x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Bagaimana Buku Membentuk Pembacanya

Bukuku, Kakiku mengisahkan pengalaman banyak tokoh hidup bersama buku dan bagaimana buku memengaruhi kehidupan mereka.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

"Membaca adalah percakapan. Semua buku berbicara, tapi buku yang baik juga mendengarkan."

--Mark Haddon (Novelis, 1962-...)

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

“Koleksi buku di perpustakaan pribadi saya sekarang ini berkisar antara 12.000 sampai 15.000 judul. Saya sulit mengetahui jumlah pastinya, karena tidak ada catatan judul-judul buku itu, apalagi katalog. Sekitar tahun 1995 lalu seorang petugas dari sebuah badan riset Islam yang bercita-cita membangun online library dari koleksi-koleksi pribadi pernah mencoba mencatat judul buku-buku itu. Tetapi mereka hanya tahan beberapa hari, menyerah sebelum selesai...”

Itulah kutipan dari tulisan Prof. Azyumardi Asra dalam buku berjudul Bukuku, Kakiku. Jumlah koleksi buku Azyumardi itu membuat saya iri, padahal tulisan itu diterbitkan dalam buku yang terbit pada 2004. Tigabelas tahun sudah berlalu, sangat mungkin koleksinya bertambah ratusan judul lagi, bahkan mungkin ribuan. Ketika itu saja, menurut cerita Azyumardi, diperlukan banyak ruang untuk menampung koleksinya. Apalagi sekarang.

Kisah hubungan dekat mantan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan buku itu hanya salah satu dari 22 tulisan yang dihimpun dalam Bukuku, Kakiku. Jarang sekali ada buku yang membicarakan ihwal kegemaran para tokoh masyarakat terhadap buku. Masing-masing menceritakan perkenalan dan pengalaman mereka hidup bersama buku. Budi Darma, sastrawan dan akademisi, mengisahkan perkenalannya dengan buku yang membawanya berkenalan dengan sastra dan selanjutnya berkenalan dengan filsafat.

Dari pergulatannya membaca beragam jenis buku, Budi Darma menyimpulkan: bacaan yang baik ialah bila selesai membaca tidak berarti selesai segalanya, tapi justru merupakan awal dari pengembaraan pikiran, perasaan, dan naluri pembacanya. “Karena itulah, berbagai bacaan yang baik, yang sanggup memukau saya, akan meninggalkan kesan yang sukar terlupakan,” tulis pengarang novel Olenka dan Orang-orang Bloomington itu.

Buku adalah guru dan sekaligus sekolah, barangkali inilah yang ingin disampaikan Rosihan Anwar dalam tulisannya, “Dengan Buku Menjadi Otodidak Sepanjang Hayat”. Berpuluh tahun sejak korannya, Pedoman, ditutup, Rosihan tetap aktif menulis. Ia dikenal sebagai orang yang selalu memperbarui dirinya dengan perkembangan baru, ya itu tadi buku menjadi guru dan tempatnya bersekolah.

Rosihan mengaku tidak ingat semua buku yang sudah ia baca. Namun, di antara yang banyak itu, ada buku yang menjadi tempatnya kembali, yakni Marie Antoinette, karya Stefan Zweig. Ia menceritakan: “Sekali-kali di malam sunyi, setelah menyimak berita televisi BBC dan CNN, saya pergi ke kamar kerja, lalu mengambil dari lemari sebuah buku. Buku siapa? Stefan Zweig tentu. Saya baca lagi roman sejarahnya, Marie Antoinette..” Rosihan agaknya berulang-ulang membaca karya ini, barangkali karena romantis sekaligus tragis.

Ada banyak kisah lain dari penulis dengan berbagai latar belakang dan usia. Masing-masing menghadirkan keunikan pengalaman bersahabat dengan buku. Bacalah, misalnya, perkenalan mantan petinju Syamsul Anwar Harahap dengan buku yang membuatnya bangkit dari rasa rendah diri. Ibunya membacakan kisah Wilma Rudolf, anak yang menderita kelumpuhan kaki kanan karena polio, tapi berhasil merebut kejuaraan lari cepat pada zamannya. Kisah ini membangkitkan semangat Syamsul yang juga menderita kelumpuhan tangan. Kelak ia menjadi petinju yang disegani, bukan hanya di Indonesia.

Bukuku, Kakiku, yang diterbitkan untuk memeringati 30 tahun Penerbit Gramedia, pada 2004 yang lalu, dengan kata pengantar dari almarhum Prof. Fuad Hassan dan prakata Jakob Oetama, tetap menarik untuk dibaca saat ini. Kisah-kisah di dalamnya sangat menginspirasi, termasuk bagi saya: bahwa buku merupakan guru dan tempat belajar yang tak pernah lekang oleh waktu, bahwa untuk membaca sebuah buku kita mesti berjuang, bahwa membaca buku melengkapi pemahaman kita tentang kehidupan dan bahkan ikut membentuk hidup kita. (Sumber foto ilustrasi: coloradoreview.colostate.edu) **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu