x

Iklan

mhd.husnil

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Anies Baswedan dan Bung Hatta: Persatuan, Bukan Persatean

Dalam pidato tersebut Anies kembali meneguhkan bahwa yang perlu diperjuangkan dalam kebinekaan adalah persatuan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Dalam artikel berjudul Ini Tenun Kebangsaan. Titik! yang diterbitkan 2012, Anies Baswedan mengungkapkan bahwa kebinekaan itu fakta.

“Kebinekaan bukan barang baru. Sejak negara ini belum lahir semua sudah paham. Kebinekaan di Nusantara adalah fakta, bukan masalah! Tenun kebangsaan ini dirajut dari kebinekaan suku, adat, agama, keyakinan, bahasa, geografis yang sangat unik. Setiap benang membawa warna sendiri. Persimpulannya yang erat menghasilkan kekuatan. Perajutan tenun ini pun belum selesai. Ada proses terus-menerus. Ada dialog dan tawar-menawar antar-unsur yang berjalan amat dinamis di tiap era.”

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pernyataan serupa Anies suarakan kembali dalam pidato kebangsaan berjudul Persatuan Indonesia pada 3 April 2017 lalu. Dalam pidato tersebut Anies kembali meneguhkan bahwa yang perlu diperjuangkan dalam kebinekaan adalah persatuan. Ini merupakan selangkah lebih maju dari gagasan cuma memperjuangkan kebinekaan. Jika masing-masing dari kita memiliki pemahaman bahwa kita memang berbeda maka yang selanjutnya kita perjuangkan adalah bagaimana kita tetap bersatu dalam perbedaan.

Untuk menyebut persatuan bangsa ini Anies menggunakan istilah tenun kebangsaan. Istilah ini muncul dari sejarah dan filosofi bangsa ini, bahwa kebhinnekaan adalah fakta, bukan masalah. Bhinneka tunggal ika, berbeda-beda namun satu juga.

Membicarakan kebinekaan tanpa membincangkan persatuan akan tampak kosong. Kebinekaan itu perlu dirajut agar terus bersatu. Persatuan inilah yang senantiasa kita upayakan, senantiasa kita ikhtiarkan. Jika para pendiri bangsa ini yang merajut tenun kebangsaan maka tugas kita sekarang adalah merawat tenun kebangsaan tersebut. Ikhtiar itu berupa mempersatukan kebinekaan.

Karena itu berdialog adalah jalan yang akan Anies tempuh untuk tetap menyatukan persatuan dalam keberagaman.

Dalam kerangka inilah Anies Baswedan bertemu dengan semua pihak. Sebagai pemimpin, Anies berikhtiar merawat tenun kebangsaan yang ada. Dia membuka dialog ke semua. Kepada nelayan yang terkena dampak reklamasi, warga penggusuran yang tak dapatkan keadilan, para karyawan perusahaan besar, para pengusaha, anak muda, ulama, habaib, guru, wali gereja, komunitas semua agama. Pendeknya, semua warga Jakarta. Anies ingin mengajak menyatukan semua untuk bersama-sama mewujudkan prinsip utama Pancasila: keadilan sosial bagi seluruh warga.

Tenun kebangsaan tidak terkoyak oleh beragamnya pikiran, tetapi oleh lemahnya penegakan hukum. Negara tak bisa mengatur ranah pikiran warga. Setiap orang berhak memiliki pikiran yang berbeda. Tetapi, begitu bertindak yang dikategorikan pelanggaran hukum, maka tiada kata lain selain menegakkan hukum. Bila satu tindakan melanggar hukum maka fokus saja kepada pelanggaran tersebut, bukan kepada pikiran.

Ini sesuai pula dengan kaidah nahnu nahkumu bi al-dzawahir wallahu yaqdhi al-sarair (kita menghukumi tindakan yang lahir, dan Allah menilai apa yang tersembunyi dalam hati).

“Negara memang tak bisa mengatur perasaan, pikiran, ataupun keyakinan warganya. Namun, negara sangat bisa mengatur cara mengekspresikannya. Jadi, dialog antar-pemikiran, aliran atau keyakinan setajam apa pun boleh, begitu berubah jadi kekerasan, maka pelakunya berhadapan dengan negara dan hukumnya.” (Anies Baswedan, Opini di KOMPAS, 11 September 2012).”

Pernyataan Anies ini, sejatinya, tak jauh berbeda dengan pendapat Bung Hatta pada 1930-an.

”Dengan persatuan kita maksud persatuan bangsa, satu bangsa yang tidak dapat dibagi-bagi. Di pangkuan bangsa yang satu itu boleh terdapat pelbagai paham politik, tetapi kalau datang marabahaya yang menimpa pergerakan, di sanalah tempat kita menunjukkan persatuan hati. Di sanalah kita harus berdiri sebaris. Kita menyusun ’persatuan’ dan kita menolak ’persatéan’,” (Daulat Ra’jat, 1932).”

Jelas sekali bahwa persatuan tak mengubah identitas masing-masing yang bineka itu menjadi satu. Kalau keberagaman itu hilang dalam persatuan maka itu namanya persatean. Persatuan terwujud karena terbentuk dari keberagaman.

Dalam beberapa hal, Anies memang mengikuti jalan Bung Hatta, mulai dari gagasan ekonomi sampai politik. Juga sikapnya yang santun, ramah, dan tak ambil pusing dengan beragam fitnahan yang dilemparkan kepadanya.

Sekarang ini Anies sedang berkompetisi menjadi gubernur DKI Jakarta. Sesuai dengan prinsipnya, jika menjadi gubernur maka dia akan merangkul semua kalangan di Jakarta ini. Dia akan menjadi gubernur bagi semua. Pandangan Anies ini konsisten, sejak dulu sampai sekarang.  

Gagasan, tindakan dan rekam jejaknya membuktikan bahwa Anies Baswedan seorang perawat tenun kebangsaan. Takkan rela apapun dan siapa pun merobeknya. Tidak juga Pilkada DKI Jakarta ini!

Ikuti tulisan menarik mhd.husnil lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler