x

Sejumlah anak bermain di genangan air banjir rob di kawasan akses pintu masuk menuju pelabuhan Kali Adem, Muara Angke, Jakarta Utara, 2 Januari 2017. Pemprov DKI Jakarta berencana akan membuat tanggul penahan air rob dikawasan kampung baru yang berda

Iklan

soeparno wirodijoyo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Banjir Jakarta, Musibah atau Anugerah?

Banjir Jakarta dapat dibedakan menjadi tipe banjir Ciliwung dan tipe banjir lokal.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Banjir masih menjadi momok masyarakat Jakarta setiap terjadi hujan lebat. Ini terbukti, Jakarta kembali terendam banjir setelah diguyur hujan sejak Selasa dini hari pada akhir Februari yang lalu (21/2/2017). Selama ini, kita selalu memandang banjir Jakarta sebagai musibah. Itulah, maka paradigma pengendalian banjir Jakarta adalah mempercepat banjir mengalir ke laut. Air banjir yang berlimpah dibiarkan terbuang sia-sia. Padahal, Jakarta kekurangan air baku untuk memenuhi kebutuhan air minum, keperluan rumah tangga, industri, perhotelan, perumahan, dll. Karena itu paradigmanya perlu dirubah, menjadi menampung, menyimpan dan meresapkan kedalam tanah sebanyak-banyaknya. Dengan demikian, air banjir Jakarta yang berlimpah menjadi bermanfaat sebagai anugrah Tuhan YME untuk memenuhi kebutuhan air baku sepanjang tahun di wilayah DKI Jakarta.

Integrasi DAS Hulu-Hilir

DKI Jakarta sebagian wilayahnya merupakan bagian hilir Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung. DKI Jakarta juga memiliki topografi spesifik terbagi menjadi Daerah Tangkapan Air (DTA) 11 sungai–sungai kecil. Banjir Jakarta dapat dibedakan menjadi tipe banjir Ciliwung dan tipe banjir lokal. Tipe banjir Ciliwung terkait dengan rusaknya kondisi DAS Ciliwung Hulu. Sedangkan banjir lokal terkait dengan buruknya sistem drainase di wilayah DKI Jakarta dan hilangnya kawasan resapan DTA dan Situ yang telah berubah menjadi hutan beton.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Program reboisasi dan penghijauan wilayah DAS Ciliwung Hulu telah dilaksanakan sejak lama, tetapi belum berhasil mengendalikan banjir Jakarta. Celakanya, luas kawasan hutan minimal 30%, sudah banyak dikonversi untuk kepentingan lain. Karena itu diperlukan rekayasa teknik dengan membangun sejumlah Dam Pengendali (Dpi) dan Embung di wilayah DAS Ciliwung Hulu di setiap luas DTA ±150-200 ha. Sehingga keseluruhannya menyerupai “sirip ikan”. Fungsinya, untuk menampung, menyimpan, meresapkan air kedalam tanah dan mengurangi aliran run off ke sungai Ciliwung. Rekayasa teknik ini diperkirakan dapat mengurangi luapan run off DAS Ciliwung Hulu hingga ±50%.

DPi dan Embung dirancang bermanfaat ganda (multiplier effect), selain untuk mengendalikan banjir Ciliwung, juga untuk irigasi sederhana, eko-wisata lokal dan sumber air bersih, sehingga masyarakat ikut menikmati manfaatnya. Hal ini sejalan dan sekaligus mendukung program Pemerintah cq. Kementerian Desa, PDT dan Transmigrasi yang akan membangun 3000 Embung di Indonesi. Identifikasi lokasi dan jumlah DPi tidak perlu studi khusus dengan dana milyaran rupiah. Data dan informasi bio-phisik dan sosial-ekonomi DAS Ciliwung telah tersedia di BPDAS-HL Ciliwung dan instansi terkait lainnya.

Rekayasa teknik di DAS Ciliwung Hulu harus terintegrasi dengan wilayah hilir di DKI Jakarta. Integrasi dengan BKT, normalisasi sungai Ciliwung, revitalisasi Waduk/Situ buatan, dll, mutlak perlu dilakukan. Tujuannya, agar bangunan rekayasa teknik dari DAS Ciliwung Hulu hingga Hilir dapat berfungsi optimal menampung dan menyimpan air banjir yang berlimpah untuk memenuhi kebutuhan air baku di wilayah DKI Jakarta sepanjang tahun. Dalam jangka panjang, pengendalian banjir Jakarta juga perlu adanya sebuah bangunan dam besar di wilayah DAS Ciliwung Tengah.

Pemberdayaan RT/RW

Banjir tipe lokal terutama akibat dari buruknya sistem drainase di wilayah DKI Jakarta. Diperkirakan baru ±30% sistem drainase terkoneksi dengan baik. Gerakan sosial masyarakat dalam pengendalian banjir lokal perlu peta informasi sistem drainase yang terintegrasi antara saluran primer, sekunder dan saluran tersier di kawasan perumahan masyarakat. Pemetaan sistem drainase tersier dan banjir lokal (SDT-BL) dapat dilakukan secara cepat melalui pemberdayaan RT (Rukun Tetangga) dan RW (Rukun Warga). Institusi ini telah ada sejak zaman Jepang yang dulu dikenal dengan Tonarigumi dan Azzazyokai. Di DKI Jakarta tercatat ±30 ribu RT dan lebih dari 2.700 RW, yang dapat menjangkau seluruh pelosok ibukota.

Berbekal peta Kelurahan dan peta SDT-RT/RW, secara gotong-royong RT/RW menggerakkan masyarakat di wilayahnya berpartisipasi dalam pengendalian banjir lokal. Kegiatannya, membersihkan saluran air dari sumbatan sampah, memperbaiki saluran tersier yang belum terkoneksi dengan saluran sekunder, perbaikan lingkungan, dll. Dalam hal ini Pem. Provinsi DKI perlu memberikan insentif bantuan pendanaannya. Rekayasa sosial gerakan masyarakat ini belum diberdayakan secara optimal dan belum dilakukan pembinaan oleh PemProv DKI secara berkelanjutan.

Kolaborasi Para Pihak

Pengendalian banjir Jakarta bersifat multi dimensional, lintas sektor dan lintas provinsi/kabupaten. Karena itu, perlu kolaborasi para pemangku kepentingan, dan sumber pendanaan dari multipihak, APBN pusat, APBD DKI, dan CSR pihak Swasta/BUMN. Pem Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan Pemerintah Kabupaten Bogor memfasilitasi pra-kondisi sosial-ekonomi masyarakat setempat. Ini semua, dapat terwujud jika ada kemauan politik pemerintah, komitmen para pemangku kepentingan di pusat dan daerah serta dukungan masyarakat.

Oleh: Soeparno W. , Ir., MSc.

S2: Watershed Management, UPLB, Philippina

Tenaga Ahli Yayasan Sarana Wana Jaya, Jakarta

 

Ikuti tulisan menarik soeparno wirodijoyo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler