x

Iklan

Redaksi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Pikiran Anda ~ Pandji Pragiwaksono

Kita ini mau memilih pemimpin lho. Commander In Chief. The Leader. The guy with the vision.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Saya masih SMP ketika mereka bercerai.

Kedua orangtua saya.

Saya tahu mereka sudah tidak akrab. Pisah kamar cukup lama. Kami tidak lagi pernah makan siang atau makan malam bersama satu meja. Padahal dulu itu seperti sebuah kewajiban. Tidak sopan kalau tidak makan di meja makan bersama. Bersamaan dengan menurunnya kemampuan ekonomi kami, saya melihat melonggarnya Ibu dan Ayah.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ketika mobil masih ada dua, keduanya Sedan, pembantu rumah tangga ada empat, supir ada satu, kami sering sekali berlibur bersama.

Ketika mobil hanya Suzuki Carry hitam pinjaman temannya Ayah, celengan saya dibongkar Ibu untuk belanja ke pasar karena tak ada uang, rumah mulai kosong dan Ibu mulai beli makanan dari luar, kami tidak lagi pernah jalan-jalan. Bahkan rumah besar itu mulai terasa mencekam.

Ibu dan Ayah jarang sekali secara terbuka berkelahi di depan anak-anaknya, tetapi kami pernah sekali waktu melihat mereka kelepasan bertengkar. Di akhiri dengan Ibu menangis dikelilingi anak-anaknya.

Biarin aja, biarin Ibu pergi dari sini”, katanya sambil menangis.

Tetapi Ibu tidak pernah pergi.

Ibu tetap bersama kami.

Hingga akhirnya, suatu hari Ibu membuka omongan bahwa mereka akan bercerai dan Ibu mau anak-anak bersama Ibu.

Ayah, ketika menjelang perceraian hanya pernah mengajak nonton ke bioskop. Mungkin ingin menghabiskan waktu tersisa bersama selama masih serumah.

Buat saya, rasanya aneh sekali melihat mereka bercerai.

Karena saya tidak benci keduanya.

Mungkin kalau saya benci salah satu, perceraian akan lebih masuk akal dan bahkan dinanti, tetapi saya tidak benci keduanya, saya bahkan menyayangi keduanya.

Karenanya, saya selalu bingung harus bagaimana bersikap.

Ketika bersama Ibu, Ibu selalu marah-marah mengenai Ayah. Ketika bersama Ayah, Ayah yang ngomel-ngomel mengenai Ibu.

Berdiri di tengah-tengah orang yang saya sayangi, tetapi mereka saling membenci, adalah perasaan yang hingga hari ini tidak saya sukai.

Ini, saya yakini, jadi alasan mengapa persatuan adalah isu yang sangat melekat dengan saya.

Lama saya berpikir, mengapa saya peduli sekali dengan persatuan Indonesia? Tidak mungkin karena saya sosok bijak yang begitu peduli akan bangsanya. Mana mungkin karena saya seorang patriot yang bak pahlawan ini berjuang untuk kebaikan semua.

Pasti ada hal lain. Pasti ada hal yang lebih mendalam. Pasti ini karena hal yang personal.

Karena saya sangat terganggu melihat orang berseteru, terutama ketika saya kenal dua-duanya dan berteman dengan keduanya.

Saya sering terjebak dalam kondisi seperti ini.

Waktu di SD Triguna, saya dalam limbo yang aneh. Saya berteman dengan anak-anak populer sekolah, tetapi berkawan dengan anak-anak badung di sekolah. Dana dan Beni, adalah dua anak yang teramat badung. Saya pun mengakui itu. Kesamaan mereka, adalah sama-sama bongsor dan ingusan.

Dana sering sekali bicara kasar, matanya melotot, dan senyumnya lebar kalau ingin melakukan sebuah kenakalan. Beni anaknya sering bohong. Sering nipu. Dan sering menemukan barang untuk dijual. Dari kertas surat warna-warni sampai foto kopian dari buku mewarnai. Namun ketika mereka bilang mau main ke rumah saya, saya tidak menolak.

Tidak ada anak-anak lain yang mau ke rumah kalau lagi ada mereka. Sering kali saya bermain berdua dengan Dana di rumah. Atau bermain berdua dengan Beni. Beni tidak mau ke rumah kalau ada Dana dan begitu juga sebaliknya. Lucu, sesama anak nakal ternyata tidak akrab.

Usai saya main benteng dengan anak-anak di sekolah, Beni atau Dana mendatangi untuk ngobrol. Anak-anak lain bubar. Kadang kejadiannya sebaliknya, saya lagi bersama Beni atau Dana, didatangi teman-teman lain, Beni atau Dana beranjak pergi.

Ketika di SMP 29 pun serupa. Karena saya sering di-bully, melawak jadi cara saya melindungi diri. Kemampuan melawak membuat saya diterima anak-anak nakal di SMP, tetapi tetap akrab dengan anak-anak lain di sana.

Bermain dengan dua kelompok ini benar-benar berbeda. Yang anak-anak baik punya geng mobil (padahal yang bisa nyetir cuma satu, dan padahal masih SMP pula) namanya Eclipso. Mainnya di rumah seorang kawan di Bintaro. Rumahnya besar. Yang punya rumah ganteng. Anak-anak populer lah.

Kalau sama yang nakal-nakal, saya punya nama julukan “K-Chill” yang sebenarnya artinya “Kecil”. Maaf alay, namanya juga anak SMP. Kalau main selalu di sekolah sampai sore atau kalaupun main ke rumah selalu ganti-ganti rumahnya. Dan pulangnya pasti ada saja sepatu yang hilang.

Saya pernah main ke rumah salah satu teman yang rumahnya adalah rumah kosong yang di-dobrak pintunya. Di dalam hanya ada tiker dan kertas koran serta sejumlah lukisan. Teman saya, namanya Gajah Mada, ayahnya adalah pelukis jalanan. He literally, has nothing.

Ketika main sama yang geng nakal mereka bertanya kenapa saya main sama anak-anak borju geng mobil yang tidak pada punya mobil. Ketika main sama anak-anak populer saya ditanya kenapa main-main sama anak-anak nakal, mereka pada suka mabok, nelen megadon, dll. Bahkan ketika SMP, saya tahu bahwa siapa yang nakal dan siapa yang sok, adalah hanya masalah perspektif.

Di Kolese Gonzaga ketika SMA saya terus terang tidak merasakan konflik batin ini. Tidak ada gap sosial di sana. Semuanya sama. Kaya, miskin, orang Jawa, Flores, Cina, semuanya sama. Budayanya sudah terbentuk sejak lama.

Keputusan Gonzaga untuk hanya menggunakan seragam putih abu selama tiga hari dalam enam hari sekolah membuat dampak seragam berangsur hilang, dan menampilkan semua apa adanya.

Selama bertahun-tahun SMA tersebut mengajarkan bahwa beda itu sudah kondisi yang terjadi dari sananya, yang harus dipikirkan kemudian adalah bagaimana bersatu dalam perbedaan.

Interaksi adalah cara yang Gonzaga ambil. Dari ospek dan Jambore yang diawasi ketat para guru, tempat nongkrong bernama Pohon Mangga, Gardu, dan Parmo (semuanya sekarang sudah tidak ada), bahkan tawuran anta angkatan (saya tahu ini terdengar aneh, tetapi ini memang cara mereka “kenalan”, karena bertengkarnya tidak pernah di dasari benci, hanya usil-usilan saja. Kapan-kapan saya cerita lebih dalam), anak-anak Gonz itu selalu punya sarana interaksi antaranak-anaknya.

Ketika kuliah di FSRD ITB, wuah ini gap-nya banyak.

Anak Bandung – Anak Jakarta. Yang anak Bandung merasa anak Jakarta sok keren. Yang anak Jakarta merasa anak Bandung suka menyindir mereka.

Anak Seni Rupa – Anak teknik. Yang anak SR merasa anak teknik sok pinter dan tidak asyik. Yang anak teknik merasa untuk apa sekolah teknik ada Seni Rupa.

Anak Konseptor – Anak Kerja. Yang anak-anak kerja merasa geng konseptor ini bossy dan cuma mau ngonsep, tetapi tidak mau kerja. Mereka merasa dijadikan kuli. Yang geng konseptor merasa “Kan gue udah ngonsep, masak kerja juga? Emang elo kemarin ikut ngonsep? Nggak kan?

Nah saya, main dengan orang-orang di enam kelompok tadi.

Bisa dibayangkan tidak pusingnya saya hehehehe.

Bahkan kalau Anda masih ingat ramainya #IndonesiaTanpaFPI serta #IndonesiaTanpaJIL, saya berteman dengan orang-orang di kedua kelompok ini. Waktu saya wawancara orang ITJ saya dibilang pro FPI, waktu saya wawancara orang JIL saya dibilang pro Islam liberal.

Makhluk apa saya ini? :)))

Sebenarnya, saya adalah makhluk yang berteman dengan siapa saja.

Makhluk yang sejak lama merasa bahwa sering kali konflik antarmanusia, terjadi karena prasangka.

Makhluk yang tahu persis, bahwa di benak setiap manusia, dia adalah orang yang baik dan benar.

Pilkada (Nah, saya tahu Anda dari tadi menunggu kapan tulisan ini mulai nyambung ke pilkada hehehehe) membuka peluang terhadap konflik antarmanusia ini. Konflik sosial, begitu sering disebutnya.

Tidak selesai-selesai konflik terjadi yang sebenarnya sih kaitannya dengan politik-politik juga.

Belakangan ini, tidak berbeda.

Belum dingin kepala karena bertebarannya spanduk Jakarta Syariah, kemarin tim sukses Paslon 2 merilis sebuah iklan di jejaring sosial. Saya asumsikan anda tahu video yang saya maksud. Video ini dibuka dengan sebuah adegan kerusuhan dan dilanjutkan dengan pesan-pesan mengenai ke Bhinekaan.

Versi awal yang saya lihat, menggunakan suara Pak Djarot yang seakan berorasi, ditutup dengan pesan “Pilih Keberagaman”. Tahu video yang saya maksud?

Menurut saya, iklan itu bisa jadi merupakan iklan politik terbaik yang saya pernah lihat. Kualitas produksinya, musiknya, pidato Pak Djarotnya, talent-nya, kostumnya.

The ad is SO good. But it is SO wrong at the same time.

Orang banyak mempermasalahkan adegan kerusuhannya. Orang dengan identitas Islam, melakukan aksi massa yang rusuh, membawa spanduk “Ganyang Cina”.

Bagi saya, adegan itu tidak salah. Adegan itu pernah terjadi di Jakarta. Tidak perlu menoleh jauh ke 98, kejadian tersebut baru-baru ini terjadi di Jakarta. Rasanya menolak itu pernah ada, hanya terjadi karena dua hal: Buta sejarah atau berpura-pura demi politik saja.

Bukan di situ letak kesalahannya.

Letak kesalahannya adalah pesan yang tidak sengaja tersampaikan secara tersirat dalam iklannya. Justru karena tidak sengaja, makanya berbahaya.

Mari saya jelaskan.

Yang diinginkan iklan itu adalah agar kita memilih Kebhinnekaan.

Kelihatannya, yang membuat iklan dan semua yang terlibat lupa:

Kebhinnekaan adalah kenyataan kita. Kita sekarang sudah Bhinneka. Kita bahkan tidak punya kuasa akan Kebhinnekaan Jakarta. Begitu tidak kuasanya kita menahan Kebhinnekaan ini, warga Jakarta tidak akan pernah kehilangan Kebhinnekaannya.

Dan ketika saya bicara Bhinneka, saya tidak hanya bicara agama. Tidak hanya bicara suku. Saya juga bicara latar belakang pendidikan. Saya bicara Kebhinnekaan latar belakang ekonomi. Saya bicara Kebhinnekaan opini. Cara pandang. Tata bahasa. Gaya hidup.

Jakarta, adalah kota yang Bhinneka, dan dia akan Bhinneka selamanya.

Yang jadi masalah tidak pernah Kebhinnekaannya, yang jadi masalah adalah Persatuan dari Kebhinnekaan itu tadi.

Kalau kita menerima Kebhinnekaan kita, lalu lalai dalam memperjuangkan persatuannya, kita akan tinggal dalam sebuah kota yang ramai dan jadi sempit karena sekat-sekat. Lalu apa bedanya dengan Jakarta di era Belanda yang sengaja mempraktikkan politik segregasi dan membagi-bagi Kebhinnekaan Jakarta dalam sekat-sekat berupa kampung homogen di dalam kota yang beragam.

Kampung Ambon, Kampung Melayu, Kampung Bugis, Kampung Bandan, dll. Bahkan ada aturan Belanda yang menyatakan bahwa pendatang harus tinggal berkumpul dengan sesamanya. Karena itu lahirlah, Kampung Cina.

Bukan ini kan yang kita mau?

Bukan sekadar Kebhinnekaan yang kita perjuangkan, tetapi justru persatuannya.

Lalu kalau memang persatuan yang kita harus perjuangkan, apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan?

Hal yang paling kita hindari adalah mendorong orang menjauh dan membangun tembok pemisah. Terutama dalam situasi politik yang panas ini.

Iklan di atas tadi, mencoba memberi garis batas yang jelas: Ini kita, ini mereka. Kalau kita bersatu, mereka tidak akan bisa menang.

Dan sialnya, yang digambarkan dengan “mereka” diberi identitas Islam.

Saya tahu, bukan itu yang diniatkan.

Tapi justru ketidaksengajaan ini menunjukkan satu hal: Mereka tidak tahu cara bersikap di Jakarta yang Bhinneka.

Jakarta tidak butuh konflik.

Jakarta tidak butuh cara pandang “Kita vs Mereka

Kalau ini gaya kampanyenya, ketika mereka menang, bisakah dibayangkan apa yang tersisa darinya?

Masalahnya, cara pandang ini sudah mereka miliki sejak lama. Apakah anda sudah melihat iklan ini?

 

 

Kalimat “Apakah Anda memilih berpihak pada penyeragaman, radikal serta intoleran, atau memilih berpihak kepada keberagaman dan Bhinneka Tunggal Ika?” justru menggambarkan sikap yang jauh dari keinginan untuk mempersatukan.

Saya tahu mereka bicara kepada Anda dan ingin mengajak Anda masuk dalam barisan yang mereka sebut “Keberagaman dan Bhinneka Tunggal Ika”, tetapi itu berarti mereka meninggalkan bahkan mendorong jauh orang-orang yang tidak memilih mereka dengan melabeli orang tersebut sebagai “Penyeragaman, radikal dan intoleran”.

Kalimat itu saja, sudah menyinggung dan membuat kecewa banyak orang. Mungkin juga Anda. Karena Anda tidak merasa sebagai orang jahat. Tetapi kini, iklan barusan memasukkan Anda ke dalam sebuah kotak dengan label radikal dan intoleran. Padahal niatnya, ingin memilih pemimpin yang peduli dengan pendidikan, misalnya.

How does that makes you feel?

Kini kita bisa bayangkan kalau mereka menang, mereka menyisakan kelompok di luar lingkaran mereka.

This is us, that is them.

Ketika hari itu datang, saya ragu persatuan akan hadir di Jakarta.

Yang bikin situasi membingungkan, saya bingung harus arahkan kekecewaan soal video-video dan arahan kampanye di atas kepada siapa. Karena Pak Basuki ketika ditanya wartawan terkait iklan tersebut, jawabannya “Kamu tanya timses” seakan beliau tidak mau tahu apa apa tentang iklan ini.

Memang Pak Basuki di sebuah wawancara pernah berkata beliau tidak mikirin strategi. Strategi urusannya parpol dan pemenangan (timses).

Nah kita musti bagaimana ketika arah sebuah kampanye cenderung memicu konflik lanjutan, tapi paslonnya sendiri tidak tahu apa apa mengenai strategi kampanye-nya. Diserahkan sepenuhnya kepada parpol dan timses.

ahok

Kita ini mau memilih pemimpin lho.

Commander In Chief. The Leader. The guy with the vision.

Bagaimana kita mau percaya ini adalah orang yang bisa membawa persatuan, kalau dia tidak punya kuasa ke mana arah kampanyenya?

Sekarang, pertanyaan terpenting:

Apa yang kita harus lakukan agar tercipta persatuan?

Dengan mencoba memahami, sebelum membenci

Karena seringkali ketika kita akhirnya memahami, tidak lagi kita membenci.

Pahami, apa sebenarnya yang memicu konflik ini. Apa yang menyebabkan peruncingan ini.

Karena di balik setiap anak yang mem-bully, ada masalah mendalam yang tidak pernah diselesaikan. Menghukum anak itu, tanpa menyelesaikan masalah mendalam tadi, hanya akan membuat si anak semakin dendam dan kelak kembali mem-bully.

Lalu bagaimana caranya bisa memahami mereka?

Dengan interaksi.

Dengan membuka jalur komunikasi.

Tidak dengan mendorong mereka, tetapi justru menarik mereka dekat. Cukup dekat untuk bisa diajak berdialog.

Betul, dibutuhkan keberanian. Karena mereka dikenal memiliki cara-cara yang beringas.

Betul, dibutuhkan keteguhan. Karena caci maki akan datang mengatakan kita seakan lupa apa yang pernah mereka lakukan.

Betul, semua hal di atas.

Karena itu memang tidak semua orang bisa melakukannya :)

Kita perlu pemimpin yang bisa berkomunikasi dengan siapa saja, bisa mengundang siapa saja, bisa memfasilitasi pertemuan dengan kelompok mana saja. Namun pada saat yang bersamaan, tegas ketika sudah ada yang melanggar aturan.

Agar kita bisa sama sama jembatani perbedaan di antara kita dan saling selam keresahan dan keinginan masing masing.

Saya curiga, sebenarnya masalahnya selama ini hanyalah kecemburuan.

Mas Anies selalu bilang bahwa kita sulit bisa mengharapkan ada persatuan kalau masih ada ketidakadilan sosial.

Jelas ada kecemburuan, ketika tinggal di kota yang sama, menghirup udara yang sama, sama-sama menyebut dirinya warga Jakarta, tetapi yang satu tidak bisa bersekolah, yang satu tidak punya pekerjaan, yang satu pekerjaannya hanya sebatas buruh karena pendidikannya tidak tinggi, yang satu tidak punya rumah, yang satu direnggut dari kehidupannya.

Keadilan sosial adalah kunci penting agar persatuan bisa terjadi.

Dan memang itulah yang jadi program Mas Anies dan Bang Sandi.

Pendidikan untuk semua yang berkualitas dan berkelanjutan sehingga kita tidak diamkan anak anak yang tidak bersekolah.

Peluang kerja untuk warga Jakarta.

Tempat tinggal di Jakarta.

Transportasi yang dapat diandalkan dan sesuai dengan kebutuhan warga.

Itu semua di atas, adalah instrumen yang membantu hadirkan keadilan sosial.

Keadilan yang akan membuka jalan menuju persatuan.

Saya tahu, Pak Basuki menginginkan Anda agar memilih kebhinnekaan.

Tapi Anda dan saya tahu, Mas Anies Baswedan lah yang mengerti cara meraih persatuan.

Tidak percaya? Mari kita berandai-andai.

Ketika kondisi Jakarta memanas, lalu ada potensi konflik antaragama akan terjadi di Jakarta, siapa yang Anda utus untuk bertemu mereka agar konflik mereda?

Basuki Tjahaja Purnama atau Anies Baswedan?

Tidak perlu menjawab.

Saya bisa dengar jawaban di pikiran Anda.

Ikuti tulisan menarik Redaksi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler