x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Di Bawah Bayang-bayang Oligarki Teknodigital

Kekuasaan para ‘baron teknologi’ menandingi kekuasaan negara—mereka mengawasi Anda.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Setiap masa agaknya menghasilkan ‘brand’ baru oligarki. Dulu, tuan tanah adalah penguasa yang sulit ditandingi. Lalu datang masa para industriawan berkuasa—mereka yang merintis produksi mesin-mesin otomotif, pesawat terbang, dan kapal laut ketika pasar masih kosong. Ada Henry Ford, Howard Hughes, Karl Benz, dan banyak lagi. Para bankir dan investor kemudian kian berperan, mereka yang tumbuh dan besar dari Lembah Silikon, lalu disusul generasi tekno yang lebih muda pencipta Facebook, Twitter, Google, Uber, dst.

Enam dari 20 orang paling kaya di dunia saat ini disebu-sebut berasal dari area teknologi atau industri yang terkait teknologi. Merekalah kelas baru penguasa, umumnya berusia masih muda. Dibandingkan dengan para pendahulunya, mereka mendominasi masyarakat dengan cara yang berbeda. Kemajuan teknologi komputer dan informasi menjadikan meluasnya kekuasaan mereka sukar dibendung.

Dibandingkan para baron atau oligark terdahulu, mereka berbeda. Karyawan mereka berpencar di berbagai penjuru bumi. Para subkontraktor dan vendor ada di berbagai negara, membentuk jejaring yang menjaga agar bisnis tetap berjalan. Lingkungan kerja mereka lebih terbuka bagi ide-ide baru dan begitu adaptif terhadap perubahan serta gesit menangkap peluang-peluang baru—yang menjadikan kemakmuran mereka membengkak, tapi di sisi lain menggerogoti industri lama.

Cyberspace adalah kawasan tempat para oligarki teknologi ini berdaulat, bahkan mereka memulainya ketika regulasi belum lagi menyentuh kawasan ini. Situasi ini memungkinkan mereka mengendalikan pasar. Google disebut-sebut menguasai lebih dari 60 persen area mesin pencari. Apple mengendalikan hampir 90 persen operating system untuk smartphone. Lebih dari separo pemakai komputer di AS dan Kanada memiliki akun Facebook. Oligark teknologi mengendalikan bagian terbesar perusahaan mereka melalui kepemilikan saham mayoritas.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dibandingkan dengan para oligark terdahulu, oligark teknologi menanamkan pengaruhnya hampir di setiap tempat: kantor, perusahaan, toko, rumah tangga, maupun individu. Para oligark baru ini bukan hanya sangat kaya tetapi juga menebarkan pengaruh yang luar biasa dalam berbagai segi kehidupan masyarakat. Kata mereka: “Kami tahu di mana Anda berada. Kami tahu Anda di mana sebelumnya. Kami dapat mengetahui apa yang Anda pikirkan.”

Tangan-tangan para olihgark ini melampaui batas-batas wilayah negara. Basis utama Facebook, Twitter, maupun Google ada di AS, tapi jangkauan mereka mencakup seluruh Bumi. Kedaulatan korporasi yang mereka miliki melampaui kedaulatan negara. Ketika jangkauan mereka menembus kedaulatan negara lain, timbul persoalan antara negara versus elite teknologi ini. Juga mulai muncul sejenis kekhawatiran bahwa oligark baru ini akan terus mengembangkan diri tanpa batas.

Joel Kotkin, akademisi Chapman University at Orange, AS, termasuk yang mencemaskan perkembangan para baron digital ini. Semula—dan masih sampai sekarang, mereka dipuji-puji berkat inovasi yang mereka kembangkan. Namun, kata Kotkin, oligark teknologi menjadi kurang menarik lantaran ambisinya untuk mengendalikan politik, media, dan perdagangan masa depan tanpa batas-batas. Amazon, Google, Facebook, Netflix, dan Uber mungkin memperbaiki hidup kita dalam beberapa cara, tulis Kotkin, tapi mereka juga mengacaukan industri-industri lama—serta hidup ribuan orang yang bekerja di sana. Dan karena ledakan teknologi ini terus berlanjut, individu dan perusahaan ini terus menghimpun sumber daya ekonomi untuk memenuhi ambisi mereka.

Dengan kemakmuran masif yang sudah berhasil mereka himpun saat ini, mereka mulai mendominasi pihak-pihak yang dulu mereka layani. Netflix secara bertahap menggerogoti Hollywood, seperti halnya iTunes mematikan industri musik. Uber menggusur taksi konvensional dan Google, Facebook, serta orang-orang media sosial secara bertahap mengganti suratkabar. Amazon bahkan telah mengguncang industri buku dan sedang melakukan aksi yang mencemaskan para pedagang produk elektronika dan busana, serta pemilik supermarket.

Kekuasaan mereka begitu besar. Dibandingkan apa yang dilakukan Google, menurut Shoshana Zuboff, kendali pemerintah tidak ada apa-apanya. Google dan perusahaan sejenis telah menciptakan genus kapitalisme yang sepenuhnya baru, yang oleh Zuboff, guru besar emeritus di Harvard Business School, disebut ‘surveillance capitalism’ (Steven Spielberg pernah menyebut permainan Pokemon terbaru sebagai wujud ‘surveillance capitalism’).

Bila pada 2010, baik Google maupun Apple diperkirakan nilainya sekitar 200 miliar dolar AS, pada Januari 2016 ditaksir nilai masing-masing perusahaan telah melampaui 500 miliar dolar AS. Mereka menikmati ‘cumulative advantage’ dan memanfaatkannya untuk untuk merambah bidang-bidang lain. Mereka mengeksplorasi kekuatan teknologi informasi untuk merobohkan benteng-benteng lama.

Keberhasilan Google berdampak pada setiap orang yang hidupnya dalam jangkauan internet. Mengapa? Karena Google merupakan ‘ground zero’ bagi subspesies kapitalisme baru tadi, yang keuntungannya (profit)—menurut Zuboff—diperoleh dari ‘surveillance’ dan memodifikasi perilaku manusia. Pengawasan? Google mengawasi? Mengutip pernyataan Zuboff: “Kebanyakan orang Amerika menyadari bahwa ada dua kelompok orang yang secara reguler dipantau pergerakannya di negerinya sendiri. Kelompok pertama dimonitor secara tidak sukarela oleh pengadilan yang mengharuskan pemasangan alat pelacak di pergelangan kaki mereka. Kelompok kedua mencakup orang lain...”

Kini, data mengenai di mana kita sedang berada, kemana kita pergi, bagaimana perasaan kita, apa yang kita katakan, hingga kita sedang menempuh perjalanan kemana telah menjadi sumber pendapatan baru bagi perusahaan. Google memperoleh keuntungan dari menghimpun informasi mengenai orang yang menggunakan mesin pencarinya. Kelihatannya, Google itu gratis, tapi sesungguhnya kita ‘membayar’ dengan informasi tentang diri kita—nama, alamat email, nomor handphone. Monetisasi data adalah langkah berikutnya setelah penambangan data dilakukan. Zuboff menyebut ini bagian dari ‘permainan jangka panjang’.

Apa yang dimainkan bukan lagi mengirim katalog pesanan dan menjadikan Anda target iklan online. Permainannya adalah menjual akses kepada ‘aliran real-time’ dari kehidupan sehari-hari Anda. Perilaku Anda sehari-hari dipantau terus: kapan dan di mana mengakses internet, berbelanja online, membeli makanan melalui layanan pesan-antar, dst. Dari data perilaku Anda, perusahaan memiliki sekumpulan data yang digunakan untuk menganalisis ‘profil Anda’ dan kemudian memodifikasi perilaku Anda demi memperoleh keuntungan.

Semua itu merupakan ‘pintu masuk’ ke dalam dunia baru peluang-peluang monetisasi: Anda diarahkan ke restoran yang sesuai dengan diskripsi profil Anda atau ke situs perjalanan bila Anda sering bepergian. “Kapitalisme telah dibajak oleh proyek ‘pengawasan’ yang menguntungkan (sebagian orang),” kata Zuboff. (Sumber ilustrasi: adweek.com) **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler