, yakni ketika agama dan negara diletakkan pada posisi yang memiliki hubungan saling mengisi satu sama lain. Nilai-nilai agama menjadi roh konstitusi dalam bernegara. Di paradigma ketiga inilah Indonesia berada.

Alakullihal, momentum hari lahir ke-94 NU yang mengambil tema "Merawat Tradisi dan Kebudayaan sebagai Pilar Paham Keagamaan" saat ini merupakan momentum yang pas untuk menggarisbawahi kembali komitmen NU yang terus setia pada nilai-nilai tradisi Islam ahlussunnah wal jamaah serta kesungguhan untuk menjaga keberlangsungan tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Wallahua’lam bisshawab.

*) Artikel ini terbit di Koran Tempo edisi 12 April 2017

Ikuti tulisan menarik Redaksi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler