x

Roma Irama (kiri) bersamaa putranya, Ridho Roma. ANTARA/Maxon

Iklan

Soe Tjen Marching

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Ridho Roma Irama dan Kemunafikan ~ Soe Tjen Marching

Ridho Roma ditangkap karena narkoba. Padahal tidak lama sebelumnya, dia menekankan pentingnya pendidikan agama sejak dini.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Oleh Soe Tjen Marching

Ridho Roma ditangkap karena narkoba. Padahal tidak lama sebelumnya, dia menekankan pentingnya pendidikan agama sejak dini. Menurutnya. Kalau anak-anak mempunyai pondasi agama yang kuat, mereka tak akan mudah terpengaruh hal-hal negatif.

Ridho bukan satu-satunya. Masih banyak kasus pendakwah atau pemimpin agama (apa pun) yang tiba-tiba ketahuan melakukan tindakan yang tidak sesuai bahkan sangat berlawanan dengan apa yang selalu mereka kotbahkan. Di rumah Habieb Rizieq, misalnya, ditemukan berbagai majalah porno. Banyak pastor Katolik sudah terbukti melakukan tindakan pedofilia. Dan berapa kali ada laporan bahwa guru agama memperkosa atau menghamili muridnya? Ini yang ketahuan. Yang belum?

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Memang, agama masih dipercayai oleh banyak orang, sebagai pegangan yang mampu membuat manusia lebih baik, lebih bermoral dan lebih manusiawi. Agama diyakini sebagai sumber kedamaian yang mengajarkan kebaikan.

Namun, tak bisa lagi disangkal telah ada berbagai tindak kekerasan yang dilakukan atas nama agama. Peperangan, pembunuhan dan pengeboman telah beberapa kali terjadi dengan dalih agama.

Akan tetapi masih saja banyak orang di Indonesia terbuai dengan jubah-jubah kesolehan dan religi, sehingga tak jarang akhirnya jubah agama menjadi amunisi. Bayangkan, bila ada diskusi atau konferensi damai, lalu sekelompok orang seperti saya hadir membawa pentungan lalu membubarkan acara. Pasti banyak orang akan menganggap kami ini biadab atau sudah gila.

Tapi, kalau gerombolan yang hadir memakai atribut agama sambil meneriakkan nama Tuhan dan membawa pentungan, kebanyakan orang justru akan mencurigai seminar damai tersebut: "Ada ada dengan seminar itu? Apa seminarnya tentang maksiat, free-sex, PKI atau makar?" bahkan tanpa mengetahui atau hadir sama sekali di seminar tersebut.

Hal ini membuat saya teringat ide Soekarno tentang Islam sontoloyo. Soekarno sempat mengritik Muslim yang gemar memamerkan kesolehan mereka namun justru melupakan inti ajaran kemanusiaan dan kedamaian. Salah satu ciri pengikut Islam sontoloyo ini menurut Soekarno adalah royal mencap kafir: "Pengetahuan Barat kafir; radio dan kedokteran kafir; sendok dan garpu dan kursi kafir; tulisan Latin kafir; yang bergaul dengan bangsa yang bukan bangsa Islam pun kafir!". Mereka ini, menurut bung Karno, menolak pengetahuan dan kecerdasan, dan hanya berkutat dalam keterbelakangan.

Dalam artikel "Masyarakat Onta dan Masyarakat Kapal Udara" ini juga, Soekarno menyebutkan kisah tentang anjingnya, si Ketuk. Ratna Juami, anak Soekarno, suatu hari memergoki Ketuk menjilat air di dalam panci. Soekarno meminta Ratna untuk membuang air itu dan mencuci panci beberapa kali dengan sabun dan kreolin.

Saat itu, Ratna bertanya:"Tidakkah Nabi bersabda, bahwa panci ini musti dicuci tujuh kali, di antaranya satu kali dengan tanah?". Dijawab oleh Soekarno: "Ratna, di zaman Nabi belum ada sabun dan kreolin! Nabi waktu itu tidak bisa memerintahkan orang memakai sabun dan kreolin."

Intinya, kepatuhan yang baku atas formalitas dan peraturan hanya akan membuat manusia terbelakang, sedangkan jaman selalu berubah. Bila hal ini dilanjutkan, menurut bung Karno dalam tulisannya yang dimuat di Pandji Islam pada tahun 1940, orang Islam akan menjelma menjadi "masyarakat onta" sedangkan yang lain sudah menjadi "masyarakat kapal udara".

Sayangnya sekarang, sekelompok orang yang hobi memamerkan kesolehan begitu merajalela, bahkan terkadang mendapatkan kekebalan hukum ketika berbuat onar. Lalu semakin banyak orang terpesona dengan jubah kesolehan dan penampilan agama. Karena itulah bukan lagi rahasia, bila mereka yang dituduh korup seringkali mengenakan atribut agama di depan publik bahkan segera melakukan perjalanan ke Mekah (dengan duit darimana?), daripada berusaha mengembalikan uang hasil tipuan tersebut dan memperbaiki kesalahan mereka.

Soe Tjen Marching, dosen senior di Departemen Asia Tenggara di SOAS - University of London dan pendiri Majalah Bhinneka.

Ikuti tulisan menarik Soe Tjen Marching lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler