x

Iklan

Adi Prima

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Di Mentawai, Sakit Disembuhkan Dengan Tarian Sikerei

Berobat dengan Sikerei masih menjadi pilihan bagi sebahagiaan masyarakat asli Mentawai

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

MENTAWAI. Ritual pengobatan dengan Sikerei atau medis tradisonal, masih dipercayai oleh bagi sebahagian masyarakat asli Mentawai untuk menyembuhkan keluarga atau kerabat yang sakit.

Faktor jarak dan biaya yang tinggi membuat masyarakat tetap memilih Sikerei sebagai solusi untuk menyelesaikan soal kesehatan. Di Dusun Sakaladad, Siberut Barat, contohnya, dusun yang persis berhadapan dengan lautan lepas Samudera Hindia ini, jika masyarakatnya hendak menuju dusun tetangga terdekat, hanya ada dua pilihan, berjalan kaki atau menggunakan sepeda motor. Jika menggunakan sepeda motor, harus sembari memantau pasang kering laut, sebab jalur pantai hanya bisa digunakan ketika pasang kering.

jalur pinggir Pantai

masyarakat menggunakan jalur pinggir pantai untuk mengakses dusun terdekat.

 

Melihat kondisi geografis yang begini, pastinya tidak banyak pilihan sebab semua kebutuhan dan akses yang ada memang serba terbatas. Inilah yang dialami oleh Darmiati. Khawatir seorang ibu terhadap sakit yang diderita oleh anaknya, tentu bisa dirasakan oleh ibu manapun. Tak terkecuali bagi Darmiati yang berasal dari Dusun Sakaladad, hampir seminggu panas badan putri kesayangan beliau tak kunjung turun. Seperti lazimnya di Mentawai, pengobatan alternative dengan Sikerei memang menjadi salah satu pilihan bagi masyarakat.

Sikerei

Sikerei paramedis tradisional ( foto : Adi Prima)

“Pak Adi, nanti malam kami akan memanggil Sikerei untuk penyembuhan anak saya, jika bapak hendak menghadiri acara, silahkan datang nanti malam kerumah, mei kaii boikik pak (saya pergi dulu pak)” Ucap Desmiati kepada saya.” Tentu saja kesempatan langka menyaksikan ritual tarian Sikerei untuk penyembuhan dan menjenguk orang sakit disaat bersamaan, tidak boleh saya lewatkan begitu saja. Selepas magrib saya bergegas berangkat menuju “TKP”, tidak lupa saya membawa beberapa bungkus kopi, roti, dan gula, untuk diserahkan kepada tuan rumah. Jika kita hendak menghadiri acara ritual Sikerei, sebaiknya memang membawa sesuatu atau semacam hantaran. Ini sesuai arahan dari seorang teman yang memang asli orang Mentawai.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Malam itu sekira pukul 19.30 wib, sesudah tuan rumah menjamu para sikerei dengan hidangan makanan, ritual tarian untuk penyembuhan pun dimulai. Dentuman gendang, bunyi lonceng, mulai seirama terdengar dengan mantra-mantra yang diucapkan Sikerei, untuk memanggil roh nenek moyang. Anehnya, ternyata tidak semua warga paham dengan arti bacaan dari mantra-mantra yang di ucapkan oleh Sikerei. Menurut salah seorang pihak keluarga Desmiati, “Itu adalah bahasa nenek moyang orang Simalegi Mentawai, dan memang agak sulit dimengerti.” Hentakan kaki sikerei ke lantai papan rumah panggung, memang memecah keheningan malam di dusun yang memang belum ada teraliri listrik itu. Suasana pun mendadak menjadi riuh, salah seorang Sikerei yang perempuan kesurupan, lalu memanjat tiang rumah, penonton bersorak menyaksikan ini! Bagaimana tidak, Sikerei yang kesurupan memanjat tiang rumah layaknya seekor hewan liar, maaf, seperti seekor monyet.

kesurupan

Sikerei perempuan kesurupan (foto : Adi Prima)

Sesekali saya lihat sekeliling rumah Desimiati yang dipadati warga, suasana memang penuh sorak, tawa, dan senda gurau. Menurut hemat saya, terlepas campur tangannya nenek moyang untuk ritual penyembuhan, karena tetangga berkumpul dan tertawa inilah sepertinya yang menjadi salah satu sugesti bagi si sakit supaya segera bangkit untuk melawan penyakitnya. Diakui, secara psikologis suasana yang penuh tawa akan membawakan nilai dan pengaruh yang positif. Sehingga akhirnya timbul keinginan dari dalam diri si sakit untuk segera sembuh, sehingga bisa tertawa dan bermain kembali. Ritual akhirnya berakhir setelah hampir 2 jam Sikerei melakukan tarian, dan membacakan mantra-mantra kepada si sakit.

Pindah ke desa sebelah, beda lagi dengan yang dialami oleh putri tercinta Elyas Sababak (35) warga Desa Sagulubbeg, Mentawai, setelah kian kemari berobat dan mencoba mencari apa penyakit putrinya Ezy (4) di beberapa rumah sakit di Kota Padang. Ezy bukanya mendapat penanganan, ia justru mendapat bermacam-macam diagnose dokter, singkatnya, Ezy disarankan harus dikirim ke Jakarta untuk mendapatkan tindakan medis lanjutan. Bingung, karena tidak terbiasa dengan administrasi. Elyas akhirnya memilih untuk membawa kembali putrinya ke kampung halaman, yakni Desa Sagulubbeg. Pengobatan dengan sikerei mejadi solusi terakhir yang dimilikinya. Benar saja, Ezy yang tadinya tidak bisa bergerak atau persisi seperti patung yang mengeras cuma sesekali menggil layaknya anak yang mengalami demam atau step tinggi, setelah beberapa kali berobat secara tradisional dengan Sikerei, ia akhirnya bisa tertawa dan berjalan kembali.

Tradisi penyembuhan turun temurun yang diwarisi oleh nenek moyang kepada Sikerei, tentu saja kedepan ini diharapkan dapat bertahan, dan tidak punah begitu saja. Jika bisa, metode ini disinergikan dengan dunia medis saat ini. Keahlian sikerei dalam meramu tumbuhan sekitar dan menjadikanya obat alami atau obat herbal bahasa kesehatan sekarang, tentunya bisa juga menjadi inspirasi atau penelitain bagi penggiat obat herbal.

Berbicara tentang Mentawai, memang tidak akan lengkap jika tidak membahas Sikerei. Orang akan membicarakan tato tertua yang menempel di badan Sikerei, ritual medis ala Sikerei, keseharian Sikerei, hal-hal di atas memang selalu menjadi bahasan yang seru untuk diceritakan jika sudah pernah bertemu langsung dengan Sikerei. Penghargaan atas jasa Sikerei terhadap Bumi Mentawai, Kabupaten Mentawai pada tahun 2016 yang lalu meresmikan Tugu Sikerei yang berada di KM 9, Tuapeijat, Sipora.

tugu

Tugu Sikerei ( foto : Adi Prima)

“Alam Takambang Jadi Guru”

Alam sekali lagi membukakan tabir misterinya untuk diamati dan dipelajari. Berpuluh atau mungkin sudah beratus tahun Dusun Sakaladad yang jauh dari rumah sakit dan tempat berobat, masyarakatnya tetap bisa bertahan dengan hanya mengandalkan alam dan tumbuhan di sekitar untuk masalah kesehatan. Semoga banyak pelajaran yang bisa kita ambil dari fakta ini. Malainge Mentawai!

Ikuti tulisan menarik Adi Prima lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler