x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Kepemimpinan yang Berempati

Sikap berempati akan membuat seorang pemimpin mampu bersikap adil.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

“Tidak seorang pun peduli betapa banyak pengetahuanmu, hingga mereka tahu betapa besar kepedulianmu.”

--Theodore Roosevelt, Jr. (Presiden AS ke-26)

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Banyak orang berpikir bahwa kepemimpinan itu perkara kepangkatan, jenjang dalam organisasi, ataupun kewenangan dan kekuasaan. Pandangan ini menyesatkan orang dan membuatnya bertindak tidak lebih sebagai ‘bos’—jika kamu bos, kamu boleh melakukan apa saja. Orang-orang ini ingin kata-katanya selalu didengar dan diikuti, tapi ia enggan mendengarkan apa yang dipikirkan dan dirasakan orang lain.

Kajian kepemimpinan justru menunjukkan sebaliknya. Kepemimpinan sejati, menurut para ahli, berkaitan dengan kemauan dan kemampuan memberdayakan orang lain untuk mencapai hal-hal yang mereka pikir mustahil diraih. Salah satu cara untuk memberdayakan orang lain ialah berusaha memahami pikiran, keinginan, cita-cita, dan semangat dan apa yang dirasakan orang tersebut—apa yang lazim disebut empati.

Jika kita amati, kemampuan berempati menjadi salah satu persoalan dasar yang menghinggapi mereka yang menyebut diri atau disebut oleh banyak orang sebagai ‘pemimpin masyarakat’. Bila kemampuan berempati kurang, mereka yang disebut ‘pemimpin’ ini tidak lebih dari jabatan atau kepangkatan yang melekat pada dirinya. Ia mungkin ketua organisasi, pejabat publik, atau komandan tertentu, tapi dengan serta merta ia seorang pemimpin.

Mengapa kemampuan berempati begitu penting di mata para ahli kepemimpinan? Sikap berempati mendorong seseorang untuk berusaha memahami apa yang dipikirkan dan dirasakan orang lain. Ia mau mendengar, bukan hanya mau berbicara—ada yang menyederhanakan: “Kita punya dua telinga, satu mulut; jadi, lebih banyaklah mendengar ketimbang berbicara.”

Dengan banyak mendengar, Anda dapat merasakan—misalnya—kegagalan anak buah dalam menjalankan tugas dan mencari tahu penyebabnya dengan lebih baik. Sikap berempati membuat pemimpin dapat menggali akar penyebab di balik kinerja yang buruk, yang seringkali sukar didapat bila amarah yang dikedepankan. Sikap berempati membuat anak buah lebih terbuka dalam mengemukakan masalahnya, bahkan mau mengakui bila ia merasa telah melakukan kesalahan.

Melalui sikap berempati inilah, pemimpin dapat membangun komunikasi yang baik dengan yang ia pimpin. Dengan cara ini pula, tumbuh kepercayaan anak buah kepada pemimpinnya—hubungan yang didasari oleh sikap saling percaya, bukan oleh rasa takut. Orang-orang yang dipimpin akan lebih terbuka menyampaikan uneg-unegnya, pendapatnya, usulannya, dibandingkan bila dipimpin oleh orang yang hanya mengedepankan wewenang. Mereka mau mengungkapkan persoalannya dan pemimpin dapat mencarikan jalan keluar dengan lebih leluasa.

Dalam mengatasi perselisihan, sikap berempati juga memudahkan pemimpin dalam mencari jalan keluar yang adil. Keadilan yang dicari oleh pihak-pihak yang berselisih hanya mungkin didapat bila pemimpin mau mendengarkan pendapat masing-masing pihak. Bila pemimpin hanya mau mendengarkan salah satu pihak, maka pemimpin ini tidak menempatkan diri dalam posisi semestinya. Dalam masyarakat kita, situasi ini sering terjadi sehingga timbul anggapan bahwa orang-orang yang dianggap sebagai pemimpin telah bersikap tidak adil.

Bersikap empatetik memang tidak mudah, diperlukan ikhtiar untuk mewujudkan kemauan memahami pikiran dan perasaan orang lain. Tidak selalu mudah melakukan hal ini, misalnya memahami mengapa seseorang melakukan tindakan tertentu. Sebab, berempati itu tidak ubahnya menempatkan diri kita pada posisi orang lain: mengapa saya tidak setuju, mengapa saya jadi malas menjalankan tugas, mengapa saya menganggap atasan pilih kasih.

Mereka yang telah mencapai tataran pemimpin—bukan sekedar ketua organisasi, manajer departemen, atau bupati dan ketua fraksi—akan merasakan benar bahwa empati adalah bagian penting dari kepemimpinan. Sikap berempatilah yang dapat mengantarkan seorang pemimpin untuk bersikap adil dalam menangani persoalan dalam masyarakatnya. (Sumber foto ilustrasi: entrepreneur.com) ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler