Sekedar kilas balik: pada 16 Februari 2017, sehari setelah pencoblosan putaran pertama, 15 Februari 2017, saya menulis artikel di Indonesiana.tempo.co dengan judul “Anies-Sandi Tak Terbendung di Putaran-II Pilkada DKI 2017”.
Selanjutnya, pada 18 Februari 2017, saya menulis lagi artikel berjudul “Dua Faktor ini Berpotensi Menggerus Suara Ahok-Djarot”.
Kemudian pada 26 Februari 2017, menulis lagi dengan judul “Dari 43 Menjadi 51%, Berat Nian bagi Ahok-Djarot”.
Lalu pada 24 Maret 2017, kembali menulis artikel berjudul “Pukulan Telak Bagi Ahok: Pembatalan Tiga Izin Reklamasi”.
Dan pada 07 April 2017, menulis lagi artikel berjudul ”Ahok Sudah Merasa Kalah di Putaran Kedua”.
Puncaknya terjadi pada 10 April 2017, sembilan hari sebelum hari pencoblosan putaran kedua, ketika meng-upload artikel berjudul “[Nyaris Pasti] Ahok Kalah di Putaran Kedua”.
Dalam artikel yang terakhir itu, dengan tujuh argumen dasar, saya mencoba merangkai analisis yang cenderung sudah memastikan Ahok akan kalah di putaran kedua.
Semua artikel di atas – yang ditulis dalam rentang waktu sekitar tiga bulan – konsisten memprediksi dan mengirim pesan bahwa Ahok-Djarot sudah sangat sulit membendung gerak maju Anies-Sandi. Alasan utamanya, karena kapasitas perolahan suara Ahok sudah maksimal di putaran pertama, yang berjumlah 43 persen. Dan perkiraan saya, persentasi ini akan relatif sama dengan hasil Putaran Kedua berdasarkan hasil rekapitulasi resmi KPUD DKI nanti.
Tentu wajar bila prediksi-prediksi yang terbukti benar membuat saya senang. Tapi, di kalangan teman-teman diskusi dan sepergaulan, kadang jika saya ditanya apa sih yang membuat sebuah prediksi politik dapat mendekati kebenaran? Biasanya saya memberikan dua jawaban yang mungkin terkesan santai, tapi sesungguhnya serius.
Pertama, bahwa “rasa yang terasah” seringkali malah lebih tajam dalam memprediksi daripada sekedar mengutak-atik informasi dan data statistik. Meski pada proses dan pada akhirnya, rasa yang terasah itu tetap harus mengacu pada data dan informasi yang akurat.
Kedua, benar dan/atau kelirunya sebuah prediksi politik, saya menilainya lebih cenderung karena “faktor kebetulan” saja. Sebab bahkan seorang pakar yang paling pakar sekalipun bisa keliru memprediksi. Artinya, prediksi yang benar sekalipun tidak bisa dijadikan acuan untuk misalnya mengklaim diri sebagai orang pintar atau punya analisa tajam. Kebetulan kok diklaim.
Syarifuddin Abdullah | Rabu, 19 April 2017 / 22 Rajab 2017
Sumber foto: arsip pribadi, yang saya upload di akun Facebook pada pukul 14.00, Rabu 19 April 2017.
Ikuti tulisan menarik Syarifuddin Abdullah lainnya di sini.